Boyong Jet Tempur Dari Barat, Apakah Indonesia Masih Non-Blok?

46 negara anggota GNB dalam Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) Gerakan Non-Blok (GNB) di Baku, Azerbaijan tanggal 23-24 Oktober 2019. Dokumentasi Kedutaan Besar Republik Indonesia Azerbaijan.
Oleh: Hanif Rahadian
Indonesia berencana untuk mendatangkan sejumlah Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) berupa pesawat tempur Rafale dari Prancis dan juga F-15 Eagle II dari Amerika Serikat (AS), keduanya menjadi pilihan Indonesia untuk memperkuat armada Angkatan Udara Indonesia setelah sebelumnya, proses pengadaan pesawat tempur SU-35 dari Rusia gagal karena adanya ancaman sanksi ekonomi oleh AS dengan hadirnya Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) di tahun 2017, padahal dengan posisinya sebagai sebuah negara Non-Blok, Indonesia dapat bebas menentukan kerjasama luar negerinya di sektor apapun dengan negara manapun, tanpa adanya intervensi dari negara-negara yang seakan tidak setuju dengan sikap yang diambil oleh Indonesia.
Sebagai salah satu negara dengan kebijakan luar negeri Bebas Aktif, Indonesia memiliki hak untuk bebas dalam menentukan arah politik luar negerinya, tidak terikat dengan dengan pengaruh negara manapun baik dengan Rusia dan Cina, atau dengan AS dan para sekutunya. Alasan ini menjadi dasar bagi Indonesia untuk dapat menjalin hubungan baik dengan banyak negara. Tidak terikatnya Indonesia dalam blok manapun ini berdampak kepada kemampuan Indonesia untuk dapat membeli peralatan persenjataan dari berbagai negara, tidak hanya bergantung kepada negara-negara yang tergabung dalam “Blok Barat”, namun Indonesia juga dapat membeli persenjataan dari Rusia dan bahkan Cina yang juga merupakan dua negara besar yang secara konsisten, menjadi pesaing AS.
Keinginan Indonesia untuk dapat membeli peralatan selain dari negara-negara seperti AS akhirnya harus gugur, manakala AS mengancam akan memberlakukan sanksi ekonomi melalui hadirnya CAATSA kepada negara-negara yang tetap nekat untuk membeli peralatan persenjataan dari negara-negara yang menjadi pesaing AS, seperti Rusia. Menyusul hadirnya ancaman sanksi ini, maka Indonesia akhirnya terpaksa untuk mencari opsi persenjataan dari negara lain, yang dipastikan dapat dibeli Indonesia tanpa perlu khawatir mendapat ancaman sanksi ke depannya.
Sebagai sebuah negara Non-Blok, Indonesia mendapatkan banyak perhatian dari negara-negara besar dunia. Faktor pendukungnya adalah, Indonesia berada pada posisi yang strategis di wilayah Indo-Pasifik, dengan memegang kendali jalur perdagangan dunia internasional di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang saling terhubung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) berserta tiga Chokepoints nya. Indonesia merupakan salah satu negara paling diperhitungkan di wilayah Indo-Pasifik, negara ini juga merupakan salah satu kekuatan regional terbesar di kawasan, khususnya di Asia Tenggara. Posisi Indonesia yang strategis merupakan daya tarik negara-negara besar untuk dapat menjalin hubungan baik dengan Indonesia di berbagai sektor, tidak hanya pertahanan-keamanan, namun juga perdagangan serta ekonomi. Karena Indonesia memiliki kebijakan luar-negeri Bebas Aktif, maka negara ini memiliki kebebasan dalam menjalin hubungan kerjasama bilateral dari banyak negara, terlepas dari apapun Blok mereka. Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pada akhirnya adalah, selama tidak terlibat dalam pakta pertahanan maupun aliansi manapun, Indonesia tidak benar-benar memiliki teman dekat, yang dapat diandalkan apabila negara ini berada di bawah ancaman atau agresi militer negara lain. Praktis, Indonesia harus mampu menyiapkan postur gelar pertahanannya secara mandiri, sembari berusaha untuk mewujudkan cita-cita bangsa nya, melindungi segenap tumpah darahnya serta memperjuangakan kepentingan nasionalnya.
Menjadi sebuah negara Non-Blok, selayaknya sebuah negara harus didukung dengan modal ekonomi yang kuat, juga angkatan bersenjata yang tangguh sebagai bagian dari upaya untuk menjalankan proses diplomasi dan negosiasi dengan banyak negara. Permasalahannya, Indonesia masih harus banyak bergantung dengan negara lain, terutama dalam sektor pertahanan. Ketidakmampuan Indonesia untuk meneruskan pembelian sejumlah sistem persenjataan dari Rusia serta akhirnya melirik persenjataan dari negara-negara yang tergabung dalam Blok-Barat jelas merupakan sebuah bentuk kegagalan diplomasi. Semestinya, jika posisi Indonesia kuat baik secara ekonomi maupun militer, maka ancaman sanksi yang diberikan bukanlah penghalang bagi Indonesia untuk tetap melanjutkan proses negosiasi dan akhirnya mendatangkan persenjataan-persenjataan selain dari AS dan sekutunya tersebut.
Ditengah konstelasi geopolitik global negara-negara besar saat ini, meskipun Indonesia berulang kali mengatakan bahwa posisinya netral, namun kenyataannya Indonesia tetap ‘digiring’ untuk lebih memihak kepada negara-negara dari Blok-Barat. Penandatanganan kontrak untuk pembelian pesawat tempur jenis Rafale dari Prancis dan rencana pengadaan pesawat tempur F-15ID dari AS, serta pembatalan dari upaya pengadaan pesawat tempur SU-35 dari Rusia, adalah salah satu bukti dari hal tersebut. Indonesia saat ini berada pada posisi dilematis, di mana banyak melakukan kerjasama terhadap banyak negara, tapi tetap pada akhirnya terpaksa harus memihak ke Barat karena adanya ancaman sanksi yang diberlakukan.
Indonesia bahkan tidak dapat secara tegas menganggap sebuah negara tertentu sebagai sebuah ancaman aktual, meskipun jelas negara tersebut dengan kekuatan militernya bisa menjadi potensi ancaman yang berbahaya bagi kedaulatan negara di masa yang akan datang. Contohnya adalah Cina, ditengah persaingan Cina dan AS di wilayah Indo-Pasifik, agresifitas nya di wilayah Laut Cina Selatan (LCS), dan keinginannya untuk merebut kembali Taiwan bahkan dengan tindakan militer sekalipun adalah suatu tindakan yang mengkhawatirkan. Indonesia tidak terlibat dalam sengketa di LCS, maupun konflik di Selat Taiwan, namun mengingat posisinya yang sangat dekat dengan wilayah Indonesia, maka apabila terjadi konflik militer pecah di sekitar kawan, bisa dipastikan Indonesia akan ikut terseret di dalamnya. Sayangnya, karena hubungan bilateral yang baik dengan Cina terutama di sektor ekonomi dan invetasi, pemerintah Indonesia tidak dapat secara gegabah menganggap Cina sebagai ancaman nyata bagi kedaulatan negara. Kemudian, saat Rusia dengan jelas menginvasi Ukraina di wilayah Eropa, Kementerian Luar Negeri Indonesia tidak dapat secara tegas menyebut Rusia sebagai negara Aggressor dan mengecam tindakan Rusia atas Ukraina. Kedua hal ini jelas disebabkan oleh hubungan dekat Indonesia dengan Cina serta Rusia, berkat kebijakan politik luar negeri bebas aktif nya. Bahkan, dalam sebuah draf resolusi yang disusun oleh anggota Persatuan Bangsa-Bangsa, yang menyerukan penghentian terhadap serangan Rusia atas Ukraina, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia-Tenggara yang tidak menandatangani draf tersebut, hal ini jelas bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu turut serta menjaga ketertiban dunia.
Indonesia perlu lebih tegas menyatakan sikap dan posisinya, ditengah pergolakan geopolitik, geostrategis serta posisi Indonesia di mata dunia saat ini, Non-Blok sudah tidak lagi relevan untuk Indonesia, terlebih negara kepulauan ini belum memiliki modal cukup baik secara ekonomi dan pertahanan. Jika tetap ingin berpegang teguh pada kebijakan Non-Blok artinya kekuatan ekonomi dan militer Indonesia harus lebih ditingkatkan, negara perlu daya tawar lebih tinggi serta tidak mudah dipengaruhi, atau terdikte oleh kepentingan negara-negara lain. Berbicara soal jaminan kedaulatan negara di masa mendatang serta hadirnya tantangan keamanan dari hadirnya konstelasi negara-negara besar di dunia yang sifatnya sangat dinamis seperti sekarag ini, Indonesia tidak dapat terus berdiri di zona abu-abu yang tidak menentu.