Pembangunan Kekuatan Pertahanan Indonesia, Benarkah Kita Mengarah ke Invasif?
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita mengenai pembelian alutsista, pengembangan organisasi TNI, industri pertahanan dan hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan militer Indonesia. Beragam tanggapan muncul, mulai yang mendukung, mempertanyakan, sampai paranoid mendengar berita seperti ini. Untuk yang mendukung, tentu saja sealiran dengan saya, hehehe. Untuk yang mempertanyakan tentu saja pasti ada alasan-alasan seperti : mending buat beli beras, mending buat bikin sekolah, rakyat lapar kok beli senjata. Itu merupakan perdebatan Klasik yang dimuat dalam teori Gun and Butter, dimana ada perdebatan, memberi makan rakyat atau beli senjata, kalau bisa kedua-duanya kenapa harus pilih salah satu , so not Gun or Butter but Gun and Butter.
Selama beberapa tahun terakhir, anggaran pertahanan Indonesia terus meningkat, sekarang sudah mencapai 0,9% dari GDP dan untuk alokasi Kredit Ekspor Kementrian Pertahanan menempati urutan kedua setelah Kementrian PU. Tentu saja ini menimbulkan beragam reaksi, baik dalam maupun luar negeri. Untuk di dalam negeri tentu saja beragam sesuai dengan dinamika politik, untuk reaksi di luar negeri lebih menarik lagi, dimana ada yang merasa paranoid dengan perkembangan pertahanan Indonesia. Saya ingin menganalisis mengenai perkembangan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia dari dua sisi, yang pertama dari sisi strategi pembangunan dan yang kedua dari sisi perlukah paranoid dengan perkembangan pertahanan Indonesia?
Dari strategi pembangunan cukup unik menyimak dinamika kenaikan anggaran pertahanan, baik di APBN maupun dari Kredit Ekspor. Seperti kita ketahui, anggaran pertahanan dalam APBN bukanlah murni untuk pembangunan alutsista, tapi juga termasuk belanja rutin seperti gaji pegawai, tunjangan, dan kebutuhan rutin seperti administrasi, kesehatan dsb. Anggaran pertahanan kita memang naik dari tahun ke tahun, tapi harus disadari pula Gaji personel juga naik tiap tahun, kenaikannya bisa mencapai 10-15%, belum lagi dengan adanya remunerasi (tunjangan kinerja) jadi kenaikan anggaran tidak berbanding lurus dengan kesiapan dan pengadaan alutsista. Sehingga sangatlah naif kalau kita bertanya : Kenapa tingkat kesiapan masih segitu-gitu saja, padahal anggaran sudah naik? Dari sisi organisasi, harus diingat pula, TNI telah memperpanjang usia pensiun personelnya, ini tentu saja berefek pada anggaran. Hal yang menarik pula dicermati adalah berkaca pada apa yang dilakukan Amerika untuk menyelamatkan riset dan pengadaan alutsistanya mereka merampingkan organisasinya untuk memotong anggaran, salah satu korbannya adalah US Joint Forces Command. Jadi di Amerika mereka merampingkan organisasi agar regenerasi alutsista tetap lancar. Uniknya di negara yang anggarannya masih jauh kurang dari kekuatan minimal, malah banyak organisasi baru bermunculan, kiranya perlu ditinjau keefektifan organisasi-organisasi baru tersebut. Apalagi mengingat pola pembelian kita yang cukup unik dimana kita cenderung mengutamakan platform (studi kasus Korvet SIGMA, Sukhoi jaman mega) dimana pada umumnya pengadaan senjata selalu berupa platform, senjata, beserta spare part dan alat pendukungnya. Pola seperti ini akan memakan waktu lama, karena yang seharusnya dalam satu proses (kajian, usulan kebutuhan, tender, dan realisasi) harus berlangsung 2 kali untuk platform sendiri dan senjata sendiri, walaupun pada akhirnya senjata yang dibeli akan sama dengan senjata yang seharusnya dibeli sekalian dengan platformnya. Untuk spare part sendiri juga akan sangat berefek ke kesiapan apabila kita tidak membeli stok spare part yang cukup. Apalagi jika kita mau membeli spare part ke negara yang punya kebijakan satu pintu untuk industri pertahanannya. Jadi kedepannya diharapkan adanya pertimbangan jangka panjang dalam pengadaan, sebisa mungkin diseimbangkan antara platform, senjata, dan dukungannya (spare part dan alat pendukung) sehingga operasional alutnya akan lancar.
Untuk keparanoidan negara lain, tentu saja memiliki faktor historis dimana Indonesia pernah menjadi kekuatan terbesar di belahan bumi selatan, Kita sebagai generasi muda hendaknya mengingat hal tersebut tetapi jangan sampai terjebak pada euforia tersebut. Kita tidak bisa pergi perang dengan hanya mengandalkan kejayaan masa lalu. Hendaknya proses transformasi dari kekuatan terbesar menjadi kekuatan biasa (dari sisi militer) menjadi pelajaran berharga. Kalau menilik proses yang sedang kita lakukan sekarang adalah ibaratnya mencapai kapabilitas yang seharusnya kita capai dengan struktur organisasi sekarang. Katakanlah kita menambal jaring yang rusak, belum sampai pada tahap menambah luas jaring. Saya contohkan pada pembelian T-50, kita akan mengganti Hawk Mk-53 dengan T-50, jadi kita ingin mempunyai kapabilitas skadron 15 secara utuh, dengan menilik kenyataan jumlah Hawk Mk-53 kita tidak mencapai standar 1 skuadron. Begitu pula dengan pengadaan Tucano, dimana yang digantikan sudah tidak operasional, dan Sukhoi dimana kita menggenapi supaya jumlahnya standar 1 skuadron. Jadi kekuatan kita belum bisa dikatakan meningkat signifikan jika patokannya adalah organisasi TNI, kita baru AKAN mencapai level yang SEHARUSNYA kita capai jika pembangunan kekuatan kita tidak terganggu. Reformasi dan pasca reformasi cukup memberikan pukulan bagi kekuatan pertahanan kita, dan mengakibatkan peremajaan alutsista menumpuk di tahun-tahun ini, kita ambil contoh Kapal Selam dan PKR dalam negeri, itu seharusnya tercapai dalam renstra TNI AL 2004-2009, tetapi karena proses berbelit dan sarat politis akhirnya tergeser dan direvisi ke renstra TNI AL 2009-2014. Negara kita terbentang luas, kekayaan alamnya selain memberikan anugrah juga memberikan beban bagi TNI dan rakyat dalam menjaganya. Bukankah lazim orang ingin menjaga halaman rumahnya dari pencuri? Maka dari itu sangatlah aneh jika ada negara yang mencap kita ingin menjadi kekuatan ofensif/invasif. Keadaan alam kitalah yang memaksa kita memiliki LPD, LST, dan banyak kapal angkut. Pergeseran pasukan dari pulau Jawa ke Sumatra saja setara dengan pelayaran lintas eropa. Apalagi kondisi alam Indonesia yang banyak daerah rawan bencana, tentu saja kekuatan lintas laut sangat berperan pada misi OMSP (Operasi Militer Selain Perang)/HADR (Humanitarian Aid and Disaster Relief).
Salah satu hal yang perlu diwaspadai adalah bargaining point kita dalam mencari alutsista dari negara sahabat. Kita harus berusaha keras agar setiap pernyataan yang bertujuan untuk menaikkan bargaining power kita benar-benar sepadan dengan alutsista yang didapat. Karena bila kita tidak berhati-hati, reaksi negara lain terhadap pernyataan kita bisa membuat mereka memperkuat kekuatan militer mereka dan kalau kita tidak mendapat alut yang sepadan, maka makin tertinggallah kekuatan pertahanan kita. Jadi jangan sampai kita aman karena kebohongan, karena kebohongan tersebut suatu saat bisa menodong balik ke kita.
Salam Persahabatan
Saya penasaran mengenai pembelian alutsista RI sekarang ini khususnya mengenai kapal selam. Berdasarkan berita yang saya baca di blog internet. Benarkah Indonesia telah membeli kapal selam kelas kilo. sumber berita di http://indonesiandefense.blogspot.com/2011/12/mengejutakan-indonesia-telah-membeli.html
Terima Kasih
Jim romansa
Salam persahabatan juga mas, jika berpatokan pada rilis resmi dan data Pinjaman Luar Negeri Pemerintah silahkan akses di (www.dmo.or.id) maka dapat anda telusuri bahwa memang ada MoU penggunaan Kredit Ekspor Russia untuk pembelian 2 kilo class, namun sayangnya pembiayannya belum tercantum di register Pinjaman Luar Negeri Pemerintah. Untuk diketahui dalam pengadaan alutsista ada dua faktor utama yaitu Kontrak Teknis Pengadaan dan Letter of credit untuk pembiayaan. Karena tanpa adanya Letter of credit, produsen alutsista berarti tidak mendapatkan pembayaran uang muka, tidak akan ada perusahaan yang mau memproduksi suatu barang tanpa kejelasan mekanisme pembelian. Demikian penjelasan menurut saya terhadap isu ini, kecuali ada mekanisme pembiayaan diluar Pinjaman Luar Negri yang digunakan untuk pembayaran Kilo class ini, adapun sepengetahuan saya pinjaman luar negeri (kredit ekspor maupun kredit komerrsial) selalu digunakan dalam pembiayaan alutsista yang dibeli dari luar negeri, bahkan dari PT DI
Salam
Kalo dari judulnya, menurut saya, pertahanan Indonesia akan jauh lebih ideal jika mnegikuti trend pertahanan multipolar, dimana munculnya pakta pakta pertahanan di dunia saat ini….tentunya dengan tetap terus membangun kekuatan agar menjadi lebih sempurna…
ya mas…dipikir-pikir bebas aktif ini ya setengah setengah mas, kalau ada konflik gak ada yang mbelain
koq aku mikire yo ngono yo mas, saiki indonesia ki serba salah karena terjebak dgn image non blog.. maju kena, mundur kena… jaman pak karno dulu walau non-blog tp qta masih megang kartu truf… msh ada alians yang terselubung yaitu rusia dan china… sekarang jika kita dihadapkan pada suatu masalah misal dengan FPDA, kira2 siapa yang siap mendukung kita secara tidak langsung…? Sekarang apa hak jual yang kita miliki sekarang…? Indonesia menurut saya seperti gadis cantik yg diincer oleh banyak pemuda… tapi sayang, dia terlalu gamang menentukan pemuda pilihannya.
Cm aturan dari Tuhan yg gak bisa dimodifikasi….kita jg gk boleh menyalahkan siapa pun…tetapi kita aja yg merubah diri kita, siapa tau ada yg mendengar dan melihat….namanya juga usaha…kalo mau maju kita harus mau berubah, dalam membuat perubahan itu banyak sekali rintangannya….jadi akan lebih bijak jika berbicara pada saat kta mampu utk berbicara…sekarang waktunya utk mengisi diri aja….be the right man on the right place….
Sorry bahasa campuran, bukan gak cinta bahasa, tapi buat menjaga kemampuan berbahasa saja….sapa tau berguna lagi dikemudian hari….:)
yup.. setuju om…
Setuju mas…
Cuman kadang di berbagai kasus merubah diri sendiri itu lebih susah daripada mempengaruhi sekelompok orang. sehingga muncul istilah jawa “JARKONI” Ngajar tapi ora ngelakoni : bisa mengajarkan tapi tidak melaksanakan. Mungkin fitrah manusia ya mas…
hehe…betul yah…akan tetapi kalo fokus utk merubah diri saja kita lakukan tanpa mempenngaruhi orang shg tugasnya cm fokus satu saja mungkin sedikit lebih ringan…dan jika masing2 melaksanakannya maka gk perlu lagi ada istilah mempengaruhi…