Nasib Pengadaan SU-35 di Indonesia, Proceed atau Abort?

Sukhoi SU-35 Russia Credits : Marina Lystseva/TASS
Oleh: Hanif Rahadian
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia saat ini sedang disibukkan dengan rencana pembelian sejumlah pesawat tempur jenis baru sebagai pengganti dari armada F-5 E/F Tiger II milik TNI-AU yang sudah dipensiunkan sejak tahun 2015. Sejumlah opsi pesawat tempur dari berbagai macam negara kemudian menarik perhatian Kementerian Pertahanan, seperti SU-35 “Flanker-E” dari Russia, Dassault “Rafale” dari Prancis hingga F-15EX “Eagle II'” buatan Amerika Serikat.
Indonesia sejak awal sudah memiliki minat untuk “meminang” SU-35 “Flanker-E” dari Kremlin sebagai pesawat pengganti dari armada F-5 Tiger II yang sudah memasuki purna tugas, bahkan kontrak pembelian untuk 11 unit pesawat, sudah ditandatangani pada tahun 2018 dengan nilai kontrak mencapai $1,14 Miliar. Permasalahannya, ancaman sanksi yang diberikan oleh negeri “Paman Sam” bagi negara yang membeli persenjataan dari Russia melalui skema Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) memberatkan proses kelanjutan dari kontrak pembelian pesawat tersebut. Bentuk sanksi yang dapat menjerat negara-negara yang membeli alutsista dari Russia antara lain adalah larangan transaksi finansial, penghentian bantuan keuangan hingga pencekalan visa bagi individu.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mengkonfirmasi kepada wartawan pada Rabu (22/12/21), bahwa pilihan pesawat baru yang akan memperkuat armada TNI-AU akhirnya mengkerucut di antara dua pilihan, yaitu Dassault Rafale dan F-15EX “Eagle II“. KSAU bahkan mengatakan bahwa ‘dengan berat hati’ rencana pembelian SU-35 harus ‘ditinggalkan’. KSAU menambahkan bahwa pihak dari Boeing sebelumnya sudah pernah menemuinya untuk membahas rencana pembelian F-15EX. Konfirmasi dari orang nomor satu di tubuh TNI-AU ini membuat publik berspekulasi bahwa CAATSA menjadi satu faktor yang memberatkan langkah Indonesia untuk dapat meneruskan rencana pembelian “Flanker-E” dari Russia.
Dalam kesempatan berbeda, Duta Besar Russia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam sebuah sesi wawancara kepada wartawan pada Senin (27/12/21) di Jakarta, menyatakan bahwa perihal kontrak dari pembelian pesawat Sukhoi (SU-35 “Flanker-E”) yang ditandatangani Indonesia dan Russia hingga saat ini masih berlanjut dan belum dibatalkan. Sayangnya, tidak ada detil lebih lanjut yang dijelaskan terkait kontrak pembelian maupun hal lain dari proses pengadaan pesawat SU-35 ini, selain membahas hubungan baik antara Indonesia dan Russia di beberapa sektor, termasuk pertahanan.
Sebagai catatan, dalam proses transaksi pembelian alutsista dari produsen yang berasal dari luar negeri, lumrahnya terdapat informasi bahwa kontrak dinyatakan efektif apabila terdapat pinjaman dari negara produsen maupun perbankan. Berdasarkan informasi sebagaimana telah dirilis oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dalam Laporan Perkembangan Pinjaman, Hibah dan Project Based Sukuk (PBS) Triwulan II tahun 2021, tidak lagi tercatat adanya pinjaman dari Negara ataupun Perbankan Russia. Hal ini menandakan bahwa, besar kemungkinan kontrak pengadaan barang dari Russia di Indonesia saat ini tidaklah efektif, termasuk kontrak pesawat SU-35 di dalamnya. Di sisi lain, sinyal akan ketertarikan Kementerian Pertahanan untuk membeli pesawat tempur dari Prancis dan Amerika Serikat lebih besar dengan semakin gencarnya pertemuan yang dilakukan oleh representatif masing-masing negara produsen ke Indonesia.
Setelah 7 tahun sejak dipensiunkannya armada F-5 E/F Tiger II, hingga saat ini masih belum ada kejelasan maupun keputusan resmi terkait pesawat mana yang pada akhirnya akan diboyong oleh Kementerian Pertahanan untuk memperkuat armada Angkatan Udara di Indonesia. Apalagi, setelah upaya untuk mendatangkan pesawat Sukhoi dari Russia terhambat karena ancaman CAATSA, padahal proses untuk mendatangkan pesawat baru memerlukan waktu hingga beberapa tahun lagi sampai seluruh pesawat yang dibeli akhirnya bisa tiba di Indonesia. Dalam proses pengadaan pesawat baru perlu juga diperhatikan kesiapan infrasktruktur ataupun pelatihan bagi para pilot atau ground crew yang nantinya akan bertugas untuk mengoperasikan dan melakukan Pemeliharaan serta Perawatan (Harwat) terhadap pesawat yang akan didatangkan, hal ini tentu akan memakan waktu yang tidak sebentar dan perlu persiapan matang. Bagaimanapun, Indonesia harus segera menjatuhkan pilihan dari opsi-opsi yang tersedia dengan tetap memperhitungkan kesediaan anggaran dan kesiapan unsur-unsur pendukung lainnya se-efisien dan se-efektif mungkin. Selain untuk segera mengisi kekosongan yang ada, juga untuk meningkatkan kesiapan Indonesia dalam menjawab konstelasi geostrategis kawasan yang saat ini bergerak dengan cepat dan bersifat dinamis.