Kemandirian Diatas Segalanya?
Setelah gonjang ganjing permberitaan dan ‘perang’ pendapat di media tentang Main Battle Tank Leopard. Nampaknya media kedepan akan diwarnai dengan gonjang-ganjing UAV (Unmanned Aerial Vehicle) yang konon katanya akan berasal dari Israel. Pada kasus MBT, 2 alasan utama dikemukakan pihak yang kontra, yang pertama adalah ketidakcocokan MBT terhadap kondisi geografis Indonesia, yang kedua adalah “Kenapa tidak kembangkan sendiri?” Banyak alasan telah dikemukakan untuk mengcounter kedua pendapat ini, terutama masalah kondisi geografis dan masih jauhnya industri dalam negeri dalam memproduksi MBT sendiri (Seperti dikemukakan Dirut PINDAD, kemampuannya belum sampai ke membuat tank sekelas Leopard). Kontra-kontra alasan tersebut akhirnya meluluhkan kerasnya pendirian Komisi 1 DPR menolak Leopard.
Untuk kasus UAV, alasannya tetap 2, disini alasan yang digunakan adalah pertama Prejudice terhadap negara pembuatnya, yang kedua adalah “Kenapa tidak kembangkan sendiri?”. Untuk masalah prejudice, seperti kita ketahui memang ada ‘kebencian’ terhadap Israel yang berkembang di publik Indonesia dikarenakan alasan Palestina. Sebagian anggota Komisi 1 DPR pun terang-terangan menolak karena asalnya dari Israel. Hubungan Indonesia-Israel bisa dibilang unik, jika kita flashback ke operasi Alpha ( A-4 Skyhawk dari Israel), pembelian beberapa alutsista dari Israel, upgrade beberapa Alutsista TNI, bahkan penjualan spare part pesawat tempur ketika kita diembargo Amerika. Di satu sisi, tidak ada hubungan diplomatik secara resmi. Alasan kedua adalah “Kenapa tidak kembangkan sendiri?” Memang harus kita akui, di Indonesia tidak sedikit riset tentang Unmanned Aerial Vehicle, dan sayangnya beberapa nampaknya kurang mendapat perhatian dan dukungan pemerintah. Bahkan ada periset UAV yang berkarya di negeri jiran Malaysia, yaitu pak Endri Rachman. Tapi sebelum sepenuhnya menunjuk kesalahan ke suatu pihak, mari kita lihat requirementnya. Dari beberapa pernyataan dari pihak TNI di media, didapat beberapa poin penting spesifikasi teknis (spektek) yang menjadi User requirement TNI. Diantaranya, Kemampuan patroli (loitering time) selama 20-23 jam, kemampuan beroperasi di ketinggian medium (sekitar 15.000 kaki), kemampuan beroperasi segala cuaca, dan kemampuan gotong senjata (need to be confirmed later). Pertanyaannya, sudahkah riset UAV di Indonesia mencapai level itu?
Inilah dilema yang menyertai setiap pembelian alutsista dari luar negeri, kita tidak boleh menafikan, kemandirian dibidang pertahanan memang hal yang mutlak harus diperjuangkan mengingat kita mempunyai pengalaman pahit terkena embargo. Tapi ada baiknya kita kembali berkaca dan introspeksi, siapkah industri kita? Mungkin contoh VAB dan Anoa bisa menjadi pengalaman berharga, bagaimana kondisi Pindad yang ternyata makin pesat dan mampu menghasilkan Anoa setelah pembelian VAB ‘bekas’. Mungkin kondisi pindad akan berbeda jika dulu kita tidak membeli sejumlah VAB ready stock dari Prancis. Saya mencontohkan VAB dan Anoa karena kita menghadapi kasus yang hampir mirip dalam UAV ini. Di satu sisi ada kebutuhan yang memang sesegera mungkin dipenuhi, disatu sisi kemandirian pertahanan juga mutlak harus diperjuangkan.
Mengapa kita kadang memaksakan salah satu hal diatas segalanya, mungkin kita bisa menganalogikan kemandirian vs kebutuhan seperti gun vs butter. Jika kita bisa mengembangkan keduanya secara beriringan, mengapa harus memihak salah satu? Selain itu, kita juga harus melihat dari sisi stakeholder, pengadaan merupakan urusan Badan Ranahan Kemhan dan riset dibawah balitbang Kemhan, meskipun sama sama dibawah kemhan, patut kita ketahui kedua badan ini memiliki anggaran yang mandiri satu sama lain, jadi memindahkan anggaran pengadaan ke riset alutsista tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena melibatkan mekanisme yang harus berhadapan dengan undang-undang dan produk hukum lain.
Maka dari itu, jikalau memang pengadaan suatu alutsista merupakan sebuah kebutuhan mendesak, saya pribadi berpendapat, ya tidak masalah beli dari luar (dari manapun itu) asalkan ada jaminan memajukan teknologi Pertahanan, kelancaran spare part, dan tidak adanya embargo (Seperti diatur dalam Permen tentang Tata Cara Pengadaan Alutsista di Lingkungan TNI). Selain jaminan tersebut, alangkah baiknya jika balitbang kemhan mengalokasikan dana untuk riset UAV agar mencapai level requirement TNI, dengan dibantu teknologi yang diperoleh dari UAV yang kita beli dari luar negeri. Untuk kasus UAV Israel, patut dicatat beberapa negara (Turki, Russia, dan Eropa) mengembangkan UAV dengan asistensi Israel, atau menggunakan basis UAV Israel dalam membuat Indigenous UAV-nya.
Melihat beberapa alinea diatas, alangkah baiknya jika kemandirian dan kebutuhan bisa berjalan secara beriringan. Jikalau kebutuhan lebih mendesak, maka penuhilah segera dengan catatan kalau beli dari luar harus mendukung riset kemandirian teknologi. Janganlah salah satu pihak bersikap egois dan menempatkan salah satu diatas segalanya. Jikalau begitu, pada akhirnya prajurit TNI dan kedaulatan Indonesia lah yang akan menjadi korban karena ketidaksesuaian alutsista dengan kebutuhan atau embargo senjata.
Untuk kasus asal alutsista dari Israel, alangkah baiknya kita mendahulukan kebutuhan bangsa dan negara diatas segalanya dan menyingkirkan kepentingan pribadi dan golongan. Sebagai insan NKRI, bukankah sudah kewajiban kita mendahulukan kedaulatan negara? Meskipun pada akhirnya kita masih bisa bekerjasama dengan negara lain (Turki, Russia, Eropa dengan EADSnya), tetapi dari ketiga negara tersebut pun basisnya menggunakan teknologi Israel. Pada akhirnya, apapun nanti yang terpilih, semoga tidak menimbulkan polemik berkepanjangan dan tidak menjadi obyek politik. Sehingga mampu memenuhi kebutuhan Alutsista TNI dan mampu mendukung majunya riset UAV sesuai requirement TNI. Disini diperlukan sinergi antara Badan Ranahan Kemhan dan Balitbang Kemhan dalam merumuskan kontrak dan roadmap UAV terbaik untuk kebutuhan Negara.
1. Militer yg paling berpengalaman memgunakan UAV adalah Israel dan US. RI tertimgal 15 tahun di belakang US dan Israel dalam kemampuan pembuatan dan operasional UAV. TNI patut belajar dari mereka dalam pemgunaan UAV yg akan semakin mendominasi operasi militer. Mari kita pisahkan antara kebencian perbedaan basis ideologi dan politik. Kita harus bergairah untuk belajar dari siapa saja.
2. Eropa bukan pilihan untuk menjadi sumber pengadaan UAV karena Eropa tergolong tidak ada pengalaman dalam pembuatan dan pengiperasian UAV. Kenapa demikian, UU di seantero Eropa yg menyebabkan UAV tidak populer, bahkan Aeromodeling pun tidak berkembang. Namun dalam potensi teknologi, Eropa berada 10 tahun di depan RI.
3. Afrika Selatan dan Rusia masih memiliki potensi 10 tahun di depan RI, namun terus menerus merosot.
4. RI berada dalam tahun kemampuan yg setara dg negara2 Jepang, Korea, Cina, Eropa Timur. Mereka mulai mengoperasikan produk domestik mereka sendiri, sehimga feed back dari lapangan operasi akan cepat mematangkan produk mereka.
5. Negara2 berikut berada 5 tahun di belakang RI antara lain, Pakistan, India, Singapura, Malaisia. Mereka punya kerjasama internal yg baik, karena itu saya pastikan mereka tengah menikmati kemajuan yg pesat.
6. Negara2 Afrika Utara dan Timur Tengah berada 15 tahun di belakang RI.
7. Mengenai pilihan TNI terhadap Searcher 2, itu cocok untuk pemantauan pulau2 terluar, zona ekonomi eksklusif, dan daerah tankapan ikan di laut Arafuru, karena itu, penempatan yg paling baik adalah Makasar bukan Pontianak. Penempatan di Pnk hanya pas untuk pengawasan Natuna, jadi tidak akan cukup produktif. Selain itu hanya akan menciptakan banyak keuntungan bagi Spore (yg memiliki GCS yg kompatibel untuk ikut menikmati aktifitas operasi pesawat yg serupa dg yg mereka miliki). Spore sebagai tentakel bisnis Israel pasti ingin ikut menikmati penyedotan devisa RI dalam hal pengadaan suku cadang dan jasa perawatan. Ini adalah bisnis janka panjang dg kucuran yg sangat deras, sekurang2 nya 4jt USD pertahun yg “anda semua akan membela dg pembelaan gigih seperti dalam proses pembelian sekarang ini” karena suku cadang dan perawatan ini sangat sulit dialihkan ke dalam negeri.
8. Bagaimana bila dioperasikan di perbatasan Kalimantan ? Endurance dan altitude Searcher 2 kontra produktif dg tugas di arena ini yg lebih memerlukan kerapatan barisan pengawasan (jumlah pesawat), under cloud operations, kehadiran peswat yg sulit diramalkan, multi level ketajaman gambar. Pengoperasian Searcher 2 di arena ini, pada low altitude rentan terhadap kecelakaan dan jamming. Ingat bahwa di region ini banyak bangsa2 yg benci dg Israel. Operasi pada high altitude akan kehilangan ketajaman gambar.
9. Apakah personil TNI siap mengoperasikan Searcher 2 ? Sekedar dugaan saja yaaaa, selama 5 tahun perlu pendampingan personil Israel atau Spore. Anda pasti akan sangat malu jika 80jt USD ludes dalam 5 tahun bukan ? Jadi data macam apa lagi yg akan dikumpulkan oleh pendamping itu agar mereka tetap menguasai hulu shoping list ? Apa itu hulu shoping list, yaitu “opsreq”. Opsreq ini sering sekali penuh ambiguitas, samar2, dan sulit bagi pejabat awam untuk mengorek karena mengasumsikan TNI lebih tau kebutuhan lapangan. Ini asumsi yg kurang cerdas, meskipun lapangan TNI tidak berubah tetapi lapangan orang lain telah banyak berubah yg boleh jadi TNI kekurangan info. Jika sama2 harus ambil dari Israel, apakah Searcher 2 adalah pilihan terbaik ? Tidak, di sana banyak produk yg saling bersaing yg berteknologi lebih baru tentu dg harga yg lebih murah.
10. Kita mafhum bahwa 50% kekuatan pukul militer terankum dalam pelatihan, dan 50% lagi dalam latar belakang teknologi. Siapa yg peduli akan penguasaan latar belakang teknologi ? TNI hanya peduli terhadap operasi militer “sekarang” tidak melihat “dirinya” memiliki potensi pembankitan ekonomi berbasis teknologi. Saya membaca bahwa militansi bangsa negara ini telah tercerabut (sejak PB III, HB I, MN I dan PA I). Himga kini militansi itu belum merasuki jiwa raga kita lagi. Apakah kita berada dalam cara yg benar mencapai kejayaan RI ? Kita tau jawabannya bukan ….
Salam,
Djoksar
wah, sungguh beruntung kami pak Djoksar yang berkecimpung langsung di dunia UAV mau ikut urun rembug disini 😀
saya untuk beberapa poin sependapat dengan pak Djoko, terutama masalah “kita harus belajar dari siapapun demi kemajuan” dan masalah potensi teknologi, saya jadi tergelitik kalau ingat di website Turkish Aerospace Industry ada section “Reverse Brain Drain Project”, tapi biarlah itu nanti jadi tulisan tersendiri
Untuk masalah pemilihan jenis, sebenernya pendapat saya pun kurang sreg dengan Searcher Mk2, kalau saya pribadi lebih condong ke hermes, meskipun singapura juga punya. Inilah yang kita susah, singapura sudah terlanjur punya searcher dan hermes duluan, hehehe, jadi kalau mau beda apa heron-TP sekalian :D, kalau dari mabes TNI AU malah saya dengernya tahun 2010 menjatuhkan pilihan ke Aerostar
masalah ops req memang, di satu sisi kelihatan ambigu, tapi di satu sisi memang ada tuntutan bahwa ops req/spek tek sendiri haruslah tidak mengarah ke suatu produk secara spesifik. Adapun ops req yang saya dapatkan adalah :
-loiter time 10-13 jam
-Medium altitude
-Day and Night operation
-Bisa dipersenjatai (poin yang sangat membuat pilihannya terbatas, meskipun kedepannya pengembangan misil seperti Thales Lightweight missile membuat UAV dengan payload 100an KG mampu dipasang 4 rudal+FCS, dimana rudal ini dipandu laser)
dari pemilihan Searcher MK2 sendiri jelas poin keempat nampaknya untuk sekarang masih susah untuk direalisasikan, mengingat selain predator belum ada UCAV yang mature teknologinya, dan dari day and night operation dibanding medan operasinya, saya malah cenderung ke UAV Turki (aselsan) yang performa FLIRnya lebih baik dimana merupakan pengembangan dari UAV Israel (Heron) yang dipandang turki kurang sesuai dengan medan operasi turki. Saya sebenernya dari dulu ingin yang seperti ini, apapun alutsistanya, ya seyogyanya disesuaikan dengan kondisi lingkungan kita, jangan diterima apa adanya (tropikalisasi, uji fungsi, dsb). Jadi untuk pemilihan saya memang juga kurang setuju, tapi kalaupun memang hasil pengujian (yang katanya Searcher vs Hermes vs UAV buatan irkut) menyatakan Searcher lebih unggul, disini masih belum setransparan di amerika dimana hasil uji dipublikasi parameter2 dan hasilnya secara umum untuk pertanggungjawaban ke publik, itulah kenapa hasil tender di amerika bisa digugat ke GAO
ya saya setuju dengan poin ke 10, melihat track record riset alutsista yang masih seperti ini, memang diharapkan ada integrasi riset antar matra kedalam balitbang kemhan, supaya riset terarah, terintegrasi, dan lebih jelas penggunaan outputnya. Meskipun kalau dilihat sekarang untuk beberapa proyek riset malah yang jelas penggunaan outputnya itu riset dislitbang angkatan. Jadi memang harus ada revitalisasi di bidang riset, agar bisa tepat guna dan terjamin pemakaiannya, enggak cuman jadi prototype dan laporan. Maka dari itu pembentukan semacam DARPA dimana riset dan akuisisi terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksaan merupakan suatu hal yang patut kita dorong
pada akhirnya, artikel ini sebenarnya tidak bertujuan untuk memihak salah satu opsi (beli atau kembangkan) dimana keduanya diharapkan mampu berjalan bersamaan dan semua pihak hendaknya mematuhi amanat UU pengadaan barang dan jasa dan permenhan tentang pengadaan alutsista, dimana kita harapkan Transfer teknologi berjalan dan bukan sekedar syarat pelengkap supaya pembelian berjalan. Dan saya gak Searcher harga mati kok pak 🙂 intinya pilihlah yang sesuai kebutuhan, hehehe
masalah spare part sih saya belum sampai ke level itu berpikirnya, mungkin karena masih terpaham ketika kita kesulitan spare part pesawat gara2 diembargo amerika, eh masih ada yang berani jualan ke kita, meskipun lewat singapura :D, meskipun kita harus sama2 sepakati, bergantung ke singapura masalah spare part alutsista sangatlah berbahaya, sebenarnya tidak lewat singapura asal kita berani negosiasi dan gak pasrah terima apa adanya saya yakin bisa saja kok pak, akhir akhir ini TNI bisa memperoleh rudal anti tank langsung dari israel tanpa lewat negara lain.
Mungkin begini pak dari sudut pandang saya 🙂
Saya merasa terhormat ada praktisi yang mau berdiskusi disini jadi bisa memberikan sudut pandang berbeda dibanding sudut pandang kami
numpang menyimak juragan…tulisan pak Joko amntab juga tulisan juragan2 disini, mohonijin nyimak dan membaca.
Tulisan yg bener2 mantab…seyogyanya dimasukkan ke forum2 lain yg lebih umum pak sperti kompasiana agr memberi pencerahan bagi masyarakat luas. btw, di disebutkan kita dah punya ATGM dr israel??? jenisnya ap ya?? koq br dengar sy pak…
kebetulan kami sudah mempunyai page kompasiana yang beralamat di http://www.kompasiana.com/lembagaKERIS dan anggota kami beberapa juga aktif di forum-forum internet 🙂 statusnya untuk latihan saja pak ATGMnya