Mengkaji Urgensi Rudal Permukaan-Udara Jarak Jauh untuk Pertahanan Udara Nasional Indonesia
“To have command of the air means to be able to cut an enemy’s army and navy off from their bases of operation and nullify their chances of winning the war.” — General Giulio Douhet
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terhimpit diantara dua samudra dan dua benua dengan luas total 1,904,569 km2 yang memiliki komposisi luas daratan 1,811,569 km2 dan luas perairan 93,000 km2[1]. Dengan daerah seluas itu dan kondisi geografis pulau yang terpisah-pisah dengan laut, tentunya kedaulatan Indonesia terutama kedaulatan atas ruang udara menjadi sangat rentan terhadap ancaman-ancaman dari luar. Banyak sekali pelanggaran terhadap kedaulatan kita atas ruang udara yang merupakan wilayah blank spot terjadi. Di sini penulis tertarik untuk membahas ancaman udara yang sangat mungkin mengganggu kedaulatan negara kita dan seperti yang sudah kita ketahui bersama kedaulatan penuh atas ruang udara tidak hanya berasal dari jumlah dan kualitas pesawat tempur, jumlah dan kualitas radar, tetapi juga Surface to Air Missile (Rudal Permukaan-Udara) sebagai pertahanan udara di permukaan. Dulu pada jaman Perang Dunia ke II, dimana ilmu pengetahuan tentang computer embedded, sensor, dan rudal belum benar-benar matang, ada istilah “The bomber will always get through” yang berarti pesawat pembom pada masa itu selalu berhasil menembus pertahanan kota dan melakukan pengeboman oleh sebab itu pertahanan terbaik pada masa itu adalah dengan menyerang pangkalan militer lawan sebelum pesawat pembom menyerang kota. Setelah Perang Dunia ke II ilmu pengetahuan akan radar, computer embedded, rudal dan sensor yang berkembang pesat menyebabkan lahirnya rudal pertahanan udara / meriam pertahanan udara yang berpemandu radar menyebabkan kecilnya kemungkinan pesawat pembom dapat mencapai target mereka. Inilah masa dimana rudal pertahanan udara mulai memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga ruang udara dari ancaman seperti pesawat pengebom strategis. Taktik peperangan-pun berubah dimana pada saat perang dingin, pesawat pembom tidak lagi dijadikan sebagai andalan serangan melainkan rudal balistik dengan hulu ledak nuklir.
Pada jaman keemasannya dulu di tahun 1960-an, TNI pernah memiliki rudal pertahanan jarak menengah S-75 Dvina (SA-2 Guideline) yang menjadi salah satu andalan dalam pertahanan udara TNI dan bahkan sempat mendeteksi sebuah pesawat high altitude surveillance U2 Amerika Serikat yang terbang di langit Jakarta tetapi sejak terjadinya pemberontakan PKI yang berakhir pada renggangnya hubungan Indonesia dengan Soviet saat itu maka S-75 menjadi tidak aktif dan hingga saat ini tidak ada lagi rudal pertahanan udara jarak menengah ataupun jauh dalam sistem pertahanan udara Indonesia. Sekarang, rudal pertahanan udara Indonesia hanyalah berupa SHORAD / VSHORAD (Very Short / Short Range Air Defense) berbentuk MANPADS (Man Portable Air Defense System) seperti QW-3, RBS-70, Igla, ataupun yang mounted di KRI seperti Mistral Simbad, Sea Cat dan Strella yang berarti bentuk penggelaran pertahanan kita masih berupa point defense (pertahanan titik) bukan areal defense (pertahanan area). Point defense sendiri adalah pertahanan terhadap suatu objek atau area terbatas seperti kapal, bangunan, bandara dan objek vital lain dari ancaman yang biasanya berasal udara dan senjata point defense cenderung memiliki jarak jangkau yang terbatas. Tidak seperti areal defense yang lebih luas area cakupannya daripada point defense dan dapat membersihkan ruang udara dari ancaman-ancaman udara.
Adapun keadaan Asia Timur dan Asia Tenggara yang memanas seperti permasalahan garis perbatasan negara di LCS (Laut Cina Selatan) yang masih tak tentu antara Cina, Filipina, Malaysia dan tidak menutup kemungkinan Indonesia, uji rudal balistik jarak jauh Unha-3 dan kondisi perang terhadap Korea Selatan dan NATO oleh Korea Utara, menegangnya konflik kepemilikan di pulau Diayou/Senkaku oleh Cina dan Jepang, adanya rencana pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin, dan adanya arms race pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Semua ancaman ini walau merupakan ancaman tidak langsung tetapi tetaplah merupakan suatu ancaman bagi Indonesia yang disebabkan posisi Indonesia yang terjebak antara negara-negara yang memiliki kepentingan di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Tentunya hal ini harusnya bisa menyadarkan kita semua bahwa tidak aja jaminan bahwa Indonesia bebas perang. Apalagi Indonesia tidak memihak pihak manapun yang mau tidak mau menuntut Indonesia harus mandiri dalam membela kedaulatan atas wilayahnya.
Negara-negara tetangga Indonesia sendiri seperti Singapura, Malaysia dan Australia dalam menghadapi keadaan di Asia Timur dan Tenggara yang tidak tentu sudah memiliki solusi pertahanan udara yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing seperti Singapura dengan SPYDER dan Aster yang di letakkan pada formidable class frigate mereka[2], Malaysia dengan Jernas, dan Australia dengan Rapier 2000-nya. Indonesia sebagai negara yang besar sudah seharusnya memiliki solusi pertahanan udara jarak jauh yang cocok dengan kondisi geografis Indonesia untuk menjaga kedaulatan yang penuh terhadap wilayahnya.
Gambar 1 SAM SPYDER Singapura
Gambar 2 Jernas Malaysia
Keunggulan dari rudal pertahanan udara jarak jauh adalah keefektifannya dalam menjaga ruang udara agar bersih dari ancaman apapun. Keefektifannya sendiri terletak pada waktu siap tempur yang relatif lebih singkat daripada mencegat ancaman dengan menggunakan pesawat tempur yaitu 5 menit dan ±10 detik untuk akusisi sasaran (S-300)[3]. Bandingkan dengan menggunakan pesawat tempur sebagai pencegat (Untuk pesawat pencegat penulis memakai pesawat tempur Sukhoi Su 27/30 sebagai bahan perbandingan) sukhoi selalu siap mencegat ancaman dari Hasanuddin dalam waktu 5 menit tetapi butuh waktu puluhan menit untuk mencapai target/ancaman yang berada ratusan kilometer. Memang perbandingan ini tidak apple-to-apple sebab rudal pertahanan jarak jauh dan pesawat tempur memiliki peranan yang berbeda dan memang dirancang untuk saling co-exist bukannya saling menggantikan peran. Selain itu, efek deterrence dari rudal pertahanan jarak jauh oleh Indonesia akan membuat para pelaku black flight di wilayah blank spot takut untuk memasuki wilayah udara Indonesia tanpa ijin. Keunggulan lain dari rudal pertahanan jarak jauh sendiri adalah kemampuannya sebagai anti rudal balistik[4]. Suatu hal yang sangat sulit tapi tidak mustahil dilakukan oleh pesawat pencegat (interceptor). Sejauh ini baru F-16 Amerika Serikat dengan program NCADE saja yang mengembangkan kemampuan ini dan program NCADE sendiri hanya dipakai oleh Amerika Serikat[5]. Keefektifan rudal pertahanan udara jarak jauh yang tinggi terutama dalam areal defense menyebabkan rudal pertahanan jarak jauh menjadi satu-satunya sistem yang feasible sebagai anti rudal balistik apalagi Indonesia dihadapkan pada kenyataan dimana Korea Utara dapat mengirimkan rudal balistiknya hingga ke Darwin (Australia) mau tidak mau memaksa Indonesia untuk dapat mengintercept rudal-rudal balistik Korea Utara itu jika suatu saat benar-benar melintasi ruang udara kita.
Oleh karena itu, sebuah sistem rudal pertahanan udara jarak jauh yang memiliki kapabilitas anti rudal balistik dan sanggup menyediakan areal defense haruslah menjadi sebuah kewajiban untuk merealisasikan Indonesia yang berdaulat penuh atas ruang udaranya.
Referensi:
[1] https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html accessed 11/06/13 [2] http://www.naval-technology.com/news/news91328.html accessed 11/06/13 http://www.globes.co.il/serveen/globes/docview.asp?did=1000314562 accessed 11/06/13 [3] http://www.strategycenter.net/research/pubID.93/pub_detail.asp accessed 11/06/13 [4] www.dtig.org/docs/SA–12.pdf Ochsenbein, Adrian “Das Boden-Luft Lenkwaffenssystem SA-12/23 GLADIATOR/GIANT” [5] http://www.raytheon.com/capabilities/products/ncade/
Menarik sekali tulisannya Mas Lundy..
Tidak bisa dipungkiri dengan luasnya wilayah negara ini, begitu pula persebaran Obvit yang jauh antar satu sama lain membutuhkan suatu kapabilitas dari pertahanan udara area..
Sishanudnas sendiri mengacu pada Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara terbagi menjadi ring-ring pertahanan udara..
Selama ini tugas penangkalan di ring terluar masih dipegang oleh pespur, namun memang lebih baik bahwa tugas ini dikomplementasikan dengan rudal hanud jarak jauh..
Memang rencana pembentukan sistem hanud berbasis darat jarak menengah telah dikemukakan, namun belum nampak ada tanda-tanda akan direalisasikan dalam waktu dekat..
Apalagi bila bicara mengenai jarak jauh, mungkin tidak dalam skema MEF yang ada saat ini..
Tapi sekali lagi, tidak ada salahnya untuk terus mengingatkan para stakeholder pertahanan negara ini untuk selalu mempertimbangkan hal tersebut..
Sekali lagi, selamat atas tulisan perdananya..
Sukses selalu..
Iya mas Arief, tulisan ini sendiri terispirasi setelah melihat paparan kohanudnas pas seminar di AAU Jogja dimana untuk ring pertahanan luar masih menggunakan perpur sebagai interceptor dan selama ini Indonesia selalu menggunakan pertahanan titik yang mana sangat terbatas pada objek tertentu saja padahal area yang di cover seharusnya lebih luas, mengingat luasnya Indonesia dan persebaran obvit yang terpisah-pisah satu dengan yang lain dan adanya ancaman rudal balistik. Jika dulu saja bisa memiliki SA-2 guideline mengapa sekarang tidak?. Atas keprihatinan inilah saya menulis ini dan berharap bahwa kelemahan dalam penjagaan ring terluar tersebut dapat lebih ditingkatkan dengan menggunakan long range SAM dengan kapabilitas anti rudal balistik.
Pertanyaannya mungkin bukan mengapa sekarang tidak, tapi mengapa sekarang belum mampu?
Kalau menilik lagi ke sejarah berdirinya Wing Pertahanan Udara 100 Peluru Kendali, di sana dibentuk 3 Skadron Peluncur Rudal dan 1 Skadron Penyiap Peluru Kendali, yang semuanya berada di sekitar ibukota (Tangerang, Cilincing, Cilodong dan Pondok Gede)..
Dibutuhkan sekitar 3 batalyon untuk mengcover area sekitar ibukota..
Setelah saya baca-baca lagi dari berbagai dokumen, memang telah ditetapkan bahwa Sistem Pertahanan Udara Nasional (Sishanudnas) Indonesia dibagi menjadi 3 lapis..
Lapis pertama, Pertahanan Udara Area, adalah wilayah udara yang berjarak 100 Km atau lebih dari obvit yang dipertahankan oleh TNI-AU dengan pesawat tempur buru sergap dan rudal hanud jarak jauh..
Lapis kedua, Pertahanan Udara Terminal, adalah wilayah udara yang berjarak 18-100 Km dari obvit yang dipertahankan oleh TNI-AU dengan rudal hanud jarak menengah..
Sedang lapis ketiga atau terakhir, Pertahanan Udara Titik, adalah wilayah udara dengan jari2 18 Km dari obvit/obwan yang dipertahankan oleh TNI-AD dengan Artileri Pertahanan Udara dan Rudal Hanud jarak pendek..
Kenapa belum terlaksana?
Kalau pendapat pribadi saya bahwa ini memang bertahap, Mas Lundy..
Di dalam Postur Pertahanan Negara sendiri telah dinyatakan dalam pembangunan kekuatan pertahanan udara telah dimasukkan unsur rudal jarak menengah di situ (yang mungkin tercantum dalam MEF sebagai penjabaran dari Buku Postur)
Untuk mengadakan 1 batalyon hanud jarak jauh setara dengan mengadakan skadron udara buru sergap, di mana dalam kondisi saat ini memang skadron buser lah yang lebih diutamakan, karena jumlahnya yang memang sangat kurang..
Perlu diingat juga bahwa rudal adalah pertahanan udara yang bersifat statis..
Walaupun bisa dipindah2kan tetapi tetap harus digelar di suatu lokasi sebelum dapat digunakan..
Dan, fungsi asasi dari rudal adalah penghancur, dan tidak dapat mengidentifikasi laporan sasaran secara visual..
Dan penggunaanya adalah sebuah tindakan hostilitas atau Act of War..
Tapi saya secara pribadi, juga tidak lantas menganggap bahwa pengadaan rudal hanud itu bisa dinihilkan, karena pada prinsipnya, sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan sendiri oleh Departemen Pertahanan dan Satuan Pelaksananya, bahwa rudal hanud jarak jauh itu wajib menjadi bagian Sistem Pertahanan Udara Nasional..
Namun dengan kondisi perekonomian yang memang belum memungkinkan kita untuk jor-joran dalam memperkuat pertahanan, alangkah baiknya bahwa penguatan postur pertahanan dilakukan melalui skala prioritas..
Tugas kitalah untuk terus mengingatkan mereka tentang apa yang telah mereka tetapkan sendiri dalam rumusan Sishanudnas.
Hormat saya
Betul sekali mas Arief, memang ada prioritas yang harus di penuhi terlebih dahulu seperti pengadaan squadron buru sergap yang jumlahnya memang sangat kurang. Saya sendiri sebenarnya hanya ingin mengingatkan saja urgensi kepemilikan rudal hanud jarak jauh untuk masa sekarang yang disebabkan adanya ancaman rudal balistik. Untuk rudal hanud identifikasi objek terbang sendiri memang tidak bisa secara visual sebab rudal hanud bagaimanapun hanya dapat mendeteksi ancaman dari radar yang berupa laporan bearing objek, speed, altitude, size of object dan maneuver. Tidak seperti interceptor yang dapat mengidentifikasi objek terbang secara langsung.
Membidik objek terbang dengan rudal hanud memang sebuah tindakan hostility tetapi, sebelum menembak dengan rudal hanud tentu dapat dilihat dengan jelas melalui radar sebuah objek terbang merupakan pesawat nyasar atau memang ingin black flight kan? Pesawat nyasar cenderung menggunakan VFR dan pola terbang pada radar akan cenderung berputar-putar / mengikuti garis pantai sedangkan black flight cenderung terbang rendah menghindari radar/bersembunyi di balik pegunungan. Identifikasi melalui radar ini mengecilkan kemungkinan terjadinya kesalahan identifikasi.
Hal yang saya takutkan adalah jangan sampai nanti ada rudal balistik yang lewat ruang udara kita kemudian kita tidak bisa apa-apa. Itu saja 🙂
Salam
Bagus mas Lundy…selamat atas tulisan perdananya….
Saya sependapat bahwa peran rudal hanud dan pesawat tempur sergap adalah dua peran yg tidak dapat saling menggantikan. Karena setiap ancaman pun bersifat dinamis selain dari apa yg dijelaskan oleh mas Arief sebelumnya. Idealnya di setiap pantai terluar Indonesia kita punya itu rudal hanud area….
Salam…
Betul mas Brata, Idealnya memang seperti itu walau memang ada skala prioritas yang harus di penuhi terlebih dahulu.
Salam,
Tulisan menarik mas Lundy….
Pertanyaan yang juga ada dibenak saya bertahun-tahun, kenapa negeri sebesar Indonesia yang luasnya hampir sama dengan benua Eropa terlalu “PEDE” menyandarkan pertahanan udara titiknya hanya SAM VSHORAD..?? padahal setiap serangan militer di masa sekarang pasti didahului dengan serangan lewat Udara…. ?? atau mungkinkah memang Indonesia tidak mempunyai musuh, sehingga tidak perlu takut diserang…?? ah sudahlah, semoga para pengambil kejakan segera sadar, sebelum benar-benar disadarkan dengan sebuah Perang…
Betul mas Bambang,
Menurut saya juga demikian, kita terlalu menggantungkan pertahanan udara dengan menggunakan VSHORAD. Memang ada prioritas yang harus dipenuhi terlebih dahulu seperti pengadaaan squadron buru sergap seperti kata mas Arief. Tetapi jangan sampai hal penting seperti rudal hanud jarak jaruh menjadi terlupakan. Tulisan saya ini hanya ingin mengingatkan para petinggi bahwa sudah saatnya skala prioritas rudal hanud jarak jauh dinaikkan dengan adanya ancaman rudal balistik. Syukur-syukur pengadaan rudal hanud menengah dan jauh dapat masuk ke MEF.
Salam,
ya saya berharap indonesia belajar dari negara2 lain, pertama mengadakan dan melengkapi skuadron pesawat tempur yang juga memiliki kemampuan interceptor (buru sergap) paling tidak 20-25 skuadron tempur dari idealnya 30-40 skuadron tidak termasuk pesawat tempur anti serangan gerilya, diback up juga dengan S 300 yang dimasing2 kabupaten, kota dan propinsi paling tidak ada 50 baterai, pengadaan antey 2500 missile sebanyak 60 baterai dimasing2 kota, kabupaten dan propinsi.
idealnya memang seperti itu pak, namun kenyataannya pembangunan pertahanan hanya bisa dilakukan secara bertahap dan terukur, karena alutsista tanpa kekuatan pendukung (logistik, spare part, personil) tidak akan ada gunanya
menanggapi sumber dari site : http://indo-defense.blogspot.com/2013/07/tni-harus-prepare-bila-malaysia-jadi.html?showComment=1374965252291#c7683615597747152235, yang mengingatkan :
“TNI Harus Prepare Bila Malaysia Jadi Akuisisi Brahmos
Minggu, Juli 28, 2013 IDB
1
Modifikasi khusus Su-30MKI membawa rudal supersonik BrahMos anti-kapal, dan dua subsonik Kh-59.
JKGR-(IDB) : Malaysia menunjukkan minatnya untuk membeli rudal Brahmos yang akan diluncurkan dari jet tempur SU-30MKM Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM). Hasrat ini disampaikan Menteri Luar Negeri Malaysia Anifah Ahman saat berkunjung ke Rusia, awal Juli 2013. Rudal BrahMos dianggapakan menjadi senjata yang mematikan jika dipasang di 18 jet tempur SU-30MKM Malaysia yang dibeli dari Rusia tahun 2003.
Selain itu, Malaysia juga mencari tender untuk pengadaan 18 pesawat tempur yang akan menggantikan armada MiG-29N TUDM (14 pesawat aktif) yang dipensiunkan pada tahun 2015 nanti. Rusia meyakinkan pihak Malaysia bahwa Su-30MKM TUDM bisa dimodifikasi untuk meluncurkan rudal BrahMos, seperti halnya Sukhoi Su-30MKI India yang telah dimodifikasi untuk meluncurkan rudal BrahMos pada awal 2014 nanti.
Flanker Su-30MKM Malaysia mirip dengan Su-30MKI India dan merupakan kemajuan substansial untuk versi ekspor dari Su-30K standar. Produsen pertahanan India, HAL, telah memasang canard, stabilisator dan sirip untuk Sukhoi Malaysia. Instruktur dan teknisi IAF (Angkatan Udara India) juga telah melatih pilot-pilot Angkatan Udara Malaysia.
Rudal BrahMos adalah varian dari rudal Yakhont Rusia, hasil pengembangan India dan Rusia. Rudal Brahmos memiliki varian yang bisa ditembakkan dari udara, darat maupun dari kapal selam.
Brahmos versi udara ke darat memiliki jarak tembak mencapai 280-290 km, diangkut oleh jet tempur Sukhoi. Jika Malaysia berhasil mengakusisi Brahmos dan bisa dipasang di SU-30MKM, maka militer Malaysia akan melakukan lompatan cukup jauh dalam kemampuan pemukul udara. Namun permasalahannya, militer India sedang memesan dan membutuhkan banyak rudal Brahmos, untuk Angkatan Udara dan Angkatan Laut mereka terkait war wastage reserves India. Konsekuensinya, Pemerintah India tidak akan mengijinkan ekspor rudal Brahmos, hingga kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Dengan demikian keinginan Malaysia ini akan membutuhkan waktu. Selain itu harga Brahmos juga super mahal yakni Rp 30 miliar untuk satu rudal.
BrahMos dan tabung peluncur di di International Maritime Defence Show, IMDS-2007, St Petersburg, Rusia
BrahMos dan tabung peluncur di di International Maritime Defence Show, IMDS-2007, St Petersburg, Rusia
Bila Malaysia memiliki rudal BrahMos untuk SU-30MKM mereka, hal ini akan menjadi nighmare bagi negara-negara yang berurusan dengan negara Jiran itu. Untuk Kapal Induk atau aircraft carrier, rudal Brahmos mungkin tidak efektif karena kapal itu dilindungi peringatan dini jarak jauh lebih 250 km. Namun untuk kapal perang korvet atau frigate, rudal BrahMos akan menjadi senjata yang mematikan. Ditembak tanpa mampu melawan, karena korvet dan frigate rata-rata memiliki air defence system jarak pendek-menengah, 3 hingga 12 km. Bisa dibayangkan akan seperti apa jika 5-6 rudal Brahmos ditembakkan oleh SU-30MKM Malaysia. Rudal ini terbang dalam kecepatan supersonic saat telah dekat dengan sasaran (30 km dari target) dan pada kecepatan seperti ini, rudal tersebut sulit ditangkis.
Lebih dari itu rudal (cruise missile) jarak jauh-menengah seperti BrahMos bisa mengubah arah terbang sehingga trajectory sulit dilacak, berbeda dengan roket atau ballistic missiles. Dua kombinasi yang sulit ditangkis: kecepatan supersonic disertai kemampuan mengubah lintasan/perjalanan rudal.
Kelemahannya adalah ketika rudal terbang dalam kecepatan subsonic di lintasan intermediate, namun hal ini membutuhkan penangkis udara jarak jauh. Keampuhan serangan rudal oleh pesawat tempur telah dibuktikan pada Perang Malvinas, antara Inggris dan Argentina di tahun 1982. Meski armada laut Inggris dilengkapi dengan sistem pertahanan udara modern, mereka tetap tidak mampu menahan serangan rudal dari pesawat tempur Argentina.
Keberadaan rudal Brahmos bagi SU-30MKM Malaysia (kalau jadi memiliki) bisa dikatakan menjadi ancaman bagi Frigate Van Speijk Class Indonesia yang membawa rudal yakhont.
Rudal anti-kapal Yakhont di Frigate Indonesia, saat ini menjadi ancaman nyata bagi kapal perang permukaan Malaysia, karena sulit menangkalnya, seperti halnya Brahmos. Selain terbang dengan kecepatan supersonic saat dekat dengan target, yakhont juga terbang rendah dan menyerang sasaran dengan sudut serang yang rumit.
Namun, persoalannya, frigate Indonesia hanya memiliki pertahanan udara jarak pendek dan menegah, maksimal belasan kilometer. Sementara SU30 MKM dengan rudal Brahmos Malaysia bisa menyerang frigate tersebut dari jarak 280-290 km. Kondisi ini memaksa frigate Van Speijk Class beroperasi di wilayah terbatas, karena membutuhkan perlindungan peringatan dini jarak jauh.”, sehingga saya menyarankan selain penting bagi Indonesia untuk memiliki persenjataan anti serangan udara jarak jauh dan menengah, penting juga bagi indonesia memiliki dan menempatkan di aceh 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di sumatera utara 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di sumatera selatan SETENGAH Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, kemudian tempatkan di Kalbar 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di Berau 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di Palu 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di Sulawesi Utara atau Gorontalo 1 Skuadron SU MKI yang dipersenjatai brahmos, tempatkan 2 skuadron T 50 PAK FA yang dipersenjatai brahmos di papua, tempatkan di Halmahera SETENGAH Skuadron T 50 PAK FA yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di NTT 2 Skuadron T 50 PAK FA yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di NTB 1 Skuadron T 50 PAK FA yang dipersenjatai brahmos, tempatkan di Pulau Jawa 2,5 Skuadron T 50 PAK FA yang dipersenjatai brahmos
Koreksi mas, luas wilayah Indonesia sekitar 5 juta Km persegi atau dua pertiga luas wilayah adalah laut (di luar ZEE). Oleh karenanya jika ingin mengamankan dan memanfaatkan ZEE, maka dibutuhkan sistem dan alutsista yang jauh lebih besar lagi.
terima kasih atas kunjungannya di website kami mas…
Betul, bangsa ini memerlukan pertahanan yang mumpuni untuk menjaga luas wilayah dan menjamin keberlangsungan para penghuninya…
Para Saudara/Sahabat/Rekan-rekan merah putih. Apabila kita memahami suatu bentuk peperangan modern, alangkah bijak, kita membuat suatu analisis dan kajian yang bersifat mendasar tentang proxy war, strategic of war and equipment of war. Rudal merupakan alat pertahanan terhadap serangan udara yang bersifat pasif dan statis yang digunakan untuk menghancurkan sasaran yang masuk kewilayah kedaulatan SERTA RUDAL AKAN MUDAH serta rudal akan mudah dikecoh DIKECOH/DITIPU dengan flare, ECM/ECCM maupun Iron Drome/israel. Selain itu, dalam konsep perang modern, kita tidaklah menggunakan konsep PERTAHANAN PULAU-PULAU BESAR yang bersifat Defensif, Namun menggunakan konsep bersifat offensif dengan menGhancurkan sasaran diluar wilayah kedaulatan.
Dalam perang modern, yang kita hancurkan bukanlah SEEKOR LALAT, CAPUNG ATAUPUN KUPU-KUPU YANG NOTA BENE TIDAK MEMILIKI KEMAMPUAN UNTUK BERTAHAN DAN MENYERANG.
BERKAITAN DENGAN STATMENT INI…..”Keunggulan dari rudal pertahanan udara jarak jauh adalah keefektifannya dalam menjaga ruang udara agar bersih dari ancaman apapun. Keefektifannya sendiri terletak pada waktu siap tempur yang relatif lebih singkat daripada mencegat ancaman dengan menggunakan pesawat tempur yaitu 5 menit dan ±10 detik untuk akusisi sasaran (S-300)[3]. Bandingkan dengan menggunakan pesawat tempur sebagai pencegat (Untuk pesawat pencegat penulis memakai pesawat tempur Sukhoi Su 27/30 sebagai bahan perbandingan) sukhoi selalu siap mencegat ancaman dari Hasanuddin dalam waktu 5 menit tetapi butuh waktu puluhan menit untuk mencapai target/ancaman yang berada ratusan kilometer.”…MOHON DIKAJI KEMBALI SEHINGGA TIDAK MENIMBULKAN OPINI NEGATIF YANG AKAN MELEMAHKAN TNI…..
BILA SUATU NEGARA BERPERANG TERHADAP NEGARA LAIN, MAKA NEGARA TERSEBUT TELAH MENGABARKAN/MENGINFORMASIKAN PELAKSANAAN PERANG TERSEBUT….
ALANGKAH BIJAK BILA KITA BELAJAR DARI IRAK, KUWAIT, AFGANISTAN, LIBYA, SURIAH, UKRAINA DAN BEBERAPA NEGARA AFRIKA…….
MAAF BILA KURANG BERKENAN…..
KITA BANGUN KEDAULATAN ABSOLUTE NKRI DENGAN OBYEKTIFITAS……
Semoga proyek rudal nasional bisa segera tersukseskan. Dan kesuksesan rudal nasional akan merubah wajah INDONESIA di kawasan regional bahkan dunia. Melihat perkembangan di kawasan akhir2 ini dan seterusnya, kebijakan militer INDONESIA yg cenderung defensif memang selayaknya harus segera diubah ke arah offensif. Potensi ancaman yg semakin nyata harus membuka mata para pembuat kebijakan, bahwa INDONESIA harus mempunyai kemampuan menyerang balik sampai ke daratan musuh. Dan kemampuan itu mutlak harus segera kita miliki. Karena negara tetangga sudah menganggap INDONESIA sebagai ancaman, jdi sudah selayaknya kita merespon anggapan dri negara tetangga tsb. Belajarlah dri militer china, dengan kebangkitan militernya tdk akan ada yg bisa mengancam mereka. Hidup SOEKARNOIS