Alih Teknologi (Transfer of Technology) dan Pengembangan Alutsista
Alih teknologi atau Transfer of Technology (ToT) beberapa tahun belakangan ini selalu menjadi topik yang mengemuka ketika membicarakan program pengadaan alutsista. Alih teknologi bahkan telah menjadi poin wajib dalam setiap pengadaan alutsista dari luar negeri. Dalam jangka panjang diharapkan dengan adanya proses alih teknologi maka Industri pertahanan dan ahli ahli Indonesia dapat mewujudkan kemandirian di bidang pertahanan. Diharapkan dengan adanya kemandirian pertahanan, Indonesia tidak perlu terlalu bergantung ke negara lain yang bisa berubah-ubah pandangan politiknya terhadap Indonesia
Ada 3 prinsip dasar yang sepatutnya dipenuhi dalam mengembangkan sebuah alutsista dari sisi pengguna yaitu : dapat memenuhi kebutuhan, mudah dioperasikan, dan ekonomis dalam perawatan. Dari sisi pengembang/Industri pertahanan tentu saja juga ada prinsip-prinsip yang harus dipenuhi yaitu konstruktibilitas alutsista, local content dari material dasar alutsista, dan kesesuaian biaya produksi dengan harga pembelian pemerintah. Tentu saja ongkos produksi harus ditutup oleh harga pembelian pemerintah, selain itu, biaya pengembangan juga selayaknya dimasukkan kedalam unit cost. Oleh karena itu, sejak awal sebelum pengembangan harus ditetapkan rencana kebutuhan jangka panjang terhadap alutsista tersebut, sehingga menjamin kontinuitas jalur produksi, karena menghidupkan ulang jalur produksi yang sudah berhenti berproduksi biayanya cukup mahal. Selain itu, prinsip dapat memenuhi kebutuhan harus menjadi pertimbangan utama, karena jikalau alutsista yang dikembangkan akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan TNI, maka akan menjadi hal yang kurang bermanfaat bagi kemandirian di bidang pertahanan. TNI pun harus dituntut untuk konsisten dengan perencanaan yang dibuat sehingga pada akhirnya tidak menolak produk dagri yang dikembangkan sesuai kebutuhan TNI.
Tahapan dalam pengembangan alutsista bisa dibagi kedalam fase: Pre Feasibility Study – Feasibility Study – Basic Design/Engineering – Detail Design/Engineering – Production Design/Engineering – Construction – Testing and Commission dan berujung pada serah terima kepada pengguna. Fase kritikal tidak hanya pada testing and commission, tapi sudah dimulai sejak Pre Feasibility Study. Fase Pre Feasibility Study kadang diabaikan oleh para pengembang dan perencana. Fase Pre Feasibility Study ini adalah fase dimana dilakukan pengecekan kebutuhan riil TNI dan penentuan poin-poin utama dari proyek yang memerlukan perhatian lebih. Selain itu, dilakukan penghitungan biaya per unit berdasarkan perkiraan biaya pengembangan dan biaya produksi. Fase ini menghasilkan output dengan akurasi 20-30%, jika dinilai biaya per unit terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan TNI maka bisa berlanjut ke Feasibility Study dimana dilakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang kemungkinan terlibat dan ditentukan kelayakan proyek secara umum berdasar kesiapan anggaran, fasilitas, dan penguasaan teknologi dasar. Output dari fase ini memiliki akurasi 10-15%.
Setelah dinilai layak, maka pengembangan akan masuk ke fase Basic Design/Engineering dimana besaran-besaran pokok dari alutsista akan ditentukan (contohnya: berat, dimensi, rough 3D modelling, kapabilitas, kapasitas angkut) serta peralatan apa saja yang akan ada di alutsista tersebut. Pada fase ini, setelah semua drawing selesai, harus melalui proses review dan persetujuan dari TNI yang telah berkomitmen untuk menggunakan alutsista tersebut di masa yang akan datang. Komunikasi antara pengembang alutsista dengan calon pengguna harus senantiasa dijaga untuk menjamin kualitas alutsista sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya akan menginjak fase Detail Design/Engineering fase ini adalah fase kritikal dimana dilakukan 3D modelling secara mendetail. Pengembang akan menentukan hal hal teknis seperti: mounting mesin, mounting senjata, detail permukaan alutsista, weight control, CoG (Center of gravity) modification, routing kabel dan pipa hidrolis/pneumatis. Dalam fase ini harus dipastikan lewat model 3D bahwa tidak ada clash antara item satu dengan yang lain dan ketika sebuah bagian bergerak tidak akan menabrak bagian lainnya. Detail design juga harus mendapat approval dari calon pengguna untuk memastikan bahwa unsur operabilitas dan maintainabilitas terpenuhi ketika alutsista tersebut telah menjadi bagian dari TNI.
Selanjutnya adalah fase konstruksi, di dalam fase ini maka akan dilakukan pencetakan part-part alutsista, pembelian peralatan dari pihak ketiga, integrasi antar bagian, dan perakitan. Di dalam fase ini pengembang harus melakukan optimasi proses produksi agar prototype maupun produk alutsista bisa diselesaikan tepat waktu sehingga meminimalkan ongkos produksi. Pengembang juga harus memastikan semua peralatan dari pihak ketiga bisa sampai tepat waktu dan bisa diintegrasikan dengan bagian yang telah ada.
Fase terakhir adalah fase testing and commission, dalam fase ini akan dilakukan kalibrasi alat-alat dan pengecekan fungsi peralatan yang ada di dalam alutsista. Setelah itu akan dilakukan uji lapangan dimana akan dilakukan pengecekan performa alutsista dibanding spesifikasi di design awal. Fase ini juga akan menentukan diterima tidaknya alutsista tersebut untuk menjadi bagian dari TNI. Di dalam fase ini, umumnya memang akan ditemui kesalahan dan kekurangsesuaian performa terhadap spesifikasi awal, yang kemudian akan menjadi feedback bagi pengembang untuk kemudian memperbaiki produknya. Fase ini pada umumnya bisa memakan waktu bertahun-tahun ketika yang diuji merupakan sebuah prototype, tapi untuk produk final, fase ini bisa berlangsung dalam hitungan minggu atau bulan saja karena parameter pengujian telah diketahui dan standar produknya telah ada.
Penjelasan diatas merupakan gambaran umum pengembangan alutsista mulai dari 0, bagaimanakah dengan ToT? ToT sampai saat ini paramaternya belum terlalu tegas, dari ToT yang sedang berjalan, belum ada standar yang jelas ToT itu berada di fase apa. Namun, dari pengembangan Kapal Selam Diesel Elektrik, ToT dimulai sejak Basic Design dimana telah ada personil TNI AL yang dikirim ke Okpo Shipyard untuk menjadi Technical Representative selama Basic Design. Pada fase selanjutnya, personil TNI AL dan PT PAL akan terlibat dalam fase detailed design dan construction. Dalam fase detailed design diharapkan tenaga ahli Indonesia mampu menguasai prinsip-prinsip rekayasa yang baik yang biasa diterapkan dalam perancangan alutsista dan praktik-praktik standar. Dalam fase konstruksi yang merupakan fase vital yang bisa menentukan performa dan ketahanan alutsista, diharapkan tenaga ahli kita mampu menyerap ilmu konstruksi dan kontrol kualitas yang memadai untuk menjamin hasil akhir sesuai dengan yang diharapkan. Setelah 2 kapal selam dibangun di Korea, diharapkan kapal selam 3 bisa dibangun di PT PAL dengan ditunjang fasilitas konstruksi dan perawatan senilai 1,5 Trilyun rupiah.
Contoh ToT yang kedua adalah pengembangan bersama pesawat tempur KFX/IFX dengan korea selatan, di dalam proyek ini, Indonesia dan Korea bersama sama mengembangkan pesawat tempur yang diproyeksikan menjadi pengganti F-16 bagi Indonesia dan pengganti F-4 dan F-5 bagi Korea. Di dalam pengembangan ini, Indonesia memegang saham 20% dan terlibat mulai dari fase awal pengembangan. Program ini telah menghasilkan desain dasar dari pesawat dan meskipun saat ini pengembangannya sedang ditunda, banyak pelajaran yang didapat dari pengembangan bersama yang telah dilakukan. Dari proyek ini bisa diketahui bahwa ternyata kemampuan tenaga ahli Indonesia tidak kalah dengan tenaga ahli Korea Selatan yang telah berpengalaman merancang T-50 Golden Eagle dengan dibantu Lockheed Martin. Dari proyek ini dapat dipelajari pula bahwa fase Pre feasibility design memiliki peran yang sangat menentukan, terutama tentang kesesuaian spesifikasi dengan kebutuhan pengguna.
Kesimpulan dan Saran
Diperlukan perencanaan yang matang dalam pengadaan suatu alutsista yang sebisa mungkin sejalan dengan rencana pengembangan dan penguasaan teknologi alutsista. Karena selain berdaya gentar dan daya hantam tinggi, reliabilitas dan kemandirian dalam membuat alutsista juga menentukan dalam keefektifan sebuah alutsista di medan perang. Diperlukan perencanaan yang matang pula mulai dari tahap pre feasibility study sampai dengan construction agar alutsista yang dikembangkan dapat memenuhi kebutuhan, mudah dioperasikan, dan ekonomis dalam perawatan. Konsistensi pengguna juga diperlukanagar mau menggunakan produk yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan awalnya.
Terima kasih infonya tentang Transfer of Technology , kenalkan saya Muhammad Fernanda dari Atma Luhur.
Kunjungi website saya https://www.atmaluhur.ac.id