Setahun Tragedi KRI-Nanggala (402) dan Pentingnya Modernisasi Armada Kapal Selam Indonesia
Oleh: Hanif Rahadian
April 2021, menjadi bulan dan tahun yang memilukan bagi Indonesia, khususnya keluarga besar TNI-Angkatan Laut (TNI-AL). Setahun yang lalu, TNI-AL kehilangan sebanyak 53 prajurit bangsa yang gugur bersamaan dengan tenggelamnya kapal selam KRI-Nanggala (402) di wilayah perairan Bali Utara.
KRI-Nanggala (402) merupakan kapal selam diesel-elektrik kelas Cakra Type 209/1300 yang didatangkan dari Jerman dan dioperasikan oleh TNI-AL sejak tahun 1981. Bersama dengan saudara kembarnya yaitu KRI-Cakra (401), kedua kapal selam ini mengabdi di Satuan Kapal Selam Komando Armada (Koarmada) II Surabaya.
21 April 2021, Kapal Selam besutan Howaldtswerke-Deursche Werft (HDW) ini berpartisipasi dalam ajang latihan rutin yang diselenggarakan oleh TNI-AL. Pukul 03:00 WIB KRI-Nanggala (402) mengikuti kegiatan latihan dan menjalankan misi peran tempur serta meminta izin untuk menyelam sehingga dapat melakukan penembakan torpedo dari bawah laut. Kapal sukses melakukan prosedur penyelaman pada pukul 03:46WIB. Seharusnya, pada pukul 04:00WIB KRI-Nanggala (402) sudah memasuki tahap penggenangan peluncur torpedo, komandan gugus tugas latihan berniat memberikan otoritas penembakan torpedo nomor 8 pada pukul 04:25WIB, namun komunikasi dengan KRI-Nanggala (402) telah terputus, awak kapal tidak merespon panggilan dan tidak ada laporan hasil penembakan torpedo dari KRI-Nanggala (402) kepada pusat komando. Setelahnya, pada pukul 09:37 WIB, kapal baru dilaporkan hilang dan TNI-AL mengirimkan pemberitahuan kepada International Submarine Escape and Rescue Liaison Office (ISMERLO) terkait kemungkinan hilangnya KRI-Nanggala (402).
Pencarian kapal lantas diintensifkan oleh seluruh jajaran TNI-AL dibantu oleh banyak jajaran terkait. Puluhan aset dari mulai Kapal Perang, Pesawat Udara maupun Kapal Bantu yang dilengkapi dengan kemampuan sonar bawah laut dikerahkan untuk mencari posisi KRI-Nanggala (402). Bantuan Internasional juga datang dari negara-negara seperti India, Singapura, Malaysia, Australia dan Amerika Serikat. Sampai dengan tanggal 24 April 2022, tiga hari setelah kapal dinyatakan hilang, ditemukan serpihan-serpihan barang di area sekitar hilangnya KRI-Nanggala (402). Barang-barang tersebut kuat diduga milik awak kapal dari KRI-Nanggala (402). Serpihan-serpihan dan benda-benda yang ditemukan menjadi bukti yang memperkuat asumsi bahwa kapal sudah tenggelam, maka Panglima TNI Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto di hari yang sama resmi menyatakan status KRI-Nanggala (402) yang mulanya Submiss (Kapal Hilang) menjadi Subsunk (Kapal Tenggelam).
Angkatan Laut Singapura, dengan menggunakan kapal selam nirawak yang memiliki kemampuan selam hingga mencapai kedalaman 1.000m akhirnya mendapati kontak visual terhadap KRI-Nanggala (402), kapal selam Indonesia tersebut ditemukan di kedalaman 838M, ditemukan juga serpihan-serpihan yang berasal dari badan kapal KRI-Nanggala (402). Kapal dipercaya terbelah menjadi tiga bagian sebelum menghatam dasar lautan. Akhirnya, pada tanggal 25 April 2021, TNI-AL mengkonfirmasi bahwa seluruh awak kapal KRI-Nanggala (402) telah gugur.
Tenggelamnya KRI-Nanggala (402) dan gugurnya 53 putra terbaik bangsa yang mengemban tugas mengawaki kapal tersebut, memberikan duka mendalam tidak hanya untuk jajaran TNI-AL namun juga Indonesia. Negara ini kehilangan banyak prajurit dan aset kapal yang sangat berharga, dalam satu hari.
Sebelum tenggelamnya KRI-Nanggala (402), TNI-AL mengoperasikan sebanyak 5 (lima) unit Kapal Selam, yaitu dua unit Kapal Selam Kelas Cakra Type 209/1300, yang terdiri dari KRI-Cakra (401) dan KRI- Nanggala (402), juga 3 (tiga) unit kapal selam DSME 209/1400 kelas Nagapasa, yang terdiri dari KRI-Nagapasa (403), KRI-Ardadedali (404) dan yang terbaru, adalah KRI-Alugoro (405). Praktis, tenggelamnya KRI-Nanggala (402) akhirnya mengurangi jumlah armada kapal selam Indonesia menjadi 4 (empat) unit, hal ini berdampak besar terhadap kesiapan operasional Armada Satuan Kapal Selam TNI-AL.
Secara kuantitas, armada kapal selam Indonesia masih jauh di bawah angka ideal, di mana selayaknya negara dengan luas seperti Indonesia memiliki setidaknya 10 hingga 12 unit kapal selam dengan kondisi siap beroperasi. Selain itu, meliihat kondisi KRI-Cakra (401) dengan umurnya yang sudah mencapai lebih dari 40 tahun, selayaknya dimodernisasi dengan unit kapal selam yang lebih baru dan dilengkapi oleh teknologi yang lebih canggih. Bukan hanya KRI-Cakra (401), kondisi dari KRI-Nagapasa (403) dan KRI-Ardadedali (404) saat ini juga memerlukan sejumlah perbaikan dan perawatan.
Berdasarkan data yang bisa diakses oleh publik dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), pada tahun 2022 kedua unit kapal KRI-Nagapasa (403) dan KRI-Ardadedali (404) memerlukan beberapa perbaikan dan penggantian suku cadang yang tidak sedikit, melihat dari rencana perbaikan sebagaimana tertuang dalam data tersebut, maka tidaklah heran jika timbul pertanyaan dari masyarakat terkait kondisi dari kedua kapal selam Indonesia yang dibeli dari Korea Selatan itu.
Kondisi dari Satuan Kapal Selam TNI-AL saat ini menjadi hal yang patut kita khawatirkan. Padahal sebagai salah satu kekuatan strategis, kondisi kapal selam yang dimiliki selayaknya berada dalam kondisi prima dan siap untuk melakukan operasi.
Dilengkapi dengan kemampuan Stealth yang dimiliki, kapal selam dapat menjadi aset pertahanan yang penting untuk menunjang kekuatan bawah laut Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sulitnya mendeteksi pergerakan sebuah kapal selam yang ada di laut dalam. Sebuah kapal selam dapat melakukan penyerangan terhadap kapal musuh tanpa dengan mudah diketahui keberadaannya, menjadikannya instrumen yang pas untuk menjaga sejumlah titik vital di wilayah maritim Indonesia.
Awalnya Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, berencana untuk melanjutkan program pembelian Kapal Selam tipe DSME 209 dari Korea Selatan setelah KRI-Alugoro (405) diserahterimakan kepada TNI-AL pada tahun 2020, namun hingga saat ini tidak terlihat adanya kelanjutan yang berarti dari rencana pembelian tersebut. Kemhan RI lantas mencari opsi lain, termasuk menimbang opsi pemilihan kapal selam Kelas Scorpene yang dilengkapi dengan teknologi Air Independent Propulsion (AIP) dan akan dibeli dari perusahaan galangan kapal Naval Group dari Prancis serta kapal selam Tipe 214 yang berasal dari pabrikan ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS), Jerman.
Meskipun belum ada kebijakan pasti terkait kapal selam jenis apa yang akhirnya akan dibeli oleh Indonesia kedepannya, namun langkah modernisasi yang saat ini direncanakan oleh Kementerian Pertahanan RI perlu mendapatkan apresiasi serta dukungan penuh. Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto, dengan visi besarnya jelas memiliki rencana untuk memperkuat instrumen-instrumen pertahanan Indonesia, termasuk Kapal Selam sebagai salah satu alat utama sistem senjata (Alutsista) strategis.
Tentu saja, upaya modernisasi alutsista seperti kapal selam di Indonesia akan menemukan beberapa tantangan. Utamanya adalah kesiapan anggaran dan restu dari Kementerian Keuangan, kesiapan Industri Pertahanan Nasional untuk mengakomodir sarana dan pra-sarana yang dibutuhkan guna memfasilitasi kebutuhan pemeliharaan serta perawatan dari alutsista-alutsista dengan teknologi kompleks tersebut, serta kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dibutuhkan untuk mempelajari berbagai pengetahuan melalui skema Transfer of Technology (TOT) dari alutsista yang akan didatangkan atau dibangun di Indonesia. Kesiapan Industri Pertahanan Nasional serta SDM di Indonesia, diharapkan dapat menjadi modal untuk mewujudkan cita-cita kemandirian industri pertahanan nasional.
Berkaca dari kondisi Satuan Kapal Selam TNI-AL saat ini dengan alutsista yang masih sangat terbatas bahkan dalam segi kuantitas, kondisi geo-politik global yang terus bergerak dengan cepat dan dinamis serta hadirnya tantangan keamanan di sekitar wilayah Laut China Selatan dan wilayah Natuna, maka upaya modernisasi alutsista-alutsista bernilai strategis seperti kapal selam adalah suatu hal yang tidak bisa lagi ditunda-tunda oleh Indonesia. Negara ini harus berpacu dengan waktu untuk membangun postur pertahanan maritim nya guna menjamin kelangsungan hidup bangsa serta kedaulatan negara nya.