Menakar Ancaman Peperangan Asimetris pada Generasi Muda Indonesia
Pendahuluan
Globalisasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh setiap Bangsa di dunia yang menjadikan saling keterkaitan melalui terciptanya proses ekonomi, lingkungan, politik, dan budaya yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu. Sebagai anggota masyarakat dunia, Indonesia pasti tidak dapat dan tidak akan menutupi diri dari pergaulan internasional, karena antara negara satu dan negara lainnya pasti terjadi saling ketergantungan. Globalisasi memiliki dampak positif namun juga memiliki dampak negatif pada sebuah masyarakat atau Bangsa. Salah satu dampak negatif tersebut adalah munculnya beberapa ancaman baru dalam pertahanan Negara yang bersifat asimetris dengan berbagai bentuk yang mencakup model astagatra yang merupakan perangkat hubungan bidang kehidupan manusia dan budaya yang berlangsung diatas bumi dengan memanfaatkan segala kekayaan alam yang terdiri dari delapan aspek yang merupakan perpaduan trigatra atau kehidupan alamiah (geografi, demografi, sumber daya alam) dengan pancagatra atau kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya).
Sebagai bangsa yang dihuni oleh 237.641.326 jiwa yang didalamnya terdapat 62.082.810 jiwa[1] merupakan para pemuda usia 15-29 tahun yang berasal dari 1.128 suku bangsa[2], Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk dan mungkin menjadi bangsa paling majemuk di dunia. Kondisi ini jelas merupakan sebuah anugerah Tuhan sekaligus tantangan generasi mudanya untuk tetap bersatu, bertelad dan berbuat nyata dalam mewujudkan cita-cita Nasional Bangsa Indonesia yang terdapat dalam alinea pertama dan kedua Pembukaan UUD 1945. Alinea pertama berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Sedangkan alinea kedua berbunyi “dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Generasi Muda dan Globalisasi
Generasi muda adalah the leader of tomorrow dari sebuah Bangsa, karena di tangan kaum mudalah nasib peradaban sebuah Bangsa dipertaruhkan keberlangsungannya. Tercatat dalam sejarah bagaimana kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan karya monumental yang luar biasa yang dihasilkan oleh para founding fathers negeri ini, yang tidak lain adalah para generasi muda. Kemerdekaan bangsa ini bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para generasi muda pendahulu negeri ini[3]. Generasi muda sekarang dituntut untuk dapat mempertahankan, mengelola dan memajukan Bangsa untuk lebih maju dan sejajar dengan Bangsa-bangsa lain di dunia, tentunya hal tersebut akan terlaksana jika generasi muda sekarang mempunyai tekad, semangat dan rasa cinta tanah air sama seperti generasi muda pendahulu saat berjuang untuk kemerdekaan Bangsa Indonesia dari kolonialisme penjajah.
Globalisasi tidak hanya ditandai dengan pasar bebas, namun ada pula gejala-gejala yang lain yang dapat menimbulkan efek positif maupun negatif. Abdurrahman (2012) menyebut 4 fenomena globalisasi yakni, Etno-Escape, Capital-Escape, Ideo-Escape dan Media-Escape. Etno-Escape adalah orang modern yang terus menerus memperbaharui kemodernannya dengan cara mendatangi etnis yang menurutnya terbelakang. Capital-Escape adalah perputaran uang pada ranah global sehingga uang itu sendiri tidak memiliki “kewarganegaraan” lagi. Ideo-Escape, artinya ide yang dapat melewati batas trans-national. Sebagai contoh, gejala terorisme yang ada di Timur Tengah dapat merembet ke Indonesia. Media-Escape yang mendorong dan mengkonstruksi pemikiran kita. Saat ini kita tidak dapat membendung arus informasi yang semakin kuat paska adanya teknologi, seperti internet[4]. Sehingga generasi muda Indonesia dituntut untuk peka terhadap perubahan tersebut, perubahan yang jika tidak diwaspadai akan berujung pada ancaman peperangan asimetris yang mempunyai kemampuan menghancurkan sebuah Negara.
Ancaman Peperangan Asimetris Pada Generasi Muda Indonesia
Peperangan asimetris mulai dikenal dalam perang Franco-Spanish pada tahun 1823[5], dan sekarang semakin dianggap sebagai salah satu komponen utama dari peperangan generasi keempat
(fourth generation warfare) yaitu perang atau konflik ditandai oleh kaburnya batas antara perang dan politik atau antara tentara dan sipil, dengan ciri menonjol dari peperangan ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih, dengan kekuatan yang tidak seimbang yang mencakup spektum peperangan yang sangat luas. Kerajaan Belanda mempraktekan peperangan asimetris ini ketika manjajah Indonesia dengan menjalankan politik Devide et impera atau politik pecah belah yang merupakan kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan dan mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat sehingga mampu memerdekakan diri.
Berbagai bentuk ancaman peperangan asimetris saat ini ada dihadapan kita, ancaman tersebut banyak menjadikan generasi muda Indonesia sebagai sasaran seiring rendahnya pendidikan karakter kebangsaan, nasionalisme dan cinta tanah air dan arus globalisasi yang begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Adapun ancaman tersebut antara lain:
Seiring dengan masuknya era globalisasi, turut masuk juga budaya-budaya asing yang masuk secara bebas tanpa ada filterisasi. Pada umumnya masyarakat Indonesia dan generasi mudayanya terbuka dengan masuknya budaya tersebut dan inovasi-inovasi yang hadir dalam kehidupannya, namun mereka belum banyak yang bisa memilah mana yang sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dan sesuai dengan kebudayaan asli Indonesia. Bahkan, cenderung mengganti budaya asli Indonesia dengan budaya luar tersebut dan menjadikan budaya asli Indonesia hanya sebatas untuk seremonial belaka. sebagai contoh: lunturnya musik-musik tradisional, lunturnya budaya Indonesia dalam film-film local dan minimnya pentas seni lokal jika dibandingkan dengan pentas seni kontemporer moderen. Hal tersebut mencerminkan bahwa, globalisasi dapat dengan mudah mengubah nilai-nilai budaya yang sudah ada sebelumnya[6]. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat Sebuah bangsa akan abadi dan bermartabat jika generasi mudanya peduli terhadap budaya-budaya serta pedoman hidup yang telah mengakar abadi sebelumnya di tengah masyarakat. Serta dapat dengan baik membagi-bagi efek globalisasi sesuai norma yang ada, bermanfaat atau tidak bagi kelestarian suatu identitas bangsa Indonesia. Kemudian di era globalisasi ini generasi muda diharapkan mampu memberikan inovasi, kesetiaan, pengorbanan, serta komitmennya dalam membangun negara dan mempertahankan budi luhur identitas bangsa ini kedepannya agar mampu bertahan dan dapat bersaing serta memiliki ciri yang khas Indonesia.
Globalisasi mampu meyakinkan generasi muda Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan, kemakmuran dan kemudahan, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan arah ideologi generasi muda Indonesia dari Pancasila ke ideologi liberalisme. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat Pancasila merupakan dasar Negara dan sumber dari aturan yang berlaku di Indonesia. Saat ini, kita melihat seberapa banyak generasi muda kita yang hapal akan sila yang terdapat dalam pancasila, sebuah realitas yang sangat memprihatinkan sebab bagaimana generasi muda akan mengamalkan pancasila jika sila yang terdapat didalamnya saja tidak hapal, dan generasi muda adalah sosok manusia Indonesia yang ke depan akan menjadi pembela dan pelestari pancasila sebagai dasar, identitas nasional dan falsafah Bangsa Indonesia. Selain itu, pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak generasi muda Indonesia sekarang kehilangan kepribadian dan identitas diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala yang muncul dalam kehidupan sehari-hari generasi muda Indonesia sekarang dari cara berpakaian, berbahasa, etika dan sopan santun, munculnya sikap individualism, dan minimnya tenggang rasa dan semangat gotong royong yang selama ini menjadi modal perekat dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengingat terorisme adalah contoh peperangan asimetris yang paling banyak terjadi di dunia. Terorisme merupakan seranganyang terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror yang bersifat langsung dan/atau tidak langsung terhadap sekelompok masyarakat atau Negara. Terror langsung adalah tindakan terror yang berakibat langsung pada seseorang, seperti pemukulan, pembunuhan, peledakan bom dan lainnya. Sedangkan terror tidak langsung adalah tindakan terror secara psikologis sehingga seseorang merasa terancam yang dilakukan dengan penyebaran isu, ancaman, penyendaraan, dan lain sebagainya. Tindak pidana terorisme saat ini mulai marak terjadi di Indonesia, dan merupakan sebuah ironis adalah ketika para pelaku tindakan keji tersebut didominasi remaja dan generasi muda produktif, misalnya pelaku Bom di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Cartlon, Jum’at 17 Juli 2009 silam, salah satu pelaku peledakan tersebut adalah remaja berusia 18 tahun, yang bernama Dani Dwi Permana, seorang remaja berumur 18 tahun itu baru saja lulus SMU[7]. Hal ini terjadi karena rendahnya pemahaman ideologi serta pedoman hidup yang ada pada setiap generasi muda sehingga mereka mudah terbujuk dan terbawa hasutan oleh paham-paham yang berlawanan dengan norma agama dan norma-norma lain yang berlaku di Indonesia. Hal ini akan terus terjadi jika tidak ada kepedulian pendidikan karakter baik yang dilakukan oleh Negara maupun oleh masyarakat.
Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat, yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak. Sebuah ironi jika kita disuguhi sebuah kenyataan bahwa para koruptor yang saat ini sedang berperkara dan menjadi topic pembicaraan nasional beberapa diantaranya adalah generasi muda. Misalnya adalah Muhammad Nazarudin, umur 33 tahun dan
Gayus Halomoan Partahanan Tambunan, umur 33 tahun. Generasi muda yang seharusnya sebagai agent of change tampil dimuka menjadi pelopor pemberantasan korupsi malah menjadi tertuduh koruptor. Padahal, korupsi merupakan salah satu factor yang menjadikan Bangsa ini jalan ditempat yang apabila tidak diberantas bukan tidak mungkin dapat melumpuhkan dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut data Pusat Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2009, terdapat 17.734 orang dengan jumlah terbanyak pada kelompok umur 20-34 tahun. Jenis narkoba yang paling banyak digunakan adalah heroin 10.768 orang, selanjutnya secara berurutan adalah jenis ganja sebanyak 1.774 orang, shabu sebanyak 984 orang,dan sisanya adalah pengguna MDMA, alkohol, amphetamine lain dan benzodiazephine. Suatu hak yang cukup menghawatirkan mengingat data tersebut merupakan cerminan dari sebagian generasi muda Indonesia. Sebuah bangsa tidak akan mampu dipertahankan oleh generasi muda yang pecandu, sehingga sudah semestinya penyalahgunaan Narkoba menjadi ancaman peperangan asimetris yang nyata dan sudah ada dilingkungan kita.
“Dalam perang, unsur moral dan opini publik adalah setengah pertempuran” Begitulah ungkapan yang disampaikan oleh Napoleon Bonaparte untuk mengatakan bawah kualitas moral prajurit merupakan faktor penentu kemenangan dalam sebuah peperangan. Ungkapan tersebut saat ini menjadi sesuatu yang nyata dan ada dihadapan kita dimana peperangan informasi baik untuk menjatuhkan moral maupun untuk menggalang opini masyarakat menjadikan Media sebagai senjata yang lebih menakutkan daripada nuklir. Sehingga, tidak berlebihan jika dalam sekuel film James Bond berjudul Tomorrow Never Dies kita menjumpai percakapan “Media adalah senjata dan berita adalah mesiu,” yang dikatakan Carve kepada agen bond. Perkembangan teknologi informasi saat ini merupakan keniscayaan dan tidak bisa dibendung. Perkembangan tersebut juga mencakup perkembangan teknologi jaringan internet dan komunikasi satelit yang dapat menghubungkan dan menyebarkan informasi secara cepat tanpa ada tenggat waktu (realtime) sehingga apa yang terjadi di belahan dunia manapun dapat diketahui dan dilihat dari belahan dunia lain. Kita bisa melihat contoh terbaru dari pergolakan dan revolusi yang terjadi di timur tengah yang awalnya dipicu dan diorganisir mengunakan media jejaring sosial, ini membuktikan bahwa media dan informasi merupakan satu hal yang menjadi ancaman peperangan asimetris apabila tidak bisa dikelola dengan baik. pengetahuan & penyebaran informasi menjadi penting sekali bagi seseorang maupun pemerintah untuk survive, menang & tetap berada di atas serta populer dimata rakyatnya. Karena jika informasi yang tersampaikan salah, maka dapat mempengaruhi moral, semangat juang, budaya, nasionalisme dari sebuah bangsa khususnya generasi mudanya.
Penutup
“…attaining one hundred victories in one hundred battles is not the pinnacle of excellence. Subjugating the enemy’s army without fighting is the true pinnacle of excellence.” Ungkapan Sun Tzu dalam bukunya The Art of War seharusnya menyadarkan kita generasi muda Indonesia bahwa perang yang akan terjadi dimasa mendatang tidak serta merta dengan menggunakan senjata seperti Perang Dunia II melainkan pada perang pemikiran dan bagaimana mengalahkan musuh tanpa menembakan sebutir peluru. Globalisasi menjadikan semua Negara di dunia ini saling keterkaitan melalui terciptanya proses ekonomi, lingkungan, politik, dan budaya yang tidak mengenal batas wilayah dan waktu dan menjadikan batas Negara menjadi semu. Perkembangan teknologi informasi, jaringan internet, satelit dan komunikasi data saat ini menjadikan apa yang terjadi di belahan dunia manapun dapat diketahui dan dilihat dari belahan dunia lain. Kondisi ini merupakan sebuah kesempatan untuk maju sekaligus tantangan karena dengan kemajemukan Bangsa Indonesia maka ancaman yang bersifat asimetris menjadi suatu hal yang sangat mudah masuk dan mengancam keutuhan dan keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Generasi muda Indonesia adalah the leader of tomorrow dari Bangsa Indonesia, sebuah Bangsa akan abadi dan bermartabat jika generasi mudanya peduli terhadap budaya-budaya serta pedoman hidup yang telah mengakar abadi sebelumnya di tengah masyarakat, sehingga diperlukan konsep dan strategi untuk menangkal dengan mengenalkan ancaman peperangan asimetris kepada generasi muda Indonesia karena di tangan kaum mudalah nasib peradaban Bangsa ini dipertaruhkan keberlangsungannya.
Referensi:
- Badan Pusat Statistik, Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010 , http://sp2010.bps.go.id
- JPNN, Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa, http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455
- Prof. Dr. Nur Syam, M.Si, Peran Generasi Muda Bagi Bangsanya, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=115
- Satria Aji Imawan & Rafif Pamenang Imawan, Ancaman Globalisasi Terhadap Pembentukan Karakter Bangsa, http://kongrespendidikan.web.id/ancaman-globalisasi-terhadap-pembentukan-karakter-bangsa.html
- Asymmetric warfare, http://en.wikipedia.org/wiki/Asymmetric_warfare
- Paksi Widhyan Prakoso, Efek Globalisasi bagi Identitas & Generasi Muda Nasional, http://shout.indonesianyouthconference.org/article/paksi-widhyan-prakoso/1240-efek-globalisasi-bagi-identitas-generasi-muda-nasional
- Selamatkan Generasi Muda Pengaruh terorisme, http://www.lazuardibirru.org/berita/news/selamatkan-generasi-muda-pengaruh-terorisme
Ulasan yang menarik dan semoga menjadi catatan bagi kita semua.
Walau saya juga pencinta budaya luar, setidaknya bukan budaya-nya negara tetangga yang super usil satu itu.
Dan Insya Allah saya masih bisa membedakan mana yang sekedar hobi dan mana yang dijadikan pegangan hidup, hahahaha…
Yaa kalo sampe Pak Sekjen menjadikan K-Pop pegangan hidup, sepertinya harus dibayat ulang. hehehe
Hahahaha..ora yo..
Aku malah prihatin dengan budaya plagiat bangsa ini..
K-Pop bisa semaju sekarang itu gak instan..
Mereka harus rela di-training sejak SD-SMP hingga bisa sukses macam sekarang..
Bayangkan masa mudanya dikorbankan untuk bisa jadi kayk gitu..
Itupun belum tentu dari sekian banyak yang ikut training bakal debut..
Kalopun debut pun belum tentu sukses..
Seleksi alam muncul di sini..
Gak macam boyband/girlband Indonesia yang semuanya karbitan, modal tampang dan body doang..
Yang harus ditiru itu harusnya prinsip dari bagaimana membuat musik K-Pop bisa sukses dengan pengorbanan waktu, kerja keras,uang, dan mental yang kuat..
Apa emang negara ini mau ikut2an negara tetangga yang sukanya niru luar tapi gak pernah melihat dari dalam?
Ngenes, Rek..
Hmn… itulah akbita disorientasi dari pola pendidikan bangsa kita, dimana kita diajarkan untuk meniru dan menjadi generasi penerus bukan generasi pembaharu
Itulah Mas..
Kalau mencontoh sifat baiknya sih gak masalah, lha ini kok malah niru kemasannya tok..
Apapun pengauhnya terhadap generasi muda baik Teknologi Informasi maupun ancaman Cyber lainnya, apabila dilandasi oleh Agama dan lingkungan yang baik tentu semua itu tdk akan berdampak negatif, malah sebaliknya dampaknya adalah generasi muda yang tangguh dan hebat
Terima kasih atas kunjungannya mas Topan
Betul… tantangan kita saat ini untuk lebih fokus menjadikan Agama sebagai landasan untuk membangun generasi muda Bangsa ini…