Apollo, N250, dan Arah Riset Teknologi Dirgantara dan Antariksa Indonesia
Oleh: Abdul Majid, S.Si., M.Cs.
Divisi Kajian Lembaga Kajian Pertahanan Strategis Keris dan Co Founder AMX UAV

Apollo 11 di Bulan (space.com)
Bulan Juli ini kita akan memperingati sejarah yang amat penting bagi umat manusia modern. 20 Juli 1969 atau 50 tahun yang lalu, manusia untuk pertama kalinya sukses untuk mendarat di objek lain diluar bumi. Dengan desainasi Apollo 11, bangsa Amerika Serikat (AS) berhasil mendaratkan astronotnya yaitu Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins di Bulan, satu-satunya satelit alami yang mengorbit Bumi. Usaha ini bukanlah hal yang mudah bahkan bisa dikatakan mission impossible pada zaman itu. Sebagian orang bahkan mempercayai bahwa pendaratan di Bulan itu adalah fiktif. Terlepas kontroversi pendaratan di Bulan tersebut, perlu kita tarik sejarah awal mula bagaimana AS menempatkan program ini sebagai program utama bahkan sebagai tujuan bangsa AS.
Misi mendaratkan astronot AS di Bulan dicanangkan oleh Presiden John F Kennedy (JFK) di depan Kongres AS pada 25 Mei 1961. Dalam pidatonya, JFK memaparkan program nasional antariksa AS untuk mendaratkan astronot AS sebelum dekade 60an berakhir dan astronot tersebut dapat kembali ke Bumi dengan selamat. Kondisi saat itu sangatlah peli bagi AS, mereka sudah tertinggal jauh oleh musuh perang dingin mereka, Sovyet. Sovyet berhasil mengorbitkan satelit buatan “Sputnik” pertama kali dan menempatkan kosmonout (astronout dalam istilah Sovyet) Yuri Gagarin sebagai manusia pertama keluar angkasa. Tidak ada cara lain, AS harus mencari cara agar mereka menjadi yang terdepan dibandingkan Sovyet, termasuk misi luar angkasa. Pidato JFK didukung oleh Kongres AS, dukungan ini menjadi dasar untuk menggelontorkan semua kemampuan agar misi ini tercapai. Dukungan dana dan politik ini mendorong bangsa AS dibawah lembaga NASA (National Aeronautics and Administration) untuk membuat segala aspek yang dibutuhkan untuk mendaratkan manusia di Bulan. Misi ke Bulan yang diberi nama “Apollo” ini membutuhkan semua hal yang “ter-(terbaik, terbesar, tercanggih, dsb)”. Pesawat luar angkasa Apollo merupakan yang terbesar dan tercanggih saat itu. Untuk mempermudah pengoperasiannya, dibutuhkan komputer yang khusus dikembangkan untuk mengendalikan pesawat luar angkasa itu. Panel-panel instrumen, sistem catudaya, sistem pendukung kehidupan, dan sistem-sistem lainnya saat itu dibuat khusus untuk misi Apollo. Pesawat antariksa Apollo diluncurkan menggunakan roket Saturn V yang saat itu bahkan sampai saat ini sebagai roket terbesar yang pernah dibuat oleh manusia. Roket Saturn V sendiri pengembangannya tidak bisa dipisahkan oleh mantan ilmuwan Nazi, Wernher Von Braun yang pada masa perang dunia II menciptakan roket V1 dan V2 yang sangat mematikan. Program Apollo sendiri awalnya tidak berjalan mulus, Command Module pesawat antariksa Apollo 1 terbakan saat masih dilakukan pengujian dan pelatihan didarat, menewaskan tiga calon awak Apollo 1, yaitu Virgil I. “Gus” Grissom, Ed White, dan Roger B. Chaffee. Selepas tragedi tersebut, program Apollo diaudit ulang dan dicarikan solusi untuk mencegah tragedi terulang kembali. Hasilnya NASA berhasil mendaratkan astronot AS di bulan pada Juli 1969. Program Apollo berlanjut hingga Apollo 17, total program ini menghabiskan anggaran 25.4miliar$ saat itu atau setara 153miliar$ jika dihitung inflasi pada tahun 2018. Angka yang sangat besar, setara APBN Indonesia tahun 2019 senilai 2.349triliun Rupiah. Biaya yang sedemikian besar adalah satu yang menjadi salah satu faktor utama kenapa manusia belum kembali lagi ke Bulan, setelah pendaratan pertama 50 tahun lalu. 50 tahun yang lalu saja, musuh utama AS yaitu Sovyet gagal mendaratkan manusianya ke Bulan, selain karena faktor kegagalan roket pendorong N-1 yang tidak pernah sukses peluncurannya, biaya yang amat besar juga menjadi faktor Sovyet mengalihkan program luar angkasa nya ke fokus yang lain yaitu stasiun luar angkasa dan orbit rendah bumi, yang kemudian juga diikuti oleh AS. Kesuksesan misi Apollo akan sulit diulangi dimasa sekarang dan juga masa yang akan datang. Ditengah ketidakpastian ekonomi dan politik dunia, sulit rasanya bagi sebuah negara, mendukung sebuah program yang bisa dipandang hanya sebagai sebuah “prestise”, sebab dari aspek ekonomi misi-misi luar angkasa belum dapat meberikan hal yang sepadan. Program Apollo merupakan contoh saat prestise, kebanggan nasional, dukungan politik, dukungan masyarakat, dan dukungan teknologi sukses menempatkan manusia ke sebuah tonggak sejarah, mendarat di tempat lain diluar Bumi.
Pesawat Udara N250

Pesawat N250 (viva.co.id)
AS punya Apollo, Indonesia dalam skala yang berbeda memiliki program nasional yang memiliki kemiripan, yaitu program pesawat udara N250. Kemiripan disini dalam arti program nasional yang menjadi loncatan teknologi pada masanya dan dibiayai oleh negara. Proyek ini mulai diperkenalkan tahun 1986 dalam pameran kedirgantaraan Indonesia Air Show 1986 di Bandara Kemayoran, Jakarta. N250 didesain dan dibuat oleh Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), saat menjadi PT DI (Dirgantara Indonesia). N250 digawangi oleh BJ Habibie, yang saat itu menjadi orang kepercayaan dari Presiden Indonesia saat itu, Soeharto. Saat diumumkan, N250 dijanjikan sebagai pesawat komuter yang canggih dengan teknologi kemudi fly-by-wire, mesin pesawat menggunakan teknologi FADEC (Full Authority Digital Engine Control), kokpit modern, dirancang sepenuhnya menggunakan perangkat lunak CATIA dari Perancis dan sederet fitur lain yang sangat maju dimasanya. Belum cukup dengan fitur-fitur tersebut, N250 langsung dikembangkan 2 varian berbeda, versi 50 penumpang dan versi 70 penumpang. Hal ini diluar kebiasaan pabrik-pabrik pesawat di dunia. Biasanya pabrikan mengembankan satu versi terlebih dahulu, setelah masuk produksi dan terjual, barulah dikembangkan versi yang lain. Tak aral Indonesia yang masih tergolong negara berkembang, dianggap terlalu ambisius dalam proyek N250.
Prototipe PA-1 “Gatotkaca” versi 50 penumpang sukses mengudara tanggal 10 Agustus 1995, kemudian diikuti prototipe PA-2 “Krincingwesi” versi 70 penumpang pada 19 Desember 1996. Keduanya selanjutnya diuji diberbagai kondisi untuk mendapatkan sertifikasi dari berbagai otorita penerbangan dunia, termasuk FAA. N250 menjadi bintang pameran kedirgantaraan Indonesia Air Show 1996 di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. PA-1 “Gatotkaca” bahkan sempat dipamerkan di ajang pameran kedirgantaraan bergengsi Paris Air Show tahun 1997. Dalam perjalanannya, 2 prototipe lain yang akan dibuat PA-3 dan PA-4 dibatalkan untuk dibuat, seiring dengan seretnya pendanaan untuk proyek ini. Tidak hanya itu proyek N250 akhirnya secara tragis ditutup pasca krisis ekonomi 1997.
Penutupan proyek N250 memang tidak lepas dari International Monetary Fund (IMF) sebagai bagian dari syarat agar IMF membantu Indonesia untuk keluar dari krisis ekonomi 1997. Banyak pihak yang menyalahkan IMF sebagai “biang kerok” gagalnya proyek N250. Namun sebenarnya hal ini malah mempertegas hal yang selama ini menjadi rahasia umum. Sebagai proyek stategis nasional, proyek N250 sudah memakan dana APBN yang sangat banyak. Tak jarang BJ Habibie sebagai pimpinan proyek ini beradu argumen dengan para ekonom. BJ Habibie berpendapat proyek ini adalah investasi bangsa untuk masa depan, sedangkan para ekonom memandang dana yang dibutuhkan terlalu besar dan terlalu membebani kas negara. Posisi BJ habibie yang sangat dekat dengan Presiden Soeharto menjadikan proyek N250 berjalan terus. Dana yang seharusnya milik program lain, seperti untuk reboisasi, pensiunan dan asuransi PNS/TNI-Polri, dialihkan untuk membiayai proyek-proyek di IPTN. Pada saat itu bukan hanya N250 yang menjadi proyek unggulan, ada proyek lain yang tak kalah ambisius, proyek N2130, proyek pesawat 130 penumpang bermesin jet. Dapat dibayangka dana yang dibutuhkan untuk membiayai proyek-proyek tersebut. IMF yang diminta bantuan oleh pemerintah, memandang proyek-proyek tersebut sebagai beban keuangan ditengah seretnya keuangan Indonesia, tentu mereka tidak mau proyek-proyek ‘mercusuar” tersebut menghabiskan uang yang digelontorkan IMF ke Indonesia. Resmi terhenti, proyek N250 tidak pernah dilanjutkan lagi hingga saat ini. PT DI dalam beberapa tahun terakhir mengembangkan pesawat N219, yang lebih kecil dan sederhana untuk mendukung penerbangan perintis. Memang masih menggunakan dana APBN, hanya saja skema yang digunakan berbeda yaitu melibatkan lembaga pemerintah dalam hal ini Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). Anggaran yang dibutuhkan juga tidak sebesar N250 karena sistem yang lebih sederhana, serta didukung kondisi APBN yang lebih baik dibandingkan era 1990an.
Riset Teknologi Dirgantara dan Antarikasa Indonesia ke Depan

Pesawat N219 (okezone.com)
Pasca N250 dan krisis ekonomi berlalu, ada beberapa proyek riset teknologi yang menjadi proyek strategis nasional, salah satunya yang sudah sedikit disinggung di atas, yaitu N219. Proyek ini secara skala memang lebih kecil, namun terasa lebih pas untuk kondisi Indonesia saat ini. Selama ini PT DI bisa dibilang hanya bisa membuat namun kesulitan menjual produk-produknya. Bisa dilihat dari data berapa pesawat asli buatan PT DI seperti CN235 yang dihasilkan. Dalam kurun waktu 2012-2017, hanya menyerahkan 7 unit pesawat. Untuk pesawat lain seperti CN295, PTDI hanya kebagian porsi yang kecil, seperti pengecetan dan integrasi terbatas, sehingga tidak dapat dihitung sebagai pesawat produksi PT DI. Dibandingkan dengan pabrikan lain yang setara seperti viking air yang dapat memproduksi belasan pesawat twin otter dalam setahun tentu PT DI kalah kelas, padahal jumlah karyawan PT DI lebih banyak 4400 karyawan berbanding 575 karyawan. Disini kita melihat pola kerja PT DI tidak efisien. Dengan proyek yang lebih kecil seperti N219, PT DI dituntut bagaimana sebuah produk bisa dihasilkan dan dijual. N219 tidak menggunakan teknologi-teknologi yang canggih, namun airline saat ini tidaklah butuh teknologi canggih, terlebih N219 akan bermain dipasar pesawat perintis yang minim prasarana memadai. Yang mereka butuhkan pesawat yang bandel, efisien, layanan purna jual yang baik, serta pembiayaan untuk pengadaannya. Poin-poin tersebut lebih penting dibandingkan hanya menjual teknologi canggih, namun pada kenyataan nya jauh lebih mahal dan tidak efisien. N219 sudah berhasil terbang perdana pada 16 Agustus 2017 dan saat ini masih menjalani sertifikasi dari Kementrian Perhubungan RI.

Pesawat R80 (regio-aviasi.co.id)
Proyek strategis nasional lain yang sedang berjalan adalah proyek R80. Digawangi oleh BJ habibie dan anaknya Ilham Habibie, proyek yang digadang-gadang sebagai penerus N250 ini digarap oleh swasta dibawah bendera PT Regio Aviasi Indonesia (RAI). Pesawat ini disebutkan dapat menampung 80-90 penumpang. Dalam beberapa press release, disebutkan R-80 akan terbang perdana sekitar tahun 2024. Hingga saat ini sebenanya proyek ini belum jelas. Pabrik atau tempat produksi yang diebutkan berada di komplek Bandara International Jawa Barat di Kertajati, sampai saat ini belum ada. Disebutkan pula bahwa R-80 masih mengharapkan investor untuk membiayai proyek ini.

Satelit Lapan A3 (lapan.go.id)
Ditengah-tengah pengembangan beberapa teknologi yang menjadi proyek strategis nasional Indonesia, didunia terjadi perubahan dalam pencapaian-pencapaian teknologi baru. Semakin ditarik ke belakang, peran swasta semakin besar. Misalnya, dahulu yang mampu meluncurkan satelit dan roket hanya lembaga antariksa dari sebuah negara, misalnya NASA (AS), ISRO (India), CNSA (China), Roscosmos (Rusia), JAXA (Jepang), dll. Sekarang swasta seperti Spacex, Blue Origin, Rocket Lab, Virgin Galactic, serta yang terbaru dari China yaitu Link Space dapat meluncurkan roket sendiri. Pada teknologi satelit, Inmarsat menguasai teknologi komunikasi berbasis satelit serta Digital Globe menjadi yang terdepan dibidnag teknologi satelit penginderaan jauh. Apa yang mereka lakukan jauh meninggalkan apa yang dilakukan lembaga antariksa negara-negara lain, tak terkecuali milik Indonesia, LAPAN. Hingga tahun 2019, Lapan belum mampu membuat roket peluncur sendiri. Sekitar 10 tahun lalu ada wacana membuat Lapan SLV (Satellite Launch Vehicle) yang mampu meluncurkan satelit kecil seberat 1-5Kg ke orbit rendah bumi. SLV dijadwalkan dapat meluncur tahun 2014. Namun hingga 2019, tidak ada perkembangan yang signifikan. Lapan juga memiliki program pembuatan satelit micro, saat ini sudah diluncurkan 3 satelit, Lapan A1/TUBsat kerjasama dengan TUBerlin, diluncurkan 2007), Lapan A2 (diluncurkan 2015), dan Lapan A3 (diluncurkan 2016). Ketiga satelit diluncurkan menggunakan roket PSLV milik ISRO (India), misi utamanya adalah untuk pemantauan dan juga untuk misi komunikasi terbatas saat bencana. Setelah ketiga satelit tersebut Lapan merencanakan untuk membuat juga satelit penginderaan jauh dan satelit komunikasi. Dibandingkan sengan proyek konstelasi satelit Starlink milik SpaceX, ini tidak ada apa-apanya. Pada 24 Mei 2019 lalu, SpaceX sukses meluncurkan 60 satelit dalam satu peluncuran sekaligus, dari 12.000 satelit yang mereka rencanakan dalam konstelasi Starlink yang mana nantinya digunakan untuk menghubungkan seluruh dunia ke dalam koneksi internet. Satelit yang diluncurkan memiliki berat yang mirip dengan punya lapan, yaitu berukuran mikro, sekitar 100kg.

Ilustrasi Satelit Starlink milik SpaceX di orbitnya (skyandtelescope.com)
Perkembangan dunia teknologi dirgantara dan antariksa yang semakin cepat dan dinamis ini membawa kita ke sebuah pertanyaan, “mau dibawa kemana teknologi dirgantara dan antariksa Indonesia kedepan?”. Kita memang mengerti bahwa dari sekitar dari 2300triliyun Rupiah APBN Indonesia, hanya sekian persennya yang digunakan untuk riset, terlebih riset tenologi dirgantara dan antariksa. Pada dekade tahun 70an kita pernah mengundang ahli peroketan AS, Wernher Von Braun, untuk membantu Lapan merumuskan langkah-langkah untuk menjadikan Indonesia mampu meluncurkan roket atau satelit secara mandiri, namun saat itu kita memilih untuk fokus ke industri pesawat udara dikarenakan biaya yang sangat besar. Sejak saat itu, teknologi antariksa Indonesia seakan berhenti, tiap tahunnya kita hanya meguji roket dengan diameter kecil, 200-450mm. Tahun 1960an kita menjadi negara nomor 2 di Asia setelah Jepang yang mampu meluncurkan roket sendiri, yaitu roket Kartika II. Saat itu India atau ISRO “belum ada apa-apanya” dibandingkan Lapan. 50 tahun kemudian, India mampu membuat roket peluncur sendiri dan ditahun 2019 ini ISRO akan mengirim misi Chandrayan 2, misi pendaratan robot di Bulan. Pertanyaan kemana arah pengembangan dunia teknologi dirgantara dan antariksa Indonesia harusnya menempatkan kita sebagai bangsa dalam “satu meja”, dimana pemerintah, akademisi, praktisi, swasta, dan berbagai elemen saling mendiskusikan bagaimana road map yang harus ditempuh bangsa ini, apa peran masing-masing elemen, sinergi apa yang bisa dilakukan, dan bagaimana eksekusi program yang dicanangkan. Indonesia adalah bangsa yang besar, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan Indonesia banyak meluncurkan satelit komunikasi ke orbit geo sychronus bumi. Ini pasar yang sangat menjanjikan dimasa yang akan datang seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Belum lagi dari potensi untuk kepentingan pertahanan, dimana kementrian pertahanan dikabarkan memiliki program satelit pertahanan. Artinya, sebenarnya ada potensi teknologi dirgantara dan antariksa dikembangkan beriringan dengan tujuan komersial.

Satelit Nusantara Satu milik Pasifik Satelit Nusantara yang diluncurkan menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX (psn.co.id)
Mengembangkan teknologi dirgantara dan antariksa haruslah dibuat berjenjang, sebab tidak mungkin membuat sebuah teknologi yang sangat maju tapi belum menguasai sesuatu yang menjadi dasar. Dalam sistem pendidikan kita, sudah ada beberapa hal yang cukup baik, misalnya kompetisi antar mahasiswa untuk muatan roket dan desain roket. Muatan roket akan menjadi cikal bakal sebuah satelit di desain dan dibuat. Sedangkan untuk desain roket nantinya akan menjadi cikal bakal roket yang kompleks. Namun ada dua hal yang bisa kita urutkan menjadi halangan untuk kemandirian kita di bidang teknologi ini. Yang pertama adalah adanya larangan untuk mengembangkan bahan peledak/bahan bakar untuk roket (propelan). Di Indonesia hanya lembaga negara atau industri strategis yang boleh melakukan riset mengenai propelan, seperti LAPAN, TNI-Polri, Dahana, Pindad, dan PT DI. Praktis di luar lembaga negara dan industri strategis, tidak ada yang mengembangkan riset propelan. Padahal kalau kita merujuk negara seperti Jepang, mereka setingkat Universitas dapat membuat roket uji muatan sendiri dan mengujinya di area universitas mereka, sebab selain bisa membuat, mereka juga yakin bahwa roket itu dapat beroperasi secara aman. Sedangkan di Indonesia hanya lapan yang memiliki roket uji muatan dan mengujinya pun harus di tempat aman seperti pinggir pantai, sebab Lapan tidak bisa memastikan separasi atau parasut roket terkembang sehingga mengurangi keamanan dari uji roket. Propelan juga dibutuhkan sebagai pendorong (thruster) dan mengendalikan attitude satelit. Dalam kompetisi desain roket yang diadakan oleh Lapan di tingkat mahasiswa, tidak digunakan motor roket, tetapi menggunakan EDF (electric ducted fan), yang sebenarnya sangat tidak cocok digunakan bahkan untuk simulasi atau menskalakan cara kerja roket. Halangan yang kedua adalah tidak adanya jenjang setelah kompetisi-kompetisi itu dilakukan. Seharusnya dari kompetisi itu akan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muda yang menjadi darah segar bagi pengembangan teknologi dirgantara dan antariksa Indonesia dimasa depan.

Contoh Satelit berukuran kotak kecil atau cubesat: Vermont Lunar Cubesat (space.skyrocket.de)
Program teknologi dirgantara dan antariksa harus ditanam sedini mungkin dan berjenjang. Saat taman kanak-kanak, bisa dimulai dengan hal yang sederhana misalnya mewarnai gambar dengan tema dirgantara dan antariksa. Kemudian saat sekolah dasar dapat diadakan lomba gambar wahana dirgantara dan antariksa, disamping sedikit materi dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Ketika sekolah menengah pertama (SMP), dapat dimulai kompetisi yang sifatnya tidak terlalu sulit seperti roket air dan aeromodeling tanpa mesin. Saat sekolah menengah atas (SMA) dapat dilakukan kompetisi aeromodeling bermesin dan inovasi teknologi kedirgantaraan. Saat mahasiswa dilakukan kompetisi satelit nano atau cubesat dan roket satu tingkat. Bukan hal yang mustahil kita mahasiswa kita dapat mebuat roket sederhana, dulu sebelum roket Kartika dibuat tahun 60an, sekumpulan mahasiswa UGM sukses meluncurkan roket PRIMA pada dekade 60an. Dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin murah dan canggih, saat ini kita bisa memproduksi komponen roket dengan printer 3 dimensi, contohnya mesin pendorong Rutherford buatan Rocket Lab yang sebagian besar dibuat menggunakan printer 3D. Selanjutnya ketiga sudah lulus kuliah, bisa dilakukan dengan dua hal yaitu dengan adanya proyek-proyek pemerintah untuk kebutuhan nasional seperti pesawat, roket dan satelit. Dan satu hal belum pernah dicoba dilakukan di Indonesia, yaitu program yang menginisiasi swasta agar mau bermain di pengembangan teknologi dirgantara dan antariksa. Program ini sudah diterapkan di AS, dan cukup sukses. SpaceX dan Rocket Lab adalah contoh dari inisiasi dari NASA dengan cara pemberian insentif kepada pihak agar mau masuk ke teknologi ini. Insentif yang diberikan misalnya seperti pemberian proyek untuk mengangkut kargo ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) bagi SpaceX, atau proyek peluncuran satelit nano bagi Rocket Lab. SpaceX ditahun 2019 ini dijadwalkan akan mengangkut astronot ke ISS, sehingga mengembalikan kemampuan AS mengirimkan astronot dari tanah Amerika sendiri.

Pesawat antariksa Dragon Crew milik SpaceX yang akan membawa astronot ke ISS (spacenews.com)
Butuh usaha keras dan keseriusan untuk mendukung teknologi dirgantara dan antariksa di Indonesia. Biaya yang mahal adalah kendala utama, namun dengan cara-cara mudah seperti diatas bisa mulai dilakukan. Dibutuhkan pula dukungan politik agar mencabut larangan pengembangan propelan/bahan bakar roket/satelit. Ini adalah hal yang sangat sulit, sama sulitnya dengan keterbatasan biaya. Terbaru, malah terdengar kabar bahwa akan ada undang-undang yang melarang SpaceX dan Rocket Lab dan sejenisnya di Indonesia, yang digawangi oleh orang-orang dikementrian dan lembaga negara, alasannya agar lembaga nya tidak bisa disaingi. Teknologi kita sudah tertinggal jauh dan tentu akan semakin aneh jika nantinya ada orang Indonesia yang mendirikan sejenis SpaceX, Blue Origin, dan Rocket Lab, tetapi riset dan pusat peluncurannya diluar negeri dengan alasan yang berbau politis, bukan teknis. Saat ini harusnya bukan lagi ego kelembagaan yang ditertanam, tetapi bagaimana lembaga-lembaga pemerintah bisa menciptakan lingkungan yang saling mendukung pengembangan teknologi dirgantara dan antariksa. Kalau saat ini saja Indonesia sedang dibanjiri startup-startup digital seperti Gojek, Bukalapak, Tokopedia, sebagaimana trend global seperti Grab, Uber, Alibaba, dan Amazon, bukan mustahil suatu saat nanti akan ada SpaceX, Blue Origin, dan Rocket Lab versi Indonesia. Pertanyaannya apakah kita akan menyambutnya dan mengambil hal yang positif dari itu semua atau malah menutup pintu?