Identifikasi Kepastian Hukum Hak Atas Tanah TNI dalam Hukum Pertanahan Nasional (Bagian1)
Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas, perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960, masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun pariwisata juga terus bertambah—sedangkan ketersediaan tanah itu tidak bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya—bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah terhadap tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas.
Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif.
Konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 12 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat ADAM V Brawijaya terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar 34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1 Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyek land reform dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Departemen Pertahanan—yang bertugas sebagai alat utama sistem pertahanan negara—dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah. Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA, namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak.
Untuk menghindari konflik pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu—dalam hukum pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang digunakannya.
A. Hak Atas Tanah
Pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah dapat berbentuk sebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkret. Yang dimaksud hak atas tanah merupakan suatu lembaga hukum adalah jika hak atas tanah tersebut belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Contohnya ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan tanah seperti memberi nama hak penguasaannya, menetapkan isinya, yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu penguasaannya, mengatur hal-hal mengenai subjeknya, siapa saja yang boleh menjadi pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya. Hak penguasaan atas tanah merupakan hubungan hukum konkret jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai objeknya dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang haknya. Contohnya mengatur hal-hal mengenai pemindahan hak kepada orang lain.
B. Jenis Hak Atas Tanah
Dalam UUPA terdapat hak-hak penguasaan atas tanah, sebagai berikut :
1) Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1);
2) Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2);
3) Hak Ulayat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3);
4) Hak Individual
- Hak-hak atas tanah yang bersifat tetap (Pasal 4):
- Hak Milik (HM) (diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27 UUPA),
- Hak Guna Usaha (HGU) (diatur dalam pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA),
- Hak Guna Bangunan (HGB) (diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 40 UUPA),
- Hak pakai (HP) (diatur dalam pasal 41 sampai pasal 43 UUPA)
- Hak Sewa untuk bangunan (HS) (diatur dalam pasal 44 dan pasal 45 UUPA),
- Wakaf (pasal 49)
- Hak jaminan atas tanah : Hak Tanggungan (pasal 23, 33, 39, 51 dan Undang-Undang 4/1996)
- C. Hak Milik Menurut UUPA.
Menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya warga-negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Dalam Ayat (2) menegaskan bahwa Pemerintah dapat menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 mengatur tentang badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik atas tanah, yaitu : bank-bank Negara, badan-badan keagamaan, dan badan-badan sosial.
D. Hak Pakai Menurut UUPA
Menurut Pasal 14 Peraturan Menteri Muda Agraria No. 15 tahun 1959menetapkan batas maksimal luas tanah yang dikenai hak pakai 10 hektar, kecualikalau ada ijin menteri (Harsono, 1971).
Pasal dalam Pasal 41 – 43 UUPA, jo Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, khususnya Pasal 39 – 58. Mengenai yang dapat mempunyai hak pakai diatur dalam Pasal 43 UUPA jo Pasal 39 PP Nomor 40 Tahun 1966, yaitu :
- Warga Negara Indonesia;
- Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
- Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
- Badan-badan keagamaan dan sosial;
- Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
- Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
- Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional.
E. Pengertian Sengketa Pertanahan
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu sengketa tanah antara lain :
- Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya.
- Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak.
- Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar.
- Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik pertanahan adalah :
- Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;
- Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
- Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
- Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah (hak ulayat);
- Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah.
Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis), atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan) yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :
- Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
- Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
- Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
- Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
- Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.[1]
Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum diperoleh sesuatu keputusan.
F. Pemanfaatan Tanah Oleh TNI
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan olehTNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai, yaitu hakmenggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung olehnegara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenangmemberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukanperjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asaltidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma,dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pemberian hak pakaitidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
- Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak pakaihanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat yangberwenang.
- Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.
TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen Pertahanan,hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk kepentingan TNI adalah hak pakai.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap permasalahan pertanahan kita harus menidentifikasi terlebih dahulu—tanah tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang berbeda-beda—pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai hak milik atas tanah.Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan Negeri—dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila sengketa tersebut—yang melibatkan TNI—yang notabene dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang bersengketa.
Referensi
- Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia
- Maria D. Muga, Tesis Peranan Kepala Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Mediasi (Studi Analisa Terhadap Penyelesaian Sengketa Tanah-Tanah Ulayat di Kecamatan SOA Kabupaten Ngada-Flores-Nusa Tenggara Timur)
- Irin Siam Munista, Tesis Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong
-
[1] Irin Siam Munista, Tesis Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Masyarakat Malamoi Di Kabupaten Sorong, hal 31
Wah, mantap sekali tulisannya Mbak..
Sebenarnya kasus kepemilikan tanah antara rakyat vs negara ini jumlahnya sangat banyak..
Hanya saja tidak semuanya diangkat karena kadang sudah dapat diselesaikan secara kekeluargaan..
Kalau di luar negeri ini, instalasi militer itu strict sekali..
Bahkan bisa ditembak kalo masuk tanpa ijin..
Tapi ya jangan sampe kejadian lah..
diluar negeri militer punya “privacy” yang tidak bisa diganggu gugat oleh sipil. larangan yang terpampang di sudut sudut pembatas instalasi militer bunyihya selalu keras yang bernada “masuk area anda akan ditembak”. tapi suasana berbeda bila kita jumpai di indonesia, dengan doktrin “baik baik dengan rakyat” area militer bisa digunakan berbagai macam fungsi oleh masyarakatnya untuk kepentingan ekonominya. namun demikian, kekurang tahuan mereka tentang UU PA menjadikan kedua pihak sering terlibat konflik pertanahan.
nah, di sini sering kita lihat kalau sudah berkonflik, sipil bisa masuk seenaknya ke area militer yang seharusnya area terlarang, di praktek yang paling kecil, kalau ada latihan dengan peluru tajam/bom masih sering ada penduduk yang masuk ke area, bahkan tewas karena terkena peluru/bom, dan kalau sudah begini kadang keluarga korban pun tak mau disalahkan dan meminta tanggung jawab TNI padahal jelas2 korban telah masuk area terlarang