Jokowi, Elon Musk, dan Visi Teknologi Antariksa Indonesia
Misi luar angkasa berawak pertama Indonesia berjalan sukses. Meluncur dari Bandar Antariksa Biak, roket pengorbit berawak/RPA-01 Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (LAPAN/BRIN) sukses meluncurkan pesawat antariksa “Garuda”. Garuda yang diawaki Astronot pertama Indonesia, Letkol (P) Agus Angkasa, berhasil mengorbit bumi sebanyak 10 kali sebelum akhirnya mendarat sempurna di perairan Laut Jawa. Prestasi ini mencatatkan Indonesia sebagai negara keempat di dunia (setelah Uni Soviet/Rusia, Amerika Serikat, dan China) yang sukses mengorbitkan manusia menggunakan wahana buatannya sendiri. Prestasi yang membanggakan, dimana teknologi antariksa berawak merupakan puncak teknologi di dunia yang memiliki kompleksistas dan biaya yang sangat tinggi.
Cuplikan paragraf diatas sayangnya masih merupakan sebuah harapan akan teknologi antariksa Indonesia dimasa depan. Sebagai negara besar, memiliki penduduk terbanyak nomor 4 di dunia (dibawah China, India, dan Amerika Serikat), Indonesia di tahun 2022 merupakan satu-satunya di antara 4 negara besar tersebut yang teknologi antariksa nya belum mampu mengorbitkan satelit sendiri. Rusia, China, India, dan Amerika Serikat sudah sangat terdepan dalam teknologi tersebut. Di Asia jika bandingkan dengan negara lain seperti Jepang dan Duo Korea (Selatan dan Utara) kita tidak ada apa-apanya. Padahal kalau mau menilik sejarahnya, di kawasan Asia Indonesia adalah negara kedua yang mampu meluncurkan roket ilmiah buatan sendiri setelah Jepang, pada tahun 1964. Saat itu China dan India belum ada apa-apanya. 60 tahun kemudian, India telah sukses dengan misi-misi peluncuran luar angkasa tak berawak nya, seperti roket PLSV milik nya yang mampu meluncurkan 100 satelit kecil, hingga misi luar angkasa lainnya seperti Chandrayan dan Astrosat. Jangan ditanya mengenai teknologi antariksa China, mereka telah sukses mengirimkan robot ke Mars, bahkan untuk teknologi berawak, mereka telah sukses memiliki satelit luar angkasa Tiangong, teknologi yang menjadikannya sejajar dengan AS dan Rusia. Teknologi antariksa berawak pada dasarnya adalah teknologi tingkatan tertinggi di dunia, sebab banyak hal yang diperhatikan mulai dari teknologi pesawat antariksanya, teknologi pendukung kehidupan seperti bernafas, makan, pengolah udara dan air, hingga Kesehatan dan mental awak, dan yang paling penting pengembangan teknologi tersebut membutuhkan waktu dna biaya yang tidak sedikit.
Bulan Mei 2022 lalu, Presiden Jokowi mendatangi orang terkaya di dunia Elon Musk, di Boca Chica, Texas, AS. Tempat yang didatangi Presiden merupakan fasilitas pengembangan roket Starship (calon roket terbesar dan terberat di dunia) milik perusahaan Elon Musk, SpaceX. Sejak tahun 2020, SpaceX merupakan satu-satunya perusahaan swasta di dunia yang mampu membawa manusia ke luar angkasa, baik ke orbit bumi maupun ke Internasional Space Station (ISS) / stasiun luar angkasa internasional. Badan antariksa nasional Amerika Serikat atau NASA bahkan sangat tergantung dengan SpaceX untuk misi berawaknya, pasca Space Shuttle NASA pensiun di 2011 dan terlambatnya pesawat luar angkasa Starliner milik Boeing. Kedatangan Jokowi merupakan sesuatu yang istimewa, menurut rilis Setneg, Jokowi dan Elon Musk berbicara banyak hal yang fokus pada 2 hal peluang kerjasama industri antariksa dan mobil listrik (Elon Musk memiliki perusahaan mobil listrik Tesla). Menarik Kerjasama apa yang dapat terjadi antara SpaceX dan Indonesia, apalagi Elon diketahui sebagai orang yang memiliki mimpi membangun koloni manusia di Mars di tunjang kemampuan finansial yang kuat.
Kembali lagi ke teknologi antariksa Indonesia. Sebenarnya teknologi antariksa bukanlah sesuatu yang muluk-muluk untuk dikuasai. Masa depan dunia akan ditentukan oleh teknologi ini. Banyak kebutuhan sipil yang membutuhkan teknologi satelit, seperti komunikasi, navigasi, cuaca, dan kebutuhan data spasial. Belum lagi berbicara untuk kebutuhan militer baik untuk komunikasi, pengintaian, atau bahkan untuk upaya ofensif. Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran bahwa kemandirian suatu bangsa adalah mutlak dimiliki. Disaat-saat genting setiap negara akan lebih mementingkan national interest nya, memiliki uang saja belum tentu mampu memenuhi kebutuhan negara, harus didukung oleh kemampuan sumber daya manusia dan teknologinya. Saat ini arah penguasaan teknologi antariksa tidak hanya dimiliki Lembaga Antariksa nasional sebuah negara, tetapi saat ini menuju kea rah swastanisasi, dimana banyak perusahaan swasta yang hadir, seperti SpaceX, BlueOrigin, dan Rocket Lab di AS, serta LinkSpace di China. Sejak 2010an Mereka dapat mendistrupsi teknologi antariksa menjadi lebih murah dan lebih cepat berkembang. Contohnya SpaceX yang roketnya dapat dipakai berulang-ulang, hingga dapat membawa astronot. Namun selain itu ada pula yang masih konvensional seperti Lembaga antariksa nasional India atau ISRO. ISRO bahkan sedang menyiapkan misi berawak pertama mereka, yang diberi nama “Gaganyaan”.
Kerjasama dengan SpaceX tentu sesuatu hal yang baik, menandakan Indonesia yang diakui untuk tempat investasi teknologi antariksa, yang merupakan terdepan di dunia. Namun tentu kita tidak bisa hanya menjadi penonton saja, kehadiran SpaceX dan karpet merah yang telah digelar Jokowi, harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk national interest kita. Entah seperti apa yang akan dikembangkan di Indonesia, apakah model mendukung ekosistem swasta seperti yang saat ini dilakukan NASA Amerika Serikat dan kedepannya China melalui CNSA, atau konvensional seperti ISRO India. Langkah awal, setidaknya Indonesia harus mampu memiliki teknologi untuk mengorbitkan satelit satelit sendiri. Kemampuan itu harus diikuti dengan kemampuan mendesain dan membangun satelit dari nol. Baru setelah itu kita bisa berbicara mengenai teknologi antariksa berawak. Namun satu hal yang penting, teknologi antariksa sudah merupakan kebutuhan bukan sebuah proyek mercusuar, terlebih untuk negara yang mengaku sebagai negara besar.