SADL (Situational Awareness Data Link), The F-16 Game Changer
Masih segar di pikiran kita tentang ribut-ribut akuisisi pesawat tempur F-16 eks Air National Guard oleh TNI-AU yang menuai pro dan kontra. Sudah banyak analisis dan komentar yang dilontarkan oleh para ahli dan “ahli”, baik yang membangun sampai yang tidak masuk akal dan tak berdasar. Akan tetapi banyak sisi lain dari pengadaan F-16 ini yang menarik untuk dicermati. Salah satunya adalah dari press release yang dikeluarkan oleh Defense Security Cooperation Agency[1], suatu badan di bawah Dephan AS yang menangani kerjasama militer dengan negara lain, termasuk di dalamnya Foreign Military Sales, setelah menyampaikan notifikasi kepada Kongres AS perihal transfer F-16 ini yang di antaranya adalah avionics upgrade yang akan diterima dan opsi pembelian targeting pod. Salah satu item yang disebut-sebut dalam avionics upgrade adalah pemasangan teknologi datalink, yang masih tergolong baru untuk TNI-AU (untuk tidak mengatakan ‘asing’ sama sekali karena armada Flanker yang dioperasikan Skadron Udara 11 sebenarnya sudah dilengkapi teknologi serupa yang lebih dikenal dengan nama ‘telecode’).
Apa yang menarik dari hal ini? Salah satu yang terpenting adalah munculnya paradigma baru di TNI AU tentang peperangan udara modern, yakni bahwa di sebuah palagan perang udara, bakat (aptitude) dan profisiensi pilot untuk menemukan dan menghancurkan sasaran baik udara maupun permukaan sebelum lawan menemukan dan menghancurkan pesawatnya terlebih dahulu bukanlah satu-satunya faktor penentu kemenangan. Dalam konsep ‘Perang/Operasi Berbasis Jaringan’ (Network Centric Warfare atau Network Centric Operations[2] atau Network Enabled Operations) yang dipelopori oleh Dephan AS dalam doktrin pertahanannya pada dekade 90an, kesuksesan sebuah misi atau dalam skala besar kemenangan dalam sebuah peperangan berdasarkan pada prinsip:
- Sebuah pasukan yang terkoneksi dalam sebuah jaringan komunikasi yang tangguh akan memudahkan unit-unit operasional saling berbagi informasi;
- Pertukaran informasi meningkatkan kualitas informasi yang didapat dan adanya kesadaran situasional (situational awareness) antar unit;
- Adanya situational awareness antar unit memungkinkan kolaborasi dan sinkronisasi secara otomatis, dan meningkatkan kesinambungan dan kecepatan dalam proses komando; dan
- Pada akhirnya meningkatkan tingkat kesuksesan dari misi secara drastis.
Jaringan data ini yang menjadi fokus dalam pengembangan teknologi, sehingga informasi strategis tidak hanya dipertukarkan melalui komunikasi suara yang tentu saja sangat terpengaruh oleh interpretasi baik oleh pengirim informasi maupun penerima informasi. Selain itu jaringan komunikasi suara memiliki keterbatasan dalam jumlah peserta, yang tidak ditemui dalam komunikasi data di mana informasi dapat disebarkan secara broadcast namun aman dari penyadapan musuh. Inilah yang disebut dengan datalink yang akan kita bahas lebih lanjut.
Dengan adanya datalink, pesawat bisa melihat posisi musuh tanpa perlu menghidupkan radar jika ada pesawat kawan di sekitar area yang menghidupkan radar. Konsep datalink juga digunakan dalam medan perang udara melalui pesawat Early Warning & Control (AEW&C), yang akan memandu dan memberi data pada pesawat tempur (fighter) di garis depan tanpa harus menghidupkan radarnya sendiri. Hal ini memberikan beberapa keunggulan karena jangkauan radar pesawat AEW&C bisa melebihi 300km (lebih jauh dari radar pesawat tempur), serta ketinggiannya yang memungkinkan cakupan palagan secara lebih komprehensif. Dengan keunggulan ini maka fighter bisa mendeteksi sasaran udara lebih awal. Selain itu, deaktivasi emisi gelombang elektromagnetik radar akan mengurangi resiko terdeteksi oleh electronic support measurement (ESM) lawan. Dari sisi strategis tidak menghidupkan radar juga akan menyembunyikan profil radar dari advanced ESM seperti ALR-2001 Odyssey yang dipasang pada P-3 Orion dan Boeing-737 Wedgetail Australia yang mampu mengidentifikasi (fingerprinting) radar secara individu, dalam detail yang lengkap hingga serial number radar (jika sudah ada di database)[3].
Datalink sendiri selain bisa digunakan antar pesawat bisa juga digunakan untuk berbagi data antara pesawat dengan kapal atau pesawat dengan stasiun darat. Datalink antara pesawat dengan kapal bisa sangat menguntungkan karena akan meningkatkan efektifitas peperangan permukaan yang dimiliki kapal laut. Dengan adanya datalink antara wahana udara dan kapal laut, maka keterbatasan radar kapal terhadap horizon bumi untuk sasaran permukaan bisa diatasi, sehingga kapal yang biasanya hanya bisa mendeteksi sasaran permukaan pada orde puluhan kilometer bisa ‘melihat’ sasaran sampai ratusan km yang terbentang dibalik horizon[4]. Integrasi kapal-pesawat udara bisa memaksimalkan efektifitas rudal anti kapal karena pesawat bisa memberikan data over the horizon targetting (OTHT) sehingga posisi lawan pada jarak ratusan km bisa dideteksi lebih dini tanpa terbatas pada horizon radar kapal. Koneksi pesawat dan stasiun darat akan memudahkan pemantauan jalannya misi udara, pengambilan keputusan, dan analisis situasi sehingga komando dan kendali (kodal) dapat berjalan dengan lancar, tidak seperti pada komunikasi suara yang terbatas karena tergantung interpretasi pilot. Pada saat terjadi pertempuran, datalink akan sangat membantu karena pilot tidak perlu sibuk melaporkan situational awareness dan bisa berkonsentrasi ke pertempuran karena Puskodal bisa melihat apa yang dilihat pilot dan bisa memantau kondisi pesawat secara real time. Selain itu komunikasi data langsung antara pesawat dan pasukan darat baik dengan FAC(G) maupun dengan ranpur yang terkoneksi dalam jaringan datalink. Mekanisme ini dipraktekkan oleh US Air Force Reserve dan Air National Guard dengan US Army dan US Marine Corps dalam palagan operasi Iraqi Freedom dan Enduring Freedom. Poin terakhir inilah yang akan kita bahas lebih lanjut.
Enhanced Position Location Reporting System (EPLRS)
Sejarah penggunaan EPLRS dimulai dari sebuah proyek US Army untuk menjawab tantangan peperangan jenis baru di masa depan. Menyadari pentingnya pengetahuan akan situasi terkini antar unit kombatan di medan peperangan dengan presisi, dimulailah proyek penggunaan datalink untuk mendukung sistem komando terpadu di dalam kerangka Army Battle Command System(s) (ABCS) dan Force XXI Battle Command Brigade and Below (FBCB2). Pada prinsipnya EPLRS adalah sistem komunikasi data taktis nirkabel yang mengirimkan pesan tertulis secara otomatis, sehingga memungkinkan komunikasi data yang akurat dan cepat dalam medan pertempuran. Menggunakan teknologi Time Division Multiple Access (TDMA), Frequency Hoping, dan Error Correcting Coding, EPLRS sanggup memenuhi kebutuhan akan distribusi informasi vertikal dan horizontal secara cepat. Sistemnya sendiri terdiri dari beberapa Radio Set dengan satu atau lebih Network Controller yang memungkinkan pertukaran beberapa informasi secara real time dan simultan.
Kemampuan dari EPLRS sendiri terdiri dari:
- Layanan komunikasi
- Layanan penentuan lokasi
- Layanan navigasi
Selain digunakan oleh AD Amerika, sistem EPLRS juga telah digunakan oleh matra lainnya dalam Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, yang terdiri dari:
- US Army. AD AS menggunakan EPLRS sebagai tulang punggung komunikasi Internet taktis untuk pasukan yang dilengkapi dengan FBCB2.
- US Marine Corps. Korps Marinir AS menggunakan EPLRS dalam versi Internet taktis mereka yang dinamankan Tactical Data Network (TDN)
- US Navy. AL AS menggunakan EPLRS dalam alat Amphibious Assault Direction System (AADS), AN/KSQ-1, untuk mendukung komunikasi dan pergerakan unit-unit yang tergabung dalam Gugus Tugas Amfifibi mereka.
- US Air Force. AU AS menggunakan radio EPLRS yang telah dimodifikasi, Situational Awareness Datalink (SADL), sebuah datalink antar pesawat, dan datalink udara-ke-darat/darat-ke-udara dengan informasi posisi dari dan ke jaringan EPLRS di darat untuk misi Bantuan Tembakan Udara dan SAR Tempur.
Situational Awareness Datalink (SADL)
Situational Awareness Datalink (SADL) lahir dari proyek yang dikerjakan oleh US Air National Guard dan Air Force Reserve untuk meningkatkan efektivitas misi Bantuan Tembakan Udara di medan tempur. Muncul sebagai alternatif dari Link 16, yang merupakan datalink standar USAF, yang lebih canggih namun membebani anggaran ANG dan AFRES yang terbatas. SADL sendiri dipilih karena merupakan modifikasi dari sistem EPLRS yang sudah dipakai di matra lain. Selain itu, karena berbasis dari EPLRS, maka SADL menjamin interoperabilitas antar unit-unit pespur yang dilengkapi SADL dengan pasukan darat yang dilengkapi EPLRS. Hal ini terbukti pada palagan operasi Enduring Freedom dan Iraqi Freedom. Sebelumnya kasus Blue-on-Blue atau Friendly Fire sangatlah tinggi karena medan operasi yang menempatkan pasukan darat di posisi yang sangat berdekatan dengan pasukan musuh. Komunikasi radio dianggap belumlah cukup, karena masih dapat menimbulkan misinterpretasi yang diakibatkan oleh faktor beban kerja yang tinggi pada pilot pesawat tempur. Hal ini yang ingin dikoreksi dengan penggunaan SADL dengan menampilkan data-data terkait posisi kawan dan lawan dalam sebuah Tactical Awareness Display. Selain itu data yang dikirim oleh pasukan darat tertampil secara otomatis pada Head Up Display, sehingga pilot dapat segera memutuskan apa yang menjadi targetnya.
SADL dapat melakukan pertukaran data lokasi, identifikasi, laporan informasi secara mudah dan dapat dilakukan melalui komunikasi pesawat-ke-pesawat, udara-ke-darat, dan darat-ke-udara. Secara spesifik, SADL memungkinkan pilot untuk berbagi posisi, parameter penerbangan, kontak radar, dan Point of Interest.
Radio EPLRS yang telah dimodifikasi diintegrasikan dengan avionik pesawat melalui MIL-STD-1553B multiplex databus yang memang sudah jadi standard databus seluruh pesawat buatan AS. Jaringan udara-ke-udara SADL dapat mencakup dua hingga 16 unit pesawat, yang dapat berfungsi secara independen, baik dengan adanya Network Controller di darat maupun tidak. Posisi pesawat, posisi target, status senjata dan bahan bakar saling dibagikan satu sama lain kepada unit yang tergabung dalam jaringan. Sistem komunikasi data ini telah diuji oleh National Security Agency memiliki tingkat intersepsi yang rendah dan sangat aman. Relai data antar pesawat yang terotomatisasi dan kemampuan kontrol adaptasi terhadap perubahan daya menjamin konektivitas, anti sadap, dan tingkat deteksi yang rendah oleh lawan. Pada mode udara-ke-darat, pilot menggunakan kontrol kokpit untuk sinkronisasi antara radio SADL dengan jaringan pasukan darat. Setelah terjadi sinkronisasi, data yang didapat oleh satu pesawat akan dibagikan dengan unit pesawat yang lain. Network Controller di darat akan melacak posisi pesawat menggunakan EPLRS dan memberikan data posisi dan ketinggian pesawat pada unit darat kawan lainnya yang juga dilengkapi radio EPLRS. Ketika pesawat tempur memulai serangan pada suatu target, pilot akan menggunakan tombol pada joystick untuk menyediakan data posisi 5 radio ELPRS terdekat kepada avionik pesawat. Sistem SADL memberikan Situational Awareness dan identifikasi taktis terhadap posisi radio EPLRS kepada pilot. Posisi ini akan ditampilkan pada HUD dan TAD dan ditandai X pada posisi aktual kawan. Dengan begitu pilot dapat memutuskan apakah akan melepaskan munisi-nya dengan memperkirakan jarak antara posisi kawan dengan area target.
Sistem SADL ini telah dipasang pada 450 unit F-16C+ (Block25/30/32/40/42) yang dimiliki US ANG dan US AFRes, serta mulai diprovisikan untuk melengkapi unit A-10 dan UAV yang sering digunakan dalam operasi AS di Timur Tengah. Selain itu SADL juga telah dipasang pada pesawat E-8 JSTARS yang berfungsi sebagai battlefield management.
Spesifikasi teknis SADL:
- Arsitektur : Time Division Multiple Access
- Frekuensi : 425-447 MHz UHF
- Kecepatan Transmisi : 2,5 Kbps
- Daya Maksimum : 100 watt
- Jarak Jangkauan : Line Of Sight
- Databus : MIL-STD-1153B multiplex databus
- Unit Cost : 25-30 ribu US Dollar
Parameter penerbangan yang dipertukarkan melaui SADL:
- Posisi (relatif terhadap INS/GPS)
- Target di radar
- Posisi target darat (relatif terhadap INS/GPS)
- Ketinggian (Altitude)
- Kecepatan (Airspeed)
- Arah (Flight Direction)
- Sisa bahan bakar
- Status senjata
Combat Proven
Teknologi datalink SADL telah diuji di medan tempur pada pesawat-pesawat yang mengemban misi Close Air Support pada operasi tempur AS di Irak dan Afghanistan, yakni F-16. Hasilnya pun layak diacungi jempol karena data menunjukkan bahwa tingkat kejadian salah tembak (friendly fire) menurun drastis. Dari 17 kasus friendly fire yang terjadi di seluruh teater operasi Iraqi Freedom (per 2004), tidak ada satupun yang terjadi di Western Theatre di mana Joint Fires and Command Control diimplementasikan secara maksimal. Bandingkan dengan operasi Desert Storm di mana hingga operasi berakhir tercatat 35 kasus friendly fire yang fatal.
Kesimpulan dan Saran
Penggunaan datalink pada pesawat tempur telah terbukti mengurangi beban kerja pilot dan meningkatkan efektivitas misi serta meminimalisir kejadian friendly fire. Oleh karena itu, disarankan agar dalam pengadaan pesawat tempur F-16 eks US ANG oleh TNI-AU ini tetap mempertahankan kemampuan Situational Awareness yang didapat melalui penggunaan SADL. Selain itu patut diperhatikan pula penggunaan EPLRS oleh tim Kendali Tempur di darat agar dapat meningkatkan efektivitas misi Bantuan Tembakan Udara. Penggunaan pesawat Kodal juga tidak boleh luput dari perhatian sehingga dapat menjamin kendali pertempuran antar pesawat-pesawat yang dilengkapi SADL maupun pesawat yang dilengkapi datalink jenis lain yang tentunya dapat merubah arah jalannya peperangan di masa depan dan mengefektifkan fungsi K4IPP yang dapat mendorong TNI-AU mencapai cita-citanya sebagai The First Class Air Force. Dari pengalaman yang berharga akan pengoperasian datalink ini diharapkan kelak akan tercipta sebuah standar datalink nasional baru yang dikembangkan secara mandiri sehingga meminimalisir terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan selama masih mengandalkan teknologi dari pihak asing. Teknologi datalink yang telah dirintis PT. LEN melalui produk LENLink-nya diharapkan dapat menjadi permulaan dari standarisasi datalink antar matra di TNI sehingga TNI siap menghadapi peperangan generasi baru yang mengandalkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai penentu arah jalannya peperangan.
Hormat Kami,
Lembaga Kajian Pertahanan Untuk Kedaulatan NKRI “KERIS”
Referensi
- Stein, F., Fjellstedt, A. (2006). Command and Control Research and Technology Symposium (CCRTS). THE STATE OF THE ART AND THE STATE OF THE PRACTICE “Network-Centric Warfare in Operation Iraqi Freedom: The Western Theater”. Washington, DC: Mitre, Corp.
- Gartska, JJ. (2004). An Introduction to Network Centric Operations. Washington, DC: Office of Force Transformation
- Communication Systems. SADL/EPLRS Joint Combat ID Through Situation Awareness. California: Raytheon System, Co.
- Headquarters Air Force Doctrine Center. (2002, June). AFTTP(I) 3-2.18 Tactical Radios: Multiservice Communications Procedures for Tactical Radios in a Joint Environment. Virginia: Air Force HQ.
- Hansen, RS. (2002). THE EFFECTIVENESS OF THE A-10 ON THE BATTLEFIELD OF 2010. Kansas: Author.
[1] http://www.dsca.mil/PressReleases/36-b/2011/Indonesia_11-48.pdf
[2] Director, Force Transformation, Office of the Secretary of Defense, Department of Defense, The Implementation of Network-Centric Warfare, Washington, DC, January 2005, p. 7.
[3] http://articles.janes.com/articles/Janes-Electronic-Mission-Aircraft/ALR-2001-Odyssey-Australia.html
[4] https://lembagakeris.net/2012/02/helikopter-sebagai-bagian-yang-tidak-terpisahkan-dari-armada-kapal-perang/
Tulisan yang mantap.. “Integrasi komunikasi memang bukan penentu memenangkan perang, namun tanpa integrasi komunikasi maka perang akan sulit dimenangkan”
OOT : Akhirnya… Keluar juga tulisannya 😀 semoga setelah itu segera lulus… hehehe
Betul Mas, yang jelas ketika seluruh pasukan tergabung dalam satu network maka objektif yang ingin dicapai akan lebih mudah dieksekusi..
OOT: Amin..
apache ngak ada fitur sejenis ini ya?
Untuk Apache yang dimiliki sekarang adalah UTA yang menghubungkan Apache Block III dengan UAV/UCAV..
Selain itu mereka punya sistem sendiri yang dinamakan Blue Force Tracking, dengan backbone yang berbeda tetapi masih masuk ke dalam jaringan FBCB2-BCT US Army, sehingga mereka bisa mengetahui posisi satu sama lain namun hanya bisa mengirim tactical data message via network operator..
Ini Mas, tak kasih bahan bacaan http://www.is.northropgrumman.com/about/ngtr_journal/assets/TRJ-2005/FW/05FW_Bitar.pdf
bahkan dari beberapa cerita dari Iraq, pasukan darat lebih seneng manggil F-16 yang pake SADL daripada apache buat close air support, karena resiko friendly fire lebih sedikit
Datalink ini rentan terhadap penyadapan atau pengacak sinyal ga ya..? jika rentan, proteksi apa yang digunakan untuk mencegal kedua hal tersebut terjadi… terima kasih
Kalau menurut referensi yang saya dapat, khusus untuk SADL sudah diuji oleh NSA memiliki tingkat intersepsi yang rendah..
Namun namanya menggunakan gelombang elektromagnetik pasti selalu ada kemungkinan untuk di-DF..
Makanya pengembangan teknologi datalink gak pernah berhenti..
Ini yang harusnya jadi tantangan bagi Indonesia untuk membuat teknologi datalink sendiri..
F-16, Sukhoi dan mayoritas alutsista kita sudah menggunakan databus jenis MIL-STD1553B..
Seandainya MAU dan NIAT, cita-cita mengintegrasikan seluruh alutsista kita dalam sebuah battlefield network bukan hanya mimpi di siang bolong..
Berarti masalahnya ada di KEMAUAN dan KENIATAN ya om….
Saya tidak sependapat mengenai bagian artikel berikut :
“mampu mengidentifikasi (fingerprinting) radar secara individu, dalam detail yang lengkap hingga serial number radar (jika sudah ada di database)[3].”
Sementara di artikel ditulis sbb :
“radar operating parameters with sufficient precision to ‘fingerprint’ individual radars from others of the same type”
Kalau dari referensi dan pemahaman saya itu Radar hanya memancarkan informasi sebagai berikut yang dapat dimanfaatkan oleh ESM sebagai bahan identifikasi.
-Frekuensi
-Fase
-Pulsewidth
-Scanning Pattern (con-scan atau monopulse)
-PRF
-Jenis pemancaran (Pulsed atau CW)
-Moda Operasi
Untuk jenis pesawat yang sama mis Su-27 dengan N001.. itu tidak ada perbedaan dalam informasi diatas..jadi ya TS-2701 memancarkan informasi yang sama dengan TS-2702. Yang membedakan adalah alokasi frekuensi untuk mencegah interferensi elektromagnetik antar pesawat yang dapat terjadi seperti pada perang Vietnam pada F-4 (AWG-10/APG-59) dimana pada akhirnya sebelum terbang terpaksa teknisi F-4 melakukan tuning frekuensi secara manual dengan membongkar Radar set ..yang mengatasi masalah namun memperpendek umur radar hingga harus diganti tiap 2 minggu sekali.
Dan informasi diatas itu untuk ESM hanya bisa digunakan untuk membedakan apakah yang memancarkan sinyal itu APG-66 atau N001 atau sebatas membedakan platform (Pesawat, Kapal atau darat) dan moda operasi Radar (apakah TWS atau STT atau moda lain). Tidak bisa secara spesifik sampai mengetahui apakah yang menyalakan Radar itu TS-2701 atau TS-2702 .. apalagi sampai tahu nomer serinya.
Lebih lanjut dari sisi gramatikal .. kata “Type” di “to ‘fingerprint’ individual radars from others of the same type” itu terus terang saya lihat bersifat ambigu dimana Type ini tidak mengacu ke suatu “jenis” tertentu melainkan lebih ke “umum” dimana misalnya di suatu skuadron ada F-16 dan Su-27 yang menggunakan masing masing radar APG-66 dan N001 .. kedua jenis radar ini dapat digolongkan setipe yaitu AI (Airborne Intercept) Radar.
Demikian pendapat saya. Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.
Trimakasih sebelumnya Mas Dhimas atas komentarnya yang sangat spesifik dan detail.sama ternyata menghasilkan sebuah karakteristik yang distinctive sehingga dapat dibedakan antara satu sama lain.
Izinkan saya menjawab sanggahan Mas..
Kebetulan saya memasukkan tentang kemampuan ESM Australia sehubungan dengan adanya latihan Pitch Black tahun 2012 lalu, di mana ada pertanyaan dari skuadron apakah perlu menggunakan pendekatan khusus dalam penggunaan radar oleh flight Sukhoi kita di mana keberadaan Wedgetail menjadi sebuah “gangguan” yang sedikit “mengganjal”.
Pada saat itu saya mencoba mencari mission suite apa yang digunakan oleh armada Wedgetail RAAF, dan saya menemukan tentang artikel yang saya jadikan referensi di atas.
Karena spesifikasi detail dari sebuah sistem EW adalah rahasia perusahaan yang tidak mungkin dijawab oleh pabrikan apabila saya menanyakannya langsung secara naif, maka saya asumsikan bahwa yang ditulis oleh Jane’s di atas adalah sebuah kebenaran.
Dan berikut saya sertakan sebuah kajian tentang Specific Emitter Identification (SEI) yang menyimpulkan bahwa beberapa transmitter dari sistem radar yang notabene
Berikut link dari kajian tersebut http://researchspace.csir.co.za/dspace/bitstream/10204/4161/1/Conning_2010.pdf
Demikian kontra pendapat saya, dan terimakasih lagi atas perhatiannya terhadap kajian-kajian kami.
Hormat saya,
Mas Dhimas, saya ingin menyampaikan tanggapan atas komentar anda, saya ingin membagi dalam 2 hal yaitu tentang radar fighter (berdasarkan sedikit pengalaman saya hands on) dan tentang ESM seperti ALR-2001 Odyssey di P-3 Orion dan AWACS Australia.
Untuk radar fighter sendiri, memang secara roughly berdasarkan data spesifikasi satu dengan yang lainnya dalam satu type akan memiliki karakteristik yang sama. Namun harus kita ingat kembali, bahwa komponen elektronik memiliki karakteristik (output, noise, sensitivity, dll) yang tidak eksak pada satu nilai, tapi memiliki nilai toleransi yang harus dipenuhi agar komponen/alat tersebut dinyatakan lolos QC/ layak beroperasi setelah pemeliharaan. Di sinilah muncul karakteristik spesial antara satu radar dengan radar lainnya dalam satu tipe. Hal ini yang membuat seteliti apapun kalibrasi dan settingnya, sangat sulit membuat radar satu sama persis dengan lainnya (misalnya frequency dibawah standar tapi masih dalam range toleransi maka akan dianggap memenuhi daripada menaikkan frequency akan menambah noise sehingga melebihi nilai toleransi). Misalnya dari pengalaman saya N001 di sebuah sukhoi bisa memiliki noise dan frekuensi operasi yang unik (meskipun masih dalam range nilai yang sesuai manual dari pabrikan). Nilai nilai karakteristik ini telah diuji di pabrikan sebelum barang operasional dan dicatat dalam paspor komponen. Nah nilai nilai dalam paspor komponen ini yang akan menentukan kelayakan barang setelah dimaintenance, karena juga ada nilai maksimal perubahan antara nilai awal dan nilai akhirnya agar komponen dinyatakan tetap layak digunakan. Misalnya nilai frequency keluaran mid freq generatornya itu berapa Khz/Mhz, atau nilai freq sebelum masuk ke antena berapa nah nilainya kan tidak eksak sama satu dengan yang lain. Untuk testernya sendiri juga bisa menganalisa berdasarkan database karakter, dari situ bisa ditentukan apakah sudah memenuhi nilai toleransi yang sudah ditetapkan atau belum.
Fingerprinting (istilah ini digunakan oleh produsen ESMnya, dan RAAF sendiri dengan bangga personilnya juga memakai istilah ini) pun memanfaatkan karakteristik unik ini. ESM mereka diset sangat sensitif untuk mendeteksi perbedaan yang relatif kecil dibanding nilai karakter umum radar (to be exact seberapa sensitif tentu cukup sulit diketahui dengan mudah, tapi di artikel janes dikatakan between -70 and -85 dBm) sehingga bisa membedakan radar satu dengan yang lain berdasarkan sedikit perbedaan noise, frequency, atau average powernya. Tetapi tentu saja ini membutuhkan database, nah database ini didapat dari pengambilan sampel dari radar yang akan difingerprint, sehingga dalam latihan seperti Pitch Black, mematikan radar menjadi krusial agar karakteristik individual radar tidak terpetakan. Meskipun tentu saja kalau mau repot masih ada celah yaitu mengubah setting radar setelah operasi (misal diturunkan freqnya, dinaikkan noisenya) tapi tentu saja untuk wartime response akan sangat merepotkan karena bongkar pasang kompartemen N001 bisa memakan waktu 1 harian penuh.
Mungkin itu tanggapan dari saya, bila masih ada yang mengganjal silahkan disampaikan
untuk sedikit tentang ESMnya http://articles.janes.com/articles/Janes-Electronic-Mission-Aircraft/ALR-2001-Odyssey-Australia.html