Tidak Ada Pembajakan Di Selat Malaka
Oleh Mayor Pnb F.Situmorang
Didalam bahasa Indonesia, kata “perompakan” bermakna perampokan yang dilakukan di lautan atau di pantai. Secara umum pengartian secara harafiah tersebut tidak bermasalah. Namun apabila kata tersebut diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dipadankan dengan kata piracy, maka akan timbul permasalahan. Persoalan yang timbul adalah; piracy menurut aspek juridis kemaritiman ternyata tidak sama atau tidak dapat disamaratakan dengan perompakan. Lebih jauh, konsekuensi hukumnya pun akan cukup signifikan berbeda. Berikut ini adalah ulasan singkat mengenai piracy dari aspek hukum laut dan karenanya mungkin lebih bijak menggunakan istilah lain selain perompakan karena “tidak ada perompakan di Selat Malaka.”
Pengertian Perompakan versus Piracy
Sesuai dengan Bab VII Artikel 101a Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea), piracy didefinisikan sebagai berikut:
any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed:
(i) on the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft;
(ii) against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State;
Dari definisi tersebut terdapat beberapa hal yang perlu diuraikan lebih jauh, terutama terhadap aspek-aspek yang menjadi ciri khas piracy. Beberapa hal tersebut mencakup antara lain; pelaku dan motif-nya, tempat kejadian perkara dan subyek yang berhak melakukan penindakan – akan disampaikan melalui penjelasan artikel lain yang berkaitan.
Dalam artikel disebutkan bahwa piracy merupakan tindakan melawan hukum (ilegal acts) berupa kekerasan dan penahanan yang bermotifkan keuntungan pribadi (private ends) yang umumnya bersifat ekonomis. Ini berarti piracy dilakukan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang karena melawan hukum mereka dapat digolongkan sebagai kriminal dan tindakannya sebagai tindak kriminal. Oleh karenanya, jika motifnya beralih untuk tujuan lainnya, semisal politis atau ideologis, maka hal tersebut akan menjadi nexus (terror-piracy) yang lebih kompleks lagi cara penyelesaiannya. Ataupun jika pelakunya merupakan state actor maka tindak yang terjadi mungkin tidak dapat lagi dikategorikan sebagai piracy melainkan sabotage, blockade atau yang lainnya.
Disamping pelaku dan motifnya, ciri khas lain dari piracy adalah tempat kejadian perkaranya. Seperti disebutkan pada artikel tersebut bahwa piracy terjadi diluar jurisdiksi negara manapun (in a place outside the jurisdiction of any State). Ini berarti piracy terjadi manakala wilayah kewenangan penegakan hukum terhadap tindak kriminal oleh Negara Pantai sudah terlampaui. Dalam ketentuan pembagian laut menurut UNCLOS, maka hal tersebut hanya dimungkinkan jika terjadi diluar 12 mil laut teritorial. Ataupun dengan kata lain, tindak kriminal yang dikategorikan sebagai piracy hanya akan terjadi di Contigous Zone (sampai dengan 24 nm), Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE 12-200 nm) ataupun di Laut lepas atau High Seas itu sendiri (sesuai butir pertama artikel 110a).
Disamping permasalahan tempat kejadian perkaranya, penyamarataan tindak kejahatan perompakan akan menimbulkan persoalan dengan penegakan hukumnya. Dalam UNCLOS artikel 100, penanganan untuk piracy diatur sebagai berikut:
Duty to cooperate in the repression of piracy. All States shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State.
Sesuai dengan artikel tersebut, piracy menjadi jurisdiksi universal atau dengan kata lain setiap negara berhak melakukan penindakan terhadapnya. Adapun artikel ini diperkuat lagi dengan artikel 105 yang menyatakan:
On the high seas, or in any other place outside the jurisdiction of any State, every State may seize a pirate ship or aircraft, or a ship or aircraft taken by piracy and under the control of pirates, and arrest the persons and seize the property on board. The courts of the State which carried out the seizure may decide upon the penalties to be imposed, and may also determine the action to be taken with regard to the ships, aircraft or property, subject to the rights of third parties acting in good faith. Dengan kedua artikel tersebut maka segala upaya penindakan termasuk penahanan dan proses hukum terhadap tindak piracy praktis dapat dilakukan oleh negara manapun.
Status Selat Malaka
Berangkat dari pengertian dan batasannya menurut UNCLOS maka sebelum mengkategorikan suatu tindak kejahatan di laut adalah piracy, perlu ditinjau terlebih dahulu salah satunya mengenai status geografis tempat kejadian perkaranya. Selat Malaka dalam hal ini adalah salah satu contoh klasik kondisi geografis yang status wilayah lautnya cukup unik akibat klaim Negara-Negara Pantai disekitarnya. Sebagai suatu selat, Selat Malaka diapit oleh hampir 4 negara yaitu; Indonesia, Malaysia, Thailand dan Singapura. Kelebarannya bervariasi antara 200 mil pada jarak terjauhnya (antara Propinsi Sumatera Utara di Indonesia, dan pantai barat Thailand) dan 15 mil untuk jarak terdekatnya (antara Singapura dan Propinsi Sumatera Selatan di Indonesia). Selain itu Selat Malaka juga memanjang hampir sejauh 1000 mil dari utara ke selatan yang menghubungkan Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia melalui kepulauan Indonesia. Oleh karena kondisi geografisnya yang sedemikian rupa, maka status Selat Malaka ditutup oleh klaim laut Negara-Negara Pantai menjadi Laut Teritorial dan ZEE mereka.
Meski diklaim sebagai Laut Teritorial dan ZEE dari Negara-Negara Pantai di sekitarnya namun Selat Malaka dikategorikan sebagai “selat-selat yang digunakan oleh navigasi internasional.” Untuk ini Artikel 35 UNCLOS mengatur sebagai berikut:
Nothing in this Part affects:
(a) any areas of internal waters within a strait, except where the establishment of a straight baseline in accordance with the method set forth in article 7 has the effect of enclosing as internal waters areas which had not previously been considered as such;
Oleh karenanya, sebagai Negara-Negara pantai yang berbatasan dengan Selat Malaka wajib mengakomodir kepentingan Internasional atau dalam hal ini terutama yang berkaitan dengan pelayaran lintas.
Rezim lintas melalui selat-selat yang digunakan untuk navigasi Internasional dikenal dengan “Rezim Lintas Transit” dan secara detail diatur dalam Artikel 38 yang berbunyi:
1. In straits referred to in article 37, all ships and aircraft enjoy the right of transit passage, which shall not be impeded; except that, if the strait is formed by an island of a State bordering the strait and its mainland,transit
passage shall not apply if there exists seaward of the island a route through the high seas or through an exclusive economic zone of similar convenience with respect to navigational and hydrographical characteristics.
2. Transit passage means the exercise in accordance with this Part of the freedom of navigation and overflight solely for the purpose of continuous
and expeditious transit of the strait between one part of the high seas or an exclusive economic zone and another part of the high seas or an exclusive economic zone. However, the requirement of continuous and expeditious transit does not preclude passage through the strait for the purpose of entering, leaving or returning from a State bordering the strait, subject to the conditions of entry to that State.
3. Any activity which is not an exercise of the right of transit passage through a strait remains subject to the other applicable provisions of this Convention.
Dari artikel tersebut dapat disimpulkan dua hal pokok yaitu; hak lintas transit merupakan suatu hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh Negara-Negara Pantai disekitar selat. Artinya meski klaim laut oleh Negara-Negara Panatai sekitar pada akhirnya menutup wilayah selat, namun hak-hak Internasional untuk melintas secara bebas harus tetap diberikan. Kendati demikian, hak melintas tersebut harus dilakukan semata-mata untuk kepentingan navigasi yang dilakukan secara kontinyu. Adapun mekanisme mengenai cara melintas di selat tersebut, telah diatur oleh Artikel 39, yang pada prinsipnya kembali menegaskan dan menjelaskan secara lebih teknis mengenai Artikel 38 (contohnya: proceed without delay, refrain from any threat or use of force against the sovereignty, normal mode dll). Ini berarti bahwa sekalipun Selat Malaka termasuk selat yang digunakan oleh navigasi Internasional, soal kedaulatan dan jurisdiksi tetap mutlak milik Negara-Negara Pantai disekitarnya.
Selat Malaka dan Piracy
Berdasarkan pembahasan diatas mengenai definisi hukum mengenai piracy dan status Selat Malaka maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata “perompakan” sebagai pengganti kata piracy atau sebaliknya akan menimbulkan kerancuan. Pada gilirannya kerancuan ini dapat juga berdampak politis yang kurang menguntungkan khususnya bagi Negara-Negara Pantai disekitar Selat Malaka. Contohnya; dengan menyatakan bahwa terjadi perompakan di Selat Malaka – tanpa secara spesifik menyebutkan dimana tempat terjadinya – maka akan terjadi praanggapan bahwa Selat Malaka adalah Laut Bebas. Lebih jauh, hal ini juga akan “mengundang” kehadiran kekuatan-kekuatan militer asing, khususnya negara-negara besar seperti Amerika, Cina, India, untuk turut “mengamankan” Selat Malaka karena memang piracy berada dalam jurisdiksi Internasional. Dari segi politis maupun Strategi Pertahanan Nasional, hal ini tentu saja berdampak kurang menguntungkan.
Guna mencegah hal tersebut perlu kiranya dibudayakan mengenai pemahaman tentang penggunaan istilah perompakan secara tepat. Istilah lain yang ditawarkan agar tidak terjadi kerancuan adalah armed robbery atau perampokan bersenjata. Untuk ini secara tegas harus dibedakan bahwa jika suatu tindak kejahatan dilaut, meski “sejenis” piracy, namun terjadinya di bagian Selat Malaka yang menjadi Laut Teritorial, maka istilah yang digunakan adalah perampokan bersenjata atau armed robbery. Dengan penggunaan istilah perampokan bersenjata maka kejahatan tersebut akan menjadi tindak kriminal murni yang menjadi ranah penegakan hukum oleh Negara Pantai yang menjadi tempat kejadian perkara.
Pada akhirnya perlu diketahui bahwa penggunaan suatu istilah yang kurang tepat karena kurang dipahami maknanya dapat dengan mudah menimbulkan kerancuan. Kerancuan ini jika munculnya pada forum-forum Internasional, tentu saja akan membawa dampak yang kurang menguntungkan baik secara politis dan stategis. Istilah perompakan yang kerap digunakan secara kurang bijaksana untuk mendefinisikan segala bentuk kejahatan di laut khususnya di Selat Malaka adalah salah satu contohnya. Penggunaan istilah lain, yaitu perampokan bersenjata akan lebih menguntungkan karena tidak akan mengundang intervensi asing terhadap wilayah jurisdiksi Negara-Negara Pantai disekitar Selat Malaka. Oleh karenanya, lebih baik membiasakan diri untuk menyatakan bahwa “tidak ada perompakan di Selat Malaka dan adapun kejadian serupa, lebih merupakan perampokan bersenjata.”
nahhh, perspektif baru dalam memandang selat malaka. Patut diangkat juga, karena pemberitaan internasional, kapal-kapal asing banyak yang paranoid dengan kapal kecil (nelayan, tongkang) yang melintas di dekatnya dan melaporkannya ke TNI AL…sepengetahuan saya, false alarm rate di malaka cukup tinggi
Iya prim, termasuk yg tertinggi di Asia….sebenernya istilah armed robbery sudah digunakan di recaap, akan tetapi definsinya yg kurang kita pahami sehingga berpotensi mengecoh politisasi internasional yg ingin mengambil keuntungan disana….
betul mas, selama masih armed robbery, disitu kita makin bisa mencegah intervensi internasional secara politis, karena masih urusan internal
kalo menurut saya ketakutan itu wakjar, karena memang di daerah pesisir timur sumatera cukup banyak senjata beredar dan minimnya pengawasan petugas keamanan di wilayah pesisir. kalo orang sana yang ditakuti bukan kapal kayu/tongkang tapi speedboat tapi bawa AK.
Betul masb….tapi yg tercatat oleh recaap kurun waktu 2006-2011 semuanya tongkang….