Selayang Pandang Implementasi Undang-Undang Terorisme
“Semua masalah bisa diselesaikan secara damai jika pihak yang bermusuhan saling bicara atas nama cinta dan kebenaran. Sepanjang sejarah, ungkapan cinta dan kebenaran selalu menang” (ini adalah keyakinan dan visi Mathama Ghandi dan visi ini tetap baik dan benar sampai sepanjang zaman)” Pidato Ronald Reagen di depan PBB, 25 September 1984
Tulisan ini “mungkin” hanya sebatas pengingat, dan pelengkap dari sekian tulisan yang telah ada, karena begitu banyak penulis mengangkat topik yang serupa dan tentunya kerap tetap akan diperbincangkan.
Terorisme: Kejahatan Terhadap HAM (extra ordinary crime)
Mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah-tamah, sopan-santun, religious, tolong menolong, dan gotong royong ini berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang “homo homini lupus”, anarkis, brutal, dalam hampir seluruh bidang kehidupan, dan strata sebagai mana dikutip dari Prof J.E.Sahetapy, 2000.
Ungkapan ini mewakili deskripsi kehidupan bangsa Indonesia yang memang faktanya tidak jarang hampir selalu melakukan aksi kekerasan atau meledakkan tindakan anarkisme, yang jelas berdampak pada meluasnya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Perilaku seperti ini pun tidak jarang membuat masing-masing warga bebas untuk mengimplementasikan atau mendeskripsikan ajaran agama yang mereka yakini, karena negara ini memberikan kebebasan, termasuk fundamentalisme beragama.
Martin E.Marty mengemukakan suatu sikap dikatakan fundamentalisme apabila memenuhi 4 (empat) prinsip dibawah ini :
- Fundamentalisme bersifat oppositionalisme (paham perlawanan), yaitu sikap atau gerakan yang selalu melawan terhadap hal (baik ide sekulerime ataupun modernisme) yang bertentangan dan mengancam eksistensi agama;
- Fundamentaliseme bersifat penolakan terhadap paham hermeneutika, yakni penolakan terhadap sikap kritis atas teks dan interpretasinya;
- Fundamentaslisme bersifat menolak terhadap pahan pluralisme dan relativisme yang keduanya dihasilkan dari pemahaman agama yang keliru.
- Fundamentalisme bersifat menolak terhadap paham sosiologis dan historis yakni perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci.
Paham fundamentalisme inilah, yang tidak jarang melahirkan aksi-aksi terorisme, karena berangkat dari keyakinan yang ekstrim. Akan tetapi penulis tidak menyimpulkan bahwa konteks keagamaan sebagai akar dari permasalahan terorisme, karena basis kepentingan kelompok yang disebut teroris itu dalam sejarahnya memang tidak jarang juga terkait dengan kepentingan politik, agama dan ideologi. Misalnya catatan sejarah menunjukkan, kalau pada tahun 1890an aksi Terorisme Armenia melawan pemerintahan Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan atau pembantaian massal (genocide) terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I adalah diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan idelogi.
US Department of Defence Tahun 1990 menyebutkan, bahwa terorisme itu “merupakan perbuatan melawan hukum atau tindakan yang mengandung ancaman dengan kekerasan atau paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama, atau ideologi”
Aksi terorisme tersebut jelas telah melecehkan nilai kemanusian martabat bangsa, dan norma-norma agama. Terorisme telah menunjukkan gerakan nyatanya sebagai tragedi atas hak asasi manusia. Eskalasi dampak destruktif yang ditimbulkan telah atau lebih banyak menyentuh multidimensi kehidupan manusia. Jati diri manusia, harkat sebagai bangsa beradab, dan cita-cita dapat hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam misi mulia “kedamaian universal”, mudah dan masih dikalahkan oleh aksi terror.
Aksi terorisme ikut ambil bagian dalam kehidupan berbangsa ini untuk menunjukkan potret lain dari dan di antara berbagai jenis dan ragam kejahatan, khususnya kejahatan kekerasan, kejahatan teroganisir, dan kejahatan yang tergolong luar biasa (extra ordinary crime)
Aksi Terorisme dan “Negara Hukum”
Bila seseorang (teroris) meledakkan sebuah bom di Masjid, Gereja, Pasar, Hotel, tempat wisata, atau kerumunan orang, maka terorisme yang meledakkan bom tersebut mengharapkan segera suasana ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Semakin takut perasaan masyarakat, maka semakin berhasil gerakan terorisme. Sebab bagian dari alat dan tujuan mereka adalah untuk menakuti dan peledakan adalah sebagai sasaran. Peledakan dijadikan alat untuk merusak “atap rumah”, merawankan atau membocorkan konstruksi negara. Ketika negara sudah bocor, maka tinggal meneruskan langkah selanjutnya; melanjutkan misi sejati. Jadi chaos di tengah masyarakat merupakan kondisi yang sangat didambakan oleh kalangan teroris, baik untuk memecah keutuhan aparat keamanan maupun menciptakan kondisi yang tidak menentu dan menakutkan.
Mengingat begitu rawannya dan kompleksnya tindakan terorisme maka pengaturan yang diperlukan yaitu yang bersifat khusus (lex spesialis). Hal ini tentunya karena kejahatan terorisme tidak dapat disamakan dengan kejahatan biasa, karena kejahatan ini dilakukan secara sistematis professional dengan melalui jaringan yang teroganisir yang berskala regional maupun internasional dan memiliki tujuan politik dan ideologi.
Indonesia sebagai Negara Hukum pada saat ini sudah memiliki peraturan untuk menanggulangi tindak pidana terorisme sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Pembuat undang-undang menempatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini sebagai peraturan payung dan bersifat koordinatif yang berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
Sinergisitas Payung Hukum Dalam Penanggulangan Terorisme
Namun disisi lain, produk hukum ini (Undang-Undang Terorisme) juga menjadi objek yang dikritisi. Ibaratnya, seperti pisau bermata dua, di satu aspek hukum punya kewajiban suci dan mulia untuk menjaga tegaknya hak asasi manusa (HAM) melalui penegakan hukum (law enforcement) yang fair, objektif, dan realistik, namun di sisi lain, hukum juga ikut dipersalahkan jika tahap implementasinya “disalagunakan” oleh aparat dan pelaku-pelaku yang punya target politik, yang salah satu dampaknya juga dapat melecehkan hak-hak asasi manusa (HAM).
Hal ini kemudian ditambah dengan munculnya wacana untuk merevisi Undang-Undang Terorisme dengan memperjelas TNI didalam penanggulangan tindakan terorisme. Tujuan ini tidak lain sebagai upaya negara unutk menciptakan sinkronisasi, harmonisasi, dan menyeleraskan dari berbagai UU yang ada karena kewenangan TNI dalam menghadapi aksi terorisme dalam skala tertentu sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Kalangan pembela HAM menyebut, gagasan revisi UU dengan melibatkan TNI jika dilakukan, akan mengancam kebebasan sipil dan kebebasan berpendapat. Dan bisa disalahgunakan untuk memberangus kalangan yang tak sepaham dengan pemerintah, lebih-lebih di daerah bergolak seperti di Papua.
Terlepas dari keputusan politik dan kepantasan dalam konteks nasional dan internasional. Selain itu, peran militer dipandang penting mengingat terorisme tidak saja menimbulkan dampak korban sipil yang tidak berdosa saja, tetapi juga keamanan nasional juga menjadi taruhannya. Hal ini dirasa perlu, kendati Indonesia memperlakukan terorisme sebagai tindakan kriminal seperti yang tertuang dalam UU no 15/2003 tentang penanggulangan tindak pidana terorisme yang menjadikan kewenangan pemberantasannya ada di pundak kepolisian
Sehingga dari penjabaran di atas, untuk melibatkan militer dalam operasi terorisme harus memperhatikan Legal framework atau harus bekerja dalam kerangka hukum yang jelas adalah solusi terbaik dalam sistem demokrasi,
Akan tetapi perlawanan militer bukan satu-satunya cara melawan tindakan terorisme. Usaha-usaha non militer lain juga diperlukan misalnya dengan memperkuat penegakan hukum, mengedepankan peran intelijen lewat kemampuan deteksi dan forecasting nya, mengoptimalkan peran-peran institusi-institusi demokratis, menegakkan hak asasi manusia, menghapuskan kemiskinan dan meningkatkan kinerja pemerintah lokal.
Penutup
Mengenai penanganan terorisme di Indonesia, diharapkan ada satu titik terang mengenai keterlibatan antara militer dan polisi. Jangan sampai tarik menarik mengenai kewenangan tersebut justru akan menurunkan kinerja aparat dalam menghadapi ancaman terorisme yang kian hari kian masif. Keterlibatan militer sendiri perlu dilakukan asal tetap dalam koridor yang sudah ditentukan. Dalam menghadapi ancaman terorisme seperti sekarang diperlukan kerjasama antar instansi terkait dan tidak mengedepankan egosektoral masing-masing demi mewujudkan keamanan dan stabilitas negara dari ancaman teror.
Pemerintah juga seyogyanya memberikan aturan yang jelas mengenai wewenang antara militer dan polisi terkait penanganan teror tersebut. Peratuan tersebut dibuat agar kapabilitas dari polisi dan militer tidak tumpang tindih, karena bagaimanapun juga tujuan dari dibentuknya peraturan yaitu untuk membebaskan negara dari ancaman teroris di bawah hukum positif yang berlaku.
Demikian pula peran serta masyarakat, dukungan bahkan bantuannya dalam rangka penanganan kejahatan terorisme. Negara (polri dan militer) tidak akan bisa bekerja sendirian dan berhasil dalam menangani masalah terorisme.
DAFTAR PUSTAKA
- Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme
- Wahid, Abdul, 2004. “Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum”, Malang:Refika Aditama
- http://jurnalintelijen.net/2015/12/17/keterlibatan-militer-dalam-penanggulangan-terorisme-di-indonesia/
- http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160721_indonesia_ruuteroris_tni