Perang di Ukraina, Buah Pelajaran Untuk Indonesia

Gelar Alutsista HUT TNI Ke-76. Dokumentasi : Puspen TNI
Oleh: Hanif Rahadian
Presiden Rusia Vladimir Putin, menyerukan adanya ‘operasi militer’ ke wilayah Ukraina pada 24 Februari 2022. Mulainya agresi militer Rusia terhadap Ukraina disebut sebagai perang paling ‘berdarah’ di dataran Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II di tahun 1945. Rusia akhirnya masuk ke wilayah kedaulatan Ukraina, setelah sebelumnya mengumpulkan hingga kurang lebih 200.000 pasukan dan ratusan peralatan tempur di sepanjang perbatasan Ukraina, di Belarus dan wilayah Krimea yang sebelumnya sudah dianeksasi sejak tahun 2014.
Dunia dikejutkan dengan keseriusan Putin untuk tetap nekat melakukan agresi militer terhadap wilayah yang berada di bawah kendali Ukraina. Berdalih bahwa masuknya pasukan Rusia yaitu untuk membantu pasukan separatis Pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk dalam bertempur melawan pasukan Ukraina. Gerak maju pasukan Rusia tidak berhenti setelah berjalan hingga enam hari pertempuran dan terus bergerak untuk menuju Kiev, Ibu Kota Ukraina. Kecaman datang dari dunia internasional, yang beranggapan bahwa agresi militer Rusia terhadap wilayah kedaulatan Ukraina adalah bentuk pelanggaran hukum internasional, dan tidak dapat dibenarkan. Negara-negara besar di dunia baik Amerika Serikat beserta sekutunya dalam NATO, negara-negara Eropa yang tergabung di Uni Eropa, ataupun yang berada di belahan dunia lain seperti Singapura dan Timor Leste di Asia Tenggara, menyerukan penghentian agresi militer Rusia terhadap negara yang dipimpin oleh Volodymr Zelensky, selaku presiden Ukraina.
Indonesia perlu belajar beberapa hal dari apa yang terjadi di Ukraina saat ini, terutama untuk mengantisipasi potensi konflik yang bisa mengancam kedaulatan Indonesia di masa depan. Pertama, terjadinya konflik Rusia-Ukraina jelas membuktikan bahwa potensi perang konvensional saat ini masih relevan, hadirnya ancaman yang berasal dari negara lain adalah suatu bentuk ancaman nyata. Dunia tidak hanya menghadapi ancaman dari perang ekonomi, perang dagang, perang siber ataupun perang yang sifatnya asimetris, namun perang dengan menggunakan kekuatan militer menjadi salah satu hal yang paling mungkin terjadi, bahkan di era modern sekalipun seperti saat ini. Berkaca dari perang di Ukraina, Indonesia harus cermat melihat negara mana saja yang bisa menjadi faktor ancaman krusial bagi negara suatu saat. Mengatakan bahwa Indonesia tidak akan terlibat dalam konflik militer atau perang dalam jangka waktu tertentu karena akrabnya hubungan yang dijalin oleh Indonesia dengan negara-negara lain adalah sebuah ilusi semu yang berbahaya.
Kedua, Indonesia perlu meningkatkan anggaran militernya untuk dapat mendukung upaya modernisasi alat utama sistem senjata (Alutsista) yang dioperasikan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) baik di matra Laut, Darat dan Udara. Upaya modernisasi ini harus didesain dan dijalankan sesuai kebutuhan yang berdasar kepada faktor ancaman (Threat Based Planning). Pembentukan postur gelar pertahanan negara yang kredibel dan berkualitas, akan meningkatkan efektifitas TNI untuk menjalankan tugas dan fungsinya dalam melaksanakan Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Langkah modernisasi alutsista TNI harus menjadi perhatian penting bagi para stakeholders terkait, sehubungan daripada peran penting dari sebuah alutsista, maka selayaknya pemerintah mengutamakan pembelian barang-barang yang memang memiliki kualitas baik, canggih dan sesuai spesifikasi, bukan underspec. Upaya pemenuhan Kebutuhan Pokok Minimum (TNI) sampai saat ini masih banyak mengalami kendala serta belum mencapai hasil maksimal, sehingga berakibat kepada semakin lamanya proses peremajaan tersebut dapat teralisasi, maka penting untuk Indonesia mengejar ketertinggalan dari pemenuhan kebutuhan pokok minimum.
Modernisasi dan pengeluaran anggaran militer yang lebih banyak akhirnya menjadi penting dan krusial, sebab kita tidak bisa menjamin bahwa kedaulatan kita akan seterusnya aman dari agresi militer negara lain, apa yang terjadi di Ukraina dan Rusia saat ini adalah Wake Up Alarm bagi Indonesia. Sebagai contoh, Jerman menjadi negara yang kemudian meningkatkan anggaran militer nya hingga lebih dari 2% Produk Domestik Bruto (PDB) setelah Rusia melakukan Invasi militer ke Ukraina. Jerman tegas menyatakan akan berfokus pada peningkatan kualitas persenjataannya saat ini, meskipun bergabung dengan NATO. Pelajarannya adalah bahwa sebuah negara yang tergabung dalam aliansi militer saja masih berusaha meningkatkan anggaran belanja militer nya dan fokus terhadap pemenuhan kualitas angkatan bersenjatanya. Lantas bagaimana dengan Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas, masih berupaya mencapai postur kekuatan pokok minimum serta tidak tergabung dengan pakta pertahanan ataupun aliansi manapun.
Menurut data dari Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Military Expenditure Indonesia pada tahun 2020 hanya menyapai 0,9% dari PDB, sementara untuk negara sekecil Singapura, anggaran pertahanannya mencapai 3,2% dari PDB. Indonesia menjadi negara dengan anggaran pertahanan terrendah di Asia Tenggara, yang sampai saat ini belum pernah mencapai bahkan 1% dari PDB, ini akhirnya menjadi sebuah tantangan yang harus bisa dihadapi oleh Indonesia. Peningkatan anggaran pertahanan mencapai 1% PDB atau bahkan lebih dari 3% PDB akhirnya menjadi perlu untuk diusahakan, terlebih Indonesia saat ini “sendirian”. Otomatis, Investasi pertahanannya pun juga akan memakan biaya lebih banyak.
Ketiga, Lebih aktif mempererat kerjasama strategis di bidang pertahanan keamanan dengan negara-negara yang ada di kawasan Indo-Pasifik. Penting untuk dicatat bahwa Indonesia merupakan negara Non-Blok yang tidak tergabung dalam aliansi pertahanan manapun, maka dari itu diperlukan adanya insiatif untuk mengundang negara-negara baik yang tergabung di ASEAN ataupun di luar ASEAN, untuk ebih memiliki rasa tanggung jawab atas keamanan regional, mengingat Indonesia dan negara-negara di Indo-Pasifik saat ini memiliki potensi ancaman nyata dari hadirnya kekuatan China di kawasan. Tindakan China yang seringkali meresahkan dan berbahaya, hanya dapat dibendung dengan adanya kerjasama pertahanan secara kolektif, tidak bisa bergerak secara sendiri-sendiri. Permasalahannya, banyak negara-negara di kawasan saat ini lebih bergantung dengan China dalam segi ekonomi, maka hal ini akan membutuhkan komitmen dan langkah yang lebih kongkrit.
Keempat, Indonesia harus lebih tegas dalam menentukan sikapnya di dunia internasional sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Respon Indonesia terhadap serangan Rusia di Ukraina saat ini tidak selaras dengan salah satu bunyi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia bahkan tidak secara gamblang mengecam tindakan Rusia sebagai negara yang melakukan Invasi dan tidak menandatangani draf resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyerukan pemberhentian agresi militer oleh Rusia terhadap Ukraina, di ASEAN hanya Singapura yang mendukung draf tersebut. Sebagai sebuah kekuatan regional dan salah satu pendiri ASEAN, Indonesia semestinya menjadi negara yang lebih dapat merespon lebih keras terhadap tindakan perang yang sangat tidak berpihak kepada perikemanusiaan dan perikeadilan serta sekali lagi, tidak selaras dengan pembukaan UUD 1945. Indonesia dan ASEAN tidak bisa selamanya mengedepankan netralitas, saat penjajahan di atas dunia saat ini sangat terlihat jelas.
Kejadian yang menimpa Ukraina saat ini memang sangat disayangkan, namun dari apa yang terjadi di Ukraina memberikan banyak pelajaran yang bisa diambil oleh Indonesia, terlebih dalam usahanya untuk membangun dan mempersiapkan postur pertahanan negara. Akhirnya, Indonesia harus membuka mata dan melihat sebuah realita dunia saat ini yang mengatakan bahwa jika memang ingin damai, maka bersiaplah untuk perang.