Urgensi Modernisasi TNI-AL, Apakah Armada Kita Siap Jika Diserang Hari Ini?
Oleh: Hanif Rahadian
Seiring dengan semakin memanasnya situasi di wilayah sengketa Laut China Selatan (LCS) dan semakin seringnya pelanggaran Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di wilayah Natuna Utara oleh kapal-kapal China, akhirnya memaksa Indonesia untuk segera melakukan modernisasi terhadap armada kapal-kapal kombatan yang dioperasionalkan oleh TNI-Angkatan Laut (TNI-AL). Upaya modernisasi armada TNI-AL didasari oleh hadirnya faktor ancaman di wilayah LCS, di mana agresivitas China semakin meningkat. Di sisi lain, faktor yang menjadi pendukung terhadap adanya upaya modernisasi ini adalah, banyak dari inventaris kapal kombatan TNI-AL saat ini sudah memasuki usia tua dan selayaknya diganti dengan kapal yang baru (modern).
Indonesia saat ini masih mengoperasikan sebanyak lima dari enam kapal frigate kelas Ahmad-Yani (sebelumnya kelas Van-Speijk) yang sudah aktif sejak tahun 1968, dengan kemampuan yang juga terbatas, kemampuan jelajah dari kapal jenis ini hanya mencapai 6.000-9.000km. Lebih lanjut, armada TNI-AL juga banyak diisii dengan jajaran kapal korvet kelas Parchim dari Jerman yang sudah aktif sejak tahun 80an, dan kapal-kapal tersebut sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Dalam rapat bersama Komisi I DPR RI, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono, mengungkapkan bahwa sebanyak 22 Kapal Republik Indonesia (KRI) yang dioperasikan oleh TNI-AL saat ini sudah tidak layak operasional, dengan tambahan 3 kapal dinyatakan telah tenggelam. Kondisi dari inventaris TNI-AL saat ini mengharuskan Indonesia untuk segera membeli kapal-kapal baru sebagai pengganti untuk kapal-kapal yang sudah tua ataupun akan memasuki masa pensiun. Tentu, kualitas kapal disesuaikan dengan kebutuhan dan urgensi saat ini, didukung dengan persenjataan canggih yang mengikuti perkembangan teknologi, durabilitas yang lebih kuat dan juga kemampuan jelajah yang lebih jauh mengingat luasnya wilayah perairan Indonesia yang perlu dilindungi. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia Luhut Binsar Panjaitan, menyarankan agar Indonesia dapat membeli kapal dengan kemampuan “Ocean Going” yang artinya kapal dengan spesifikasi lebih besar dan panjang. Kehadiran kapal dengan kemampuan Ocean Going ini selain untuk memodernisasi armada TNI-AL, juga untuk melindungi aktifitas nelayan-nelayan di Natuna agar tidak perlu lagi khawatir akan tindakan China di wilayah perairan tersebut.
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Prabowo Subianto secara jelas memiliki keinginan untuk memperkuat armada TNI-AL juga TNI-AU, di mana dalam proses nya, Menhan Prabowo telah melakukan kunjungan kerja ke beberapa negara di Eropa dalam rangka menjalankan diplomasi pertahanan Indonesia dengan negara-negara tertentu, sekaligus ‘melirik’ beberapa pilihan persenjataan seperti kapal perang dan pesawat tempur yang dapat dibeli dan didatangkan ke Indonesia. Berfokus kepada TNI-AL, Pemerintah Indonesia berusaha memperbaharui armada-armada kapal pemukul yang beroperasi di bawah satuan-satuan komando TNI-AL. Kementerian Pertahanan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022, mendapatkan alokasi sebesar Rp. 133.9 triliun, naik sebesar 13,28% dari tahun 2021 yang hanya mencapai Rp 118.2 triliun. TNI-AL sendiri tahun ini mendapatkan anggaran Rp. 24.166 triliun, yang dapat digunakan untuk kebutuhan Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Belanja Modal. Selayaknya, anggaran tahun 2022 dapat dioptimalkan pengunaannya, terutama pada kebutuhan Belanja Barang yang akan berdampak kepada proses modernisasi kapal-kapal TNI-AL.
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia secara bertahap melakukan penggantian terhadap jajaran frigate kelas Ahmad-Yani yang saat ini sudah mulai memasuki masa pesiun. Dua unit kapal Perusak Kawal Rudal (PKR) SIGMA 10514 buatan Belanda kemudian menjadi pilihan pertama dari Kementerian Pertahanan untuk meneruskan tugas dari frigate kelas Ahmad Yani tersebut, KRI-Reden Eddy Martadinata (331) kemudian menjadi Leading Ship di kelas nya. Indonesia kemudian menjajaki pilihan jenis frigate yang lain, termasuk menandatangani kontrak senilai US$720 Juta untuk pembelian 2 unit kapal Type-31 Frigate atau juga dikenal dengan Arrowhead 140 dari Babcock International, Inggris. Arrowhead 140 merupakan pengembangan yang berbasis pada bentuk kapal dari frigate kelas Iver-Huitfeld yang diproduksi oleh Denmark, kapal ini memiliki bobot hinga 5.600 ton. Kemampuan dari Arrowhead 140 yang selain telah dilengkapi dengan Sea Captor sebagai sistem persenjataannya, juga memiliki kemampuan jelajah hingga 17,000km. Spesifikasi dari Arrowhead 140 juga nantinya akan dapat disesuaikan dengan keinginan TNI-AL sebagai pihak operasional.
Menuju Italia, Indonesia menandatangani kontrak senilai US$ 4.5 miliar untuk pembelian 8 buah kapal perang, yang terdiri dari 6 unit kapal multi–role frigate jenis FREMM dan 2 unit Maestrale-Class frigate yang merupakan kapal bekas pakai Angkatan Laut Italia. Kapal jenis FREMM didesain dan dikembangkan oleh galangan kapal Fincentieri, dalam jajaran AL Italia, kapal ini dikenal sebagai Bergamini-Class frigate. Bergamini-Class frigate yang dioperasikan oleh AL Italia memiliki kemampuan jelajah hingga 12,600 km, dengan bobot maksimal mencapai 6.700 ton. Sementara itu, Maestrale-Class merupakan kapal yang memiliki daya jelajah mencapai 11.000km dan berat total mencapai 3.040 ton.
Selain negara-negara Eropa, Jepang juga tertarik memperkuat hubungannya dengan Indonesia, terutama pada sektor Pertahanan, di tengah semakin gencarnya agresivitas China di kawasan Indo-Pasifik. Akhir maret 2021, Jakarta dan Tokyo menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan yang memungkinkan adanya pengiriman teknologi dan persenjataan militer oleh Tokyo ke Jakarta. Meskipun jenis ataupun merk dari teknologi dan persenjataan militer yang dimaksud tidaklah disebutkan dalam perjanjian tersebut, namun perjanjian kerjasama ini akan memberikan peluang bagi Jepang untuk menjual kapal frigate jenis Mogami-Class yang juga menjadi salah satu andalan dari Angkatan Laut Bela Diri Jepang (JMSDF) kepada Indonesia, kapal yang memiliki kemampuan jelajah mencapai 18.000km dan berkemampuan Stealth tersebut diproduksi oleh Mitsubishi Heavy Industries. Menhan Prabowo disebutkan memiliki ketertarikan untuk me-minang kapal frigate kelas Mogami tersebut, meskipun hingga saat ini masih belum ada sinyal jelas terkait kelanjutan dari rencana ini.
Selain kapal perang permukaan, Indonesia saat ini juga berusaha untuk memodernisasi armada kapal selamnya, terlebih setelah tragedi tenggelamnya KRI-Nanggala (402) pada tahun 2021, TNI-AL saat ini hanya mengoperasikan 4 unit kapal selam, yang meliputi KRI-Cakra (401) dari Jerman yang sudah beroperasi sejak 1981 dan saat ini sudah berusia 41 tahun, kemudian Indonesia juga mengoperasikan tiga kapal selam baru DSME 2009 atau Nagapasa-Class buatan Korea Selatan. Melihat luasnya laut yang dimiliki, Indonesia selayaknya mengoperasikan 10 hingga 12 unit kapal selam yang dapat beroperasi di laut dalam dan tentu mampu berlayar dengan jarak yang cukup jauh. Lagi-lagi Indonesia butuh kapal selam dengan kemampuan Ocean–Going yang didukung dengan kemampuan persenjataan yang baik, serta kemampuan jelajah dan menyelam dengan durasi cukup lama.
Menhan Prabowo dalam rapat bersama Komisi I DPR, pada Kamis (27/01/22), mengatakan bahwa kemungkinan dalam 24 bulan, Indonesia akan mempunyai 50 kapal perang siap tempur dan TNI akan jadi yang terkuat di Asia Tenggara. Meskipun sampai saat ini belum jelas, apakah 50 kapal perang yang dimaksud tersebut merupakan murni dari unsur satuan kapal pemukul, atau bercampur dengan kapal patroli serta kapal bantu lainnya yang turut dioperasikan oleh TNI-AL. Adanya konflik seperti yang terjadi di antara Azerbaijan dan Armenia atas Nagorno-Karabakh pada tahun 2020 ataupun konflik Ukraina dan Russia yang sedang hangat-hangatnya saat ini, Ketua Lembaga Kajian Pertahanan Strategis (Lembaga KERIS), dr. Arief Yunan Priyoutomo berpendapat bahwa perang terbuka antar negara merupakan sebuah potensi ancaman yang masih dapat terjadi. Pernyataan ini selaras dengan yang tertulis di dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) Kemhan – TNI 2020-2024, yang menyebutkan bahwa; Ancaman Potensial merupakan bentuk ancaman yang belum terjadi, tetapi sewaktu-waktu dapat terjadi dalam situasi tertentu menjadi ancaman aktual. Ancaman tersebut di antaranya berupa perang konvensional atau konflik terbuka (Invansi Asing), kelangkaan pangan, energi, sumber daya air, kesehatan, dan ancaman senjata nuklir. Apabila invasi dari negara lain terjadi besok ataupun hari ini, maka dapat dipastikan, bahwa di atas kertas, Indonesia tidak akan mempunyai persiapan yang matang dan armada kombatan yang cukup untuk dapat menghalau ancaman yang masuk, negara akan gagal mempertahankan kedaulatan wilayahnya apabila perang benar-benar akan terjadi dalam waktu dekat.
Indonesia memiliki segudang pekerjaan rumah, terutama dalam upaya modernisasi alutsista-alutsista TNI yang dilengkapi kemampuan untuk menghancurkan musuh dan mengeleminasi ancaman, jauh sebelum mereka sempat memasuki wilayah teritorial Indonesia terlebih dahulu, kapal-kapal dengan kemampuan pelayaran samudera atau Ocean Going ini bisa menjadi solusi. Tentu, hal ini perlu komitmen tegas dari para stakeholders pertahanan yang terlibat, tentunya alutsista-alutsista yang akan dibeli seyogyanya memperhatikan urgensi kebutuhan, kelayakan dan sesuai spesifikasi sebagaimana mestinya, sehingga penggunaannya pun akan maksimal. Perlu diingat bahwa, modernisasi alutsista TNI haruslah tetap mengutamakan kualitas, bukan sekedar kuantitas, apalagi hanya untuk mengejar rangking semata.