Slot Orbit 123 BT, Kenapa Indonesia Perlu Pertahankan?

Ilustrasi Satelit
Credits: (Photo : istock) via Okezone.com
Oleh: Hanif Rahadian
19 Januari 2015, merupakan tanggal di mana satelit Garuda 1 keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) yang mengorbit di atas langit Sulawesi. Satelit Garuda 1 mengemban tugas selama 15 tahun, sebagai satelit komunikasi milik Indonesia. Garuda 1 pada saat itu dioperasikan oleh Asia Cellular Satellite (ACeS), sebuah perusahaan internasional gabungan yang terdiri dari PT. Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Philippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine International Public Company Ltd. Setelah keluarnya Garuda 1 dari orbit, maka terdapat kekosongan terhadap pengelolaan satelit di slot orbit 123BT oleh Indonesia hingga saat ini.
Mengacu kepada peraturan dari International Telecommunication Union (ITU), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengatur mengenai bidang informasi dan telekomunikasi dunia, menetapkan bahwa, negara yang telah memiliki hak atas pengelolaan satelit dan mengorbitkan satelitnya, akan diberikan tenggat waktu selama 3 tahun untuk dapat mengisi kembali slot orbit yang kosong dengan satelit lainnya. Apabila tidak dapat mengisi kembali dalam kurun waktu yang telah ditetapkan tersebut, maka hak pengelolaan satelit yang sebelumnya sudah diberikan, akan gugur, dan negara lain diberikan kesempatan untuk mengisi slot tersebut. Alasan ini menjadi salah satu dasar yang mendorong Kementerian Pertahanan Republik Indonesia untuk mengelola slot orbit 123BT yang sedang kosong tersebut, dengan rencana untuk mengorbitkan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Rencana dari peng-orbitan satelit Satkomhan oleh Kementerian Pertahanan didasari oleh semakin bergeraknya model peperangan ke arah yang lebih modern serta kompleks. Pertukaran data informasi dan komunikasi yang dapat dilakukan dengan secara cepat, tepat dan aman di era kemajuan teknologi seperti saat ini pada akhirnya menjadi suatu hal krusial yang harus dapat dicermati serta diantisipasi. Memasuki era peperangan modern (Modern Warfare), teknologi persenjataan militer yang dioperasikan oleh angkatan bersenjata sebuah negara, baik itu berupa pesawat tempur, kapal perang ataupun kendaraan lapis baja, dituntut untuk dapat terintegrasi dan terkoneksi dalam sebuah sistem jaringan komunikasi terpadu. Konsep peperangan yang banyak bergantung terhadap kehadiran sebuah sistem yang terintegrasi jaringan tersebut banyak dikenal dengan sebutan Network Centric Warfare,
Network Centric Warfare sendiri dapat dijelaskan sebagai sebuah metode peperangan yang berbasis kepada konektivitas dalam sebuah jaringan yang dapat meningkatkan kemampuan interoperabilitas antar unsur satuan, yang meliputi prajurit, alutsista dan pusat komando. Ketiga unsur tersebut harus dapat disatukan dalam sebuah jaringan komunikasi yang kuat dan aman, sehingga dapat berkolaborasi dengan baik dalam pelaksanaan operasi gabungan. Sistem ini akan berguna untuk meningkatkan situational awareness di lapangan sehingga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat. Kemampuan untuk menguasai Network Centric Warfare kemudian akan berdampak kepada peningkatan efektivitas misi, karena adanya keunggulan dalam data informasi dan komunikasi yang dimiliki.
Indonesia saat ini dihadapi oleh berbagai tantangan keamanan seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, salah satunya adalah tantangan dalam menjaga kerahasiaan dalam mengelola data informasi yang dimiliki. Keadaan ini memaksa Indonesia untuk dapat beradaptasi dan berusaha meningkatkan kemampuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam menjalankan tugasnya. TNI harus mampu menjamin keamanan informasi dan komunikasi yang dilakukan apabila sedang menjalankan operasi-operasi militer tertentu, yang pastinya, membutuhkan tingkat kerahasiaan tinggi. Kerahasiaan tersebut tidaklah terjamin keamanannya selama yang digunakan hanyalah moda komunikasi yang berasal dari frekuensi radio. Satuan-satuan TNI maupun alutsista yang dioperasikan baik oleh matra Darat, Laut maupun Udara harus dapat berkomunikasi dan terhubung antar satu dengan lainnya, dalam sebuah sistem jaringan yang terpadu dan tertutup. Sebagai penunjang akan interoperabilitas antar matra, maka diperlukan adanya pertukaran data informasi strategis dengan kemampuan untuk berbagi informasi dengan tingkat kecepatan yang mendekati real-time, memiliki tingkat kerahasiaan dan akurasi tinggi, mampu menjangkau tempat-tempat terpencil sekaligus tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca. Manfaat nya adalah selain kepada peningkatan Situational Awareness yang sama terkait medan operasi oleh segenap satuan TNI yang terlibat dalam misi, juga akan sangat membantu pengambil keputusan di pusat komando untuk dapat mengatur Battlespace Management secara presisi sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Integrasi dan interoperabilitas tersebut tentu hanya dapat dicapai, apabila Indonesia memiliki sebuah satelit, dalam hal ini Satkomhan sebagai unsur pendukung utamanya.
Memiliki kewenangan untuk mengelola sebuah Satelit L-Band di Slot Orbit 123 derajat BT adalah peluang besar bagi Indonesia untuk dapat mengembangkan Satkomhan tersebut dan beradaptasi dengan konsep Network Centric Warfare, sehingga akan meningkatkan kemapuan interoperabilitas TNI saat menjalankan misi gabungan antar matra. Terlebih, letak dari slot orbit 123BT tepat berada di atas wilayah Sulawesi, yang masih menjadi wilayah yurisdiksi Indonesia, akan sangat berisiko apabila apabila slot 123BT tersebut pada akhirnya harus jatuh dan dikelola oleh negara lain. Melihat letak strategis dan urgensinya saat ini, maka dapat dikatakan bahwa penguasaan dan pengelolaan slot Orbit 123BT oleh Indonesia melalui program Satkomhan tersebut, menjadikannya penting untuk dipertahankan. Program Satkomhan selayaknya dapat direalisasikan dengan tujuan pasti serta konsep yang tertata rapi, yaitu semata-mata untuk mempertahankan kepentingan nasional sekaligus mendukung operasional TNI medan tugas. Tentunya, program ini diharapkan dapat terus berjalan sesuai dengan ‘koridor’ yang sudah ditetapkan, dan tetap berpegang pada kaidah serta norma-norma hukum yang berlaku di negeri ini.