Perang Rusia-Ukraina dan Tantangan Presidensi Indonesia dalam G-20
Oleh: Hanif Rahadian
Tahun 2022 menjadi tahun yang berbeda bagi Indonesia, pasalnya negara ini akan menjadi tuan rumah dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 (Group of Twenty) yang akan diselenggarakan di Pulau Dewata, Bali. G-20 merupakan sebuah konferensi kerjasama multilateral yang beranggotakan 20 negara, yaitu Amerika Serikat, Argentina, Australia, Brazil, Kanada, Cina, Prancis, Jerman, Inggris, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, dan Uni Eropa. Pembahasan G-20 pada tahun ini, membahas terkait Arsitektur kesehatan global, Transisi energi berkelanjutan, dan Transformasi digital dan ekonomi.
Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang diamanatkan dengan Presidensi G-20, dan menjadi tuan rumah. Mengemban pengalaman kepemimpinan G-20 untuk pertama kalinya, Indonesia dihadapkan pada tantangan diplomasi yang tidak mudah, menyusul terjadinya invasi militer Rusia terhadap Ukraina pada Februari 2022.
‘Operasi khusus militer’ yang dilakukan Rusia ke Ukraina, berakibat pada pemberlakukan sanksi-sanksi berat oleh dunia internasional terhadap negara yang dipimpin oleh Vladimir Putin tersebut. Rusia berusaha untuk ‘diisolasi’ dari dunia oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara lain yang mengecam tindakan Rusia, termasuk dengan upaya untuk mengeluarkannya dari berbagai konferensi internasional.
Rusia sebelumnya telah dikeluarkan dari kelompok G-8 akibat menganeksasi wilayah Krimea pada tahun 2014, saat ini Rusia melakukan invasi terhadap wilayah Ukraina sehingga mendorong dunia internasional untuk mengeluarkan Rusia dari kelompok G-20.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, mengatakan bahwa sejauh ini Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan ingin menghadiri KTT G-20 yang akan diadakan oleh Indonesia di Pulau Bali, rencana dari kedatangan Presiden Putin akhirnya mendapatkan kecaman keras dari Amerika Serikat, Australia dan tidak terkecuali Ukraina.
Ukraina, meminta Indonesia untuk menolak kehadiran Presiden Vladimir Putin, dalam forum G-20. Senada dengan Ukraina, Amerika Serikat dan Australia turut menyerukan hal yang sama. Presiden Amerika Serikat Joe Biden, mengatakan bahwa apabila Indonesia tidak setuju dengan rencana pengeluaran Rusia dari kelompok G-20, maka Ukraina juga harus diundang hadir dalam forum tersebut. Sementara, Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam kesempatan berbeda berpendapat bahwa diundangnya Presiden Rusia ke Bali untuk menghadiri G-20 dianggap sebagai suatu hal yang ‘berlebihan’.
Kenyataanya Rusia tidak bisa dikeluarkan begitu saja dari G-20, sebab hal ini memerlukan musyawarah dengan keputusan yang diperoleh secara mufakat oleh seluruh anggota G-20 yang lain. Apabila Indonesia memilih untuk mengambil langkah tersebut, maka akan menjadi alarm bagi Rusia dan akan berdampak kepada berubahnya citra positif Indonesia di mata Rusia.
Indonesia selama ini tidak pernah menyebut nama Rusia dalam pernyataan resmi nya terhadap perang yang berkecamuk di Ukraina, tidak menyatakan kecaman keras serta tidak ikut menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Respon yang dilakukan Indonesia akhirnya berdampak terhadap citra positif Indonesia di mata ‘Negeri Beruang’ tersebut. Indonesia tidak termasuk dalam daftar negara yang dianggap “tidak bersahabat” dengan Rusia, di mana Singapura masuk di dalamnya, sebab Singapura dengan tegas mengecam tindakan Putin dan bahkan menjatuhkan sanksi terhadap negara yang dipimpin oleh Presiden Putin tersebut. Duta Besar Rusia untuk Indonesia menyatakan bahwa Rusia senang sebab Indonesia tidak turut ikut dalam kampanye “Anti-Rusia” yang diserukan oleh negara-negara Barat.
Sikap ‘netral’ yang ditunjukkan Indonesia terhadap Rusia juga didorong oleh adanya kerjasama investasi di antara kedua negara, salah satunya adalah investasi Rusia terhadap proyek Kilang Minyak di Tuban, Jawa Timur, dengan nilai mencapai Rp 200 Triliun. Pengecaman dan pencatutan nama Rusia dalam pernyataan resmi terkait invansinya ke Ukraina, dikhawatirkan akan berdampak terhadap proyek tersebut.
Keputusan Indonesia untuk tetap mengundang Presiden Vladimir Putin dalam G-20, akan memunculkan tantangan keras dari negara-negara Barat, di mana Indonesia juga menjalin hubungan bilateral dan sejumlah kerjasama strategis dengan mereka. Di sisi lain, apabila Indonesia berkeinginan untuk mengundang Ukraina yang bukan merupakan anggota resmi dari kelompok tersebut, maka bukan tidak mungkin akan mendapatkan respon serupa dari Rusia, meskipun hal tersebut adalah hak Indonesia yang memegang palu Presidensi.
Indonesia dihadapkan pada sebuah tantangan diplomasi yang besar. Bersamaan dengan dipegangnya kepemimpinan G-20 tahun ini, Rusia melancarkan operasi militer ke Ukraina, dan mendapatkan sanksi serta kecaman dari dunia Internasional. Meski begitu, G-20 adalah sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk menegaskan posisi luar negeri bebas aktif dan ke-netralannya selama ini, serta membuktikan kredibilitas kepemimpinannya dalam sebuah forum internasional. Tetap mengundang Rusia dan Vladimir Putin serta mengikuti ketentuan sebagaimana Presidensi-presidensi sebelumnya adalah langkah terbaik yang dapat diambil oleh Indonesia, meskipun konsekuensinya adalah tekanan keras dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Ukraina, Australia dan negara-negara lain yang tidak setuju dengan kehadiran Rusia.
Akhirnya, keputusan apapun yang akan diambil oleh Indonesia pada perhelatan G-20 akan membutuhkan banyak upaya pendekatan dan negosiasi yang tidak mudah. Konsekuensi politik internasional tentunya akan mengikuti, terlepas dari keputusan apapun yang diambil oleh Indonesia dalam forum tersebut nantinya. Meski begitu, patut digaris-bawahi bahwa kebijakan apapun terkait G-20 yang melibatkan negara lain di dalamnya perlu dicapai melalui kesepakatan oleh seluruh negara anggota, dengan tetap mengedepankan asas multilateralisme dan kepentingan bersama serta mengesampingkan kepentingan dari golongan negara tertentu.