Pembentukan Batalyon Infanteri Mekanis dan Komitmen Mewujudkan Kemandirian Industri Pertahanan
I. Sekilas tentang Infanteri Mekanis
Infanteri mekanis adalah infanteri yang dilengkapi dengan Armoured Personnel Carrier (APC) maupun Infantry Fighting Vehicle (IFV) untuk pengangkutan/mobilitas maupun keperluan pertempuran. Infanteri mekanis berbeda dengan infanteri motoris dimana kendaraan tempur (ranpur) yang digunakan dilengkapi proteksi dari tembakan musuh, yang tentunya berbeda dengan soft-skinned vehicle yang digunakan infanteri motoris yang biasanya berupa jip atau truk. Kendaraan tempur berupa APC maupun IFV yang digunakan, bisa fully-tracked maupun all-wheel drive (6×6 atau 8×8). Beberapa negara melakukan klasifikasi pembedaan antara infanteri mekanis dengan infanteri lapis baja berdasarkan kendaraan tempur yang digunakan, dimana infanteri mekanis menggunakan APC, sedangkan infanteri lapis baja menggunakan IFV. Dilihat dari sejarahnya, konsep infanteri mekanis sudah dimulai sejak dekade 1930-an ketika Jerman menggunakan SdKfz 251 half-track APC untuk unit infanteri mereka. Kemudian juga di dalam Perang Dunia ke-2 dimana US Army menggunakan M3 half-track untuk mobilitas unit infanteri mereka di dalam menghadapi tentara Jerman. Tidak ketinggalan pula British Army menggunakan Bren Carrier dan Canadian Army menggunakan Kangaroo APC. Pada masa sekarang, sudah banyak negara-negara di dunia yang menerapkan konsep infanteri mekanis dalam unit-unit infanteri mereka. Demikian halnya Negara Indonesia, sudah mulai menerapkan konsep infanteri mekanis.
II. Infantri Mekanis di lingkungan TNI-AD
Untuk menjawab ancaman yang dilatarbelakangi perkembangan lingkungan strategis global yang makin dinamis dan beragam, TNI-AD di dalam renstra awalnya berencana membentuk 10 batalyon infanteri mekanis. Adapun struktur kekuatan batalyon infanteri mekanis TNI-AD ini direncanakan terdiri dari 500-an lebih personel dan 50-an lebih unit ranpur sekelas Anoa 6×6 dengan berbagai versi (APC, scout, anti-tank, fire support, dll) dengan asumsi 1 unit Anoa mampu mengangkut 10 personel (di luar operator). Untuk pelaksanaan renstra, TNI-AD merencanakan pembentukan tiga Batalyon Infanteri Mekanis di tiga komando daerah militer (kodam). Pembentukan tiga batalyon infanteri mekanis di tingkat kewilayahan ini juga disesuaikan dengan tuntutan kekuatan pokok minimum/minimum essential force (MEF) TNI-AD.
Pada awalnya, pada sekitar tahun 2010 yang lalu, tiga kodam yang dicanangkan akan dibentuk Batalyon Infanteri Mekanis yaitu Kodam Jaya, Kodam XVII/Cenderawasih dan Kodam VI/ Tanjungpura. Namun untuk realisasinya, terjadi perubahan. Hingga saat ini TNI AD baru memiliki 3 batalyon infanteri Mekanis yang berada di bawah Brigade Infanteri-1 PIK/Jayasakti, Kodam Jaya. Ketiga Batalyon Infanteri Mekanis itu adalah: Batalyon Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Batalyon Infanteri Mekanis 202/Tajimalela serta Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kamuning. Batalyon Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha diresmikan pada tanggal 16 Februari 2010 dan bermarkas di Jl. Raya Bogor Km 26 Gandaria Jakarta Timur. Batalyon ini dilengkapi dengan kendaraan tempur berupa panser ANOA APC. Satuan ini berada di bawah jajaran Satuan Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibu Kota/Jaya Sakti Kodam Jaya. Selanjutnya, pada bulan Juni Tahun 2011, dibentuk lagi Batalyon Infanteri Mekanis 202/Tajimalela yang bermarkas di Rawalumbu Bekasi. Sebagai pendukung tupoksi, batalyon ini telah dilangkapi dengan panser ANOA 6×6 sejumlah 45 unit. Kemudian pada Tahun 2012 dibentuk satu lagi batalyon infanteri mekanis, yaitu Batalyon Infanteri Mekanis 203/ Arya Kamuning yang dibentuk di bawah Brigade Infanteri 1 Pengamanan Ibukota/Jaya Sakti.
Seiring dengan upaya percepatan pemenuhan MEF yang ditunjang dengan kedatangan alutsista-alutsista baru seperti Leopard dan Marder IFV, TNI-AD berupaya meningkatkan Batalyon Infanteri (Yonif) 413 Bremoro Solo menjadi Batalyon Infanteri Mekanis dengan kelengkapan kendaraan lapis baja. Kendaraan lapis baja yang digunakan untuk melengkapi Batalyon Infanteri Mekanis 413 Bremoro Solo adalah Marder IFV dimana tahap awal akan ada 13 unit Marder mengisi batalyon ini.
III. Permasalahan yang muncul di dalam pembentukan Batalyon Infanteri Mekanis
Upaya pembentukan batalyon infanteri di Indonesia bukanlah tanpa masalah. Menurut pendapat pribadi penulis, beberapa permasalahan tersebut di antaranya:
3.1 Kemampuan lini produksi vs kontinuitas pesanan ranpur
Pemenuhan target MEF untuk mendukung pembentukan batalyon infanteri mekanis kurang didukung oleh jaminan kontinuitas pesanan ranpur oleh Kementerian Pertahanan. Padahal, PT Pindad sendiri kemampuan lini produksinya sudah mampu memproduksi 80 unit Anoa per tahun, sudah cukup bagus sebenarnya. Sebagai informasi, pada Tahun 2008, sebanyak 150 unit Anoa 6×6 APC dipesan langsung oleh Wapres Jusuf Kalla saat itu untuk memenuhi kebutuhan TNI-AD. Jumlah total dana yang dikucurkan pemerintah saat itu untuk membeli 150 unit Anoa 6×6 melebihi Rp 1 trilliun sehingga operasional produksi Anoa 6×6 waktu itu pun berjalan lancar. Namun pada Tahun 2011 yang dipesan hanya 11 unit Anoa 6×6, Tahun 2012 61 unit Anoa 6×6, serta pada Tahun 2013 PT Pindad mendapatkan pesanan 82 unit Anoa 6×6. Walau jika dijumlahkan, total produksi ranpur Anoa 6×6 mencapai 304 unit, namun kita bisa melihat adanya ketidakkontinuitas pemesanan oleh Kementerian Pertahanan. Hal ini disebabkan alokasi anggaran untuk pemesanan ranpur Anoa 6×6 tersebut tidak tetap setiap tahun. Akibatnya jika dirata-rata mulai Tahun 2008 hingga Tahun 2014, produksi Anoa 6×6 rata-rata 50-an unit/tahun, masih di bawah angka kemampuan lini produksi PT. Pindad. Selanjutnya, jika mengacu pada renstra awal akan dibentuk 10 yonif mekanis maka akan dibutuhkan lebih dari 500 unit Anoa 6×6. Kemudian kita perlu mengetahui berapa lama batasan waktu agar kesepuluh yonif mekanis tersebut terbentuk. Dari dua hal tersebut, akan dapat diketahui berapa kebutuhan produksi ranpur Anoa 6×6 dengan asumsi bila semua yonif mekanis menggunakan ranpur Anoa 6×6 (seperti diberitakan bahwa Batalyon Infanteri Mekanis 413 Bremoro Solo akan menggunakan Marder sebagai ranpurnya).
Jika ketidakkontinuitas pemesanan ranpur produksi dalam negeri masih terus terjadi, tidak menutup kemungkinan akan memancing pengadaan ranpur dari luar negeri, untuk mengejar target pembentukan yonif mekanis. Hal yang perlu diwaspadai adalah pengadaan ranpur yang tidak sesuai keinginan pengguna/user, entah itu karena pembelian ataupun hibah yang justru akan merugikan bangsa kita sendiri.
3.2 Logistic nightmare akibat ranpur yang beragam jenis
Pengadaan ranpur dari luar negeri untuk memenuhi target MEF ibarat dua sisi mata uang, bisa berdampak positif maupun negatif. Khususnya di dalam upaya pembentukan batalyon mekanis sesuai renstra awal. Pengadaan ranpur, semisal APC maupun IFV membawa dampak positif karena dari segi kuantitas akan memudahkan percepatan pembentukan yonif-yonif mekanis yang diperlukan sesuai renstra. Bila yonif-yonif mekanis yang dibutuhkan cepat terbentuk, maka konsekuensi yang lain akan cepat mengikuti, seperti pengembangan strategi dan taktik tempur baru, familiarisasi para komandan dan operator terhadap unit alutsista yang digunakan, pelatihan komprehensif dalam rangka konversi unit infanteri konvensional menjadi unit infanteri mekanis, modifikasi dan transformasi alur logistik, dan lain sebagainya.
Dari sisi teknologi, pengadaan ranpur dari luar negeri juga membawa upaya alih teknologi atas bagian-bagian yang industri pertahanan dalam negeri kita belum mampu membuatnya sendiri, tentunya bila ada kemauan dan komitmen dari pemerintah. Entah itu teknologi track-nya, alat komunikasi yang digunakan, kendali senjatanya (rcws) dan lain sebagainya. Sedangkan dampak negatif pengadaan ranpur dari luar negeri dapat kita temukan jika alutsista yang dibeli beragam jenis dan sudah obsolete technology. Penulis pribadi sempat merasa khawatir ketika dalam Parade HUT TNI ke-69, 7 Oktober 2014 yang lalu sempat muncul gambar APC jenis M113A1 ikut serta dalam parade. Rumor yang beredar, ranpur ini merupakan paket hibah disebabkan retrofit AMX-13 yang kita lakukan melalui pihak Sabiex International SA Belgia. Ranpur M113A1 APC adalah turunan dari varian sebelumnya yaitu M113 APC dengan upgrade berupa penggantian mesin berbahan bakar bensin menjadi mesin diesel bertenaga 212 HP dan power train system yang baru. Tidak ada keistimewaan yang berarti mengingat ranpur ini merupakan produk tahun 1960-an. Jika melihat periode tahun pembuatan tentu sudah termasuk obsolete, apalagi sama-sama berjenis angkut personel (APC). Industri dalam negeri sendiri telah mampu membuat dan memproduksi Anoa 6×6 sebagai angkut personel (APC).
Penulis pribadi tentu tidak sepakat dengan kedatangan ranpur ini, dikarenakan akan membuat varian kita beragam untuk jenis ranpur yang sama, sudah ada Anoa 6×6 malah kedatangan M113A1, sama-sama angkut personel (APC). Hal ini belum termasuk rencana pengembangan ACV-300 Adnan antara PT. Pindad dengan FNSS Turki. Semakin banyak ragam alutsista yang kita punya untuk satu jenis ranpur, hal tersebut akan menimbulkan logistic nightmare di dalam proses perawatan, semisal semakin beragam spare part yang diperlukan. Hal itu belum termasuk biaya pelatihan SDM di bidang perawatan.
3.3 Potensi pelanggaran terhadap UU Industri Pertahanan dan mencederai semangat kemandirian
Walaupun kedatangan ranpur M113A1 disinyalir merupakan barang hibah, kita jangan gembira dulu. Yang perlu kita ingat adalah there is no such thing like a free lunch, tidak ada makan siang yang gratis. Negara tetap mengeluarkan biaya untuk pengiriman/transport ranpur dari negara asal ke negara kita. Berikutnya negara tetap perlu mengeluarkan biaya untuk perawatan termasuk juga ketersediaan spare part dan pelatihan bagi SDM-nya di bidang perawatan. Jika ditinjau secara hukum, hibah Ranpur M113A1 APC ini tentunya melanggar UU Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Lebih jelasnya dalam Bagian Ketujuh, Pengadaan, Pemeliharaan dan Perbaikan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Pasal 43 ayat (1), ayat (3) dan ayat (5).
Dalam Pasal 43 ayat (1) dijelaskan bahwa Pengguna/user diwajibkan menggunakan alutsista produksi dalam negeri. Sebenarnya Pengguna/user diperbolehkan melakukan pengadaan alutsista dari luar negeri dengan syarat alutsista tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri. Hal tersebut tertuang di dalam Pasal 43 ayat (3). Inipun Pengguna harus berkoordinasi dengan Industri Pertahanan kemudian mengusulkannya kepada Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dan proses pengadaan alutsista tersebut harus langsung antar pemerintah (G to G) atau kepada pabrikan.
Salah satu alasan Industri Pertahanan harus dilibatkan di dalam proses pengadaan alutsista dari luar negeri seperti yang dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) selanjutnya dijabarkan di dalam Pasal 43 ayat (5), yaitu adanya prasyarat imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85%. Selain itu, pengadaan alutsista dari luar negeri disyaratkan kewajiban alih teknologi serta jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan alutsista tersebut dalam upaya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.Hibah ranpur M113A1 APC ini berpotensi melanggar UU Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan disebabkan untuk kendaraan jenis APC Industri Pertahanan dalam negeri sudah mampu memproduksi. Memang untuk mobilitas ranpur, antara M113A1 dengan Anoa 6×6 berbeda, yang satu menggunakan track, yang lainnya menggunakan roda. Namun perbedaan ini tidaklah terlalu urgent mengingat kedua tipe kendaraan tersebut hanya berfungsi untuk angkut personel. Hal ini tentu berbeda kasusnya dengan pengadaan Marder 1A3 IFV dimana memang Industri Pertahanan dalam negeri kita belum mampu membuatnya dan fungsi IFV yang tentunya lebih advance dibandingkan dengan APC.
IV. Kesimpulan dan Saran
Dari pembahasan di atas, dapat kita temukan berbagai permasalahan yang muncul secara berurutan di dalam proses pembentukan batalyon infanteri mekanis di lingkungan TNI-AD, terutama masalah kontinuitas pemesanan unit ranpur yang dibutuhkan. Kemudian berlanjut kepada masalah pengadaan, masalah logistik hingga dampaknya terhadap komitmen kemandirian Industri Pertahanan. Melihat permasalahan yang cukup rumit ini, maka penulis pribadi menyarankan agar pihak-pihak terkait, entah penggunanya, pemerintah selaku pengambil kebijakan, pelaku Industri Pertahanan maupun KKIP selaku fasilitator, melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
- Kontinuitas pesanan ranpur yang dibutuhkan kepada Industri Pertahanan dalam negeri tersebut sehingga Industri Pertahanan dalam negeri tersebut senantiasa mendapat kucuran dana segar agar senantiasa terus berkembang
- Konsistensi pelibatan Industri Pertahanan dalam negeri dalam pengadaan alutsista dari luar negeri sebagai prasyarat imbal dagang dan ofset
- Kontrol yang ketat terhadap pengadaan alutsista dari luar negeri yang berpotensi merugikan negara dan melanggar undang-undang serta mencederai komitmen kemandirian pertahanan
- Membangun infrastruktur baru sebagai upaya kemandirian produksi konten-konten lokal semisal suku cadang yang mendukung percepatan produksi alutsista dalam negeri
Referensi:
- http://en.wikipedia.org/wiki/Mechanized_infantry
- http://www.antaranews.com/berita/174168/tni-ad-bentuk-tiga-batalyon-infanteri-mekanis
- http://jakartagreater.com/batalyon-infanteri-mekanis-tni-ad/
- http://www.pikiran-rakyat.com/node/275668?utm_medium=twitter&utm_source=twitterfeed
- http://www.angkasa.co.id/index.php/notam/notice-to-airmen/422-produski-panser-anoa-digeber
- http://jakartagreater.com/ifv-marder-untuk-yonif-413bremoro/
- http://jakartagreater.com/artikel-satuan-infanteri-mekanis-tni-ad/
- http://arc.web.id/galeri/658-galeri-suasana-latihan-ulang-tahun-tni-hari-ke-2.html
- http://fas.org/man/dod-101/sys/land/m113.htm
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
Pertanyaan utama saya adalah, bagaimana peran M113 nanti? Apakah akan bertumpu pada Jenis ini?
semoga saja tidak Prim, saya pribadi lebih condong kepada Anoa 6×6 APC bersanding dengan Marder IFV untuk yonif mekanis.
M113 akan dipakai sebagai taxi bagi infrantri, kalau bertumpu atau tidak tentu saja tergantung kebijakan pemerintah yang baru
yup betul sekali mas, tergantung kebijakan pemerintahan yang baru ini. Namun saya pribadi berharap untuk tidak dilakukan pemerintahan yang baru, sebab untuk kelas APC kan kita sudah mampu membuat Anoa 6×6, walau beroda namun saya pribadi berpendapat tidak terlalu urgent mendatangkan M113