Lebih jauh tentang Foreign Military Sales (FMS): Cukup baikkah untuk Indonesia? (Bagian 2)
Military Sales
- Secara umum, AECA mengijinkan dua metode pembelian barang, pelatihan, dan jasa dalam bidang pertahanan dari AS kepada negara-negara lain maupun organisasi internasional. Metode pertama adalah kontrak antar-pemerintah melalui FMS, dan yang kedua adalah pembelian langsung kepada industri AS melalui DCS. Pada proses FMS, Pemerintah RI “berkontrak” dengan Pemerintah AS melalui FMS Letter of Offer and Acceptance (LOA) Case. FMS dapat direalisasikan oleh Pemerintah AS selaku penyedia melalui stok yang mereka miliki (aset DOD), pembelian oleh Pemerintah AS dari industri AS, maupun melalui mekanisme kredit. Untuk DCS, keterlibatan Pemerintah AS (dalam hal ini DOS) adalah dalam penerbitan ijin ekspor (export license) kepada industri AS.
- Selain itu, Section 30 dan Section 38 AECA juga mengatur mekanisme penjualan materiil pertahanan (government-furnished equipment/GFE atau government-furnished material/GFM) kepada industri/kontraktor AS dalam kerangka DCS. Kondisi berlaku bila: materiil tersebut akan digabungkan/diinstalasi pada produk (end item) alat pertahanan untuk negara (organisasi internasional) pembeli; materiil tersebut akan digunakan untuk memenuhi kontrak dengan angkatan bersenjata AS; materiil tersebut hanya tersedia di sumber internal Pemerintah AS (aset DOD) dan tidak tersedia di pasaran hingga tenggat waktu penyerahan produk (end item) kepada pembeli.
Letter of Request (LOR)
- Pemerintah AS sendiri menyatakan bahwa FMS sebagai sebagai salah satu program SA yang diatur dalam AECA merupakan sarana penting dalam kebijakan luar negeri mereka. Sebelum masuk pada uraian tentang proses FMS itu sendiri, perlu dipahami bahwa infrastruktur dalam Pemerintah AS (US Government/USG) yang mendukung pelaksanaan FMS bukan merupakan sebuah entitas tersendiri, melainkan pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada dalam DOD. FMS sendiri merupakan sebuah proses yang kompleks, dan untuk produk yang bersifat “major system” (pesawat, kapal, rudal, atau peralatan intelijen/penginderaan) bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.
- Proses FMS diawali dengan fase “Preliminary“, yaitu saat negara calon pembeli (customer) melakukan analisis pengembangan kekuatan pertahanannya (baik dengan berbasis “kemampuan” atau berbasis “ancaman”). Calon pembeli berhak untuk memutuskan produk apa yang akan dibeli, serta dari mana sumbernya. Bila negara calon pembeli akan mengakuisisi produk dari AS, pemerintahnya dapat melakukan konsultasi awal dengan perwakilan Pemerintah AS di Kedutaan Besar AS di negara tersebut. Perwakilan ini secara umum berada di bawah Atase Pertahanan AS, yang disebut Security Cooperation Office (SCO). Di Kedubes AS untuk Indonesia, SCO dikenal dengan Office of Defense Cooperation (ODC).
- Bila negara calon pembeli—setelah berkonsultasi dengan SCO—menyatakan minat untuk membeli produk AS, maka negara tersebut dapat mengajukan Letter of Request (LOR) kepada Pemerintah AS. LOR tidak harus berupa lembaran surat, namun dapat juga berupa e-mail, diskusi lisan (oral discussion) atau Request for Proposal (RFP), selama SCO dapat menjamin validitas dan akuntabilitas bentuk-bentuk komunikasi tersebut sebagai referensi di waktu-waktu selanjutnya. LOR memuat beberapa informasi mendasar antara lain:
-
Maksud dan tujuan LOR;
-
Jenis produk yang diinginkan;
-
Jumlah produk yang diinginkan;
-
Waktu penyerahan produk yang diharapkan;
-
Garansi;
-
Pilihan sumber produk di AS (pabrikan tertentu);
-
Dukungan terhadap produk (spare parts, pelatihan, bantuan teknis dan sebagainya);
-
Pendanaan yang tersedia beserta sumbernya;
-
Kemungkinan negosiasi dan penurunan harga;
-
dan lain-lain.
(Informasi yang perlu dicantumkan dalam LOR bergantung pada kompleksitas produk yang akan dibeli dari Pemerintah AS. Namun demikian, pada umumnya Pemerintah AS mengharapkan informasi yang komprehensif dalam LOR sebagai bagian dari Total Package Approach (TPA) sebagai standar AS dalam menawarkan produknya.)
Letter of Offer and Acceptance (LOA)
Setelah menerima LOR dari pemerintah negara pembeli, Pemerintah AS—bergantung pada tujuan yang dinyatakan dalam LOR—dapat menerbitkan:
- Price and Availability (P&A). P&A merupakan informasi garis besar (rough order of magnitude/ROM) yang berisi perkiraan harga tiap item yang diperlukan sebagai jawaban terhadap LOR. Pemangku kepentingan terkait di lingkup Pemerintah AS harus menyediakan data P&A ini dalam waktu 45 hari setelah menerima LOR. Harga tiap item yang disebutkan dalam P&A merupakan data historis berdasarkan pada database yang dimiliki Pemerintah AS, jadi bukan merupakan harga terakhir yang diperoleh dari pabrikan. Itulah sebabnya, ini bukan harga penawaran resmi Pemerintah AS terhadap pembeli, dan tidak dapat digunakan untuk keperluan penganggaran, melainkan hanya valid untuk keperluan perencanaan.
- Letter of Offer and Acceptance (LOA). Bentuk jawaban yang lain dari Pemerintah AS terhadap LOR dapat berupa LOA, yang merupakan dokumen resmi penawaran dari Pemerintah AS. Tenggat waktu penerbitan LOA bervariasi untuk tiap negara (umumnya antara 75 s.d. 120 hari, namun untuk Indonesia 145 hari setelah LOR diterima). Meski merupakan dokumen resmi penawaran, harga yang dicantumkan dalam LOA tetap harga estimasi, dan dapat berubah sewaktu-waktu. LOA inilah sejatinya “dokumen kontrak” antara penjual dan pembeli (dalam hal ini Pemerintah AS dengan pemerintah negara pembeli).
- Negative Responses to LOR. Bila Pemerintah AS melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu menilai LOR tidak cukup memadai untuk disetujui, mereka akan melakukan komunikasi dengan perwakilan pemerintah calon pembeli untuk menyampaikan bahwa LOR tidak diterima.
(Catatan: LOA tidak harus didahului dengan P&A. Bila negara pembeli sudah yakin untuk membeli produk tertentu dari Pemerintah AS, mereka dapat langsung meminta LOA dalam LOR-nya (LOR for LOA)).
Congressional Notification and Review
- Bila Pemerintah AS melalui Implementing Agency (IA) memperkirakan bahwa sebuah LOR akan menghasilkan LOA yang melampaui nilai dollar tertentu seperti yang dicantumkan dalam Section 36(b) AECA, maka IA harus memberikan data kepada DSCA sebagai notifikasi untuk meminta persetujuan dari Kongres AS. Notifikasi kepada DSCA ini harus terkirim dalam waktu 10 hari sejak LOR diterima. Batasan nilai finansial yang berlaku untuk notifikasi ini adalah sebagai berikut:
- Untuk negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel dan Republik Korea:
- nilai total LOA sebesar USD 100 juta;
- nilai total LOA sebesar USD 25 juta untuk Major Defense Equipment (MDE);
- nilai total LOA sebesar USD 300 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.
- Untuk negara-negara lain:
- nilai total LOA sebesar USD 50 juta;
- nilai total LOA sebesar USD 14 juta untuk Major Defense Equipment (MDE);
- nilai total LOA sebesar USD 200 juta untuk jasa perancangan dan konstruksi.
- Selanjutnya, setelah Kongres AS menerima notifikasi dari DSCA, mereka akan melaksanakan kajian/review terhadap materi yang disampaikan, yang pada intinya akan menghasilkan keputusan apakah LOA dapat diterbitkan atau tidak. Tentu saja, review ini hanya bisa dilakukan saat Kongres berada pada masa sidang (tidak sedang dalam masa reses). Tenggat waktu review oleh Kongres terhitung sejak notifikasi resmi dari DSCA diterima adalah sebagai berikut:
-
Untuk NATO, negara anggota NATO, Jepang, Australia, New Zealand, Israel, dan Republik Korea: 15 hari;
-
Untuk negara-negara lain: 30 hari yang didahului dengan 20 hari notifikasi informal.
Implementasi dan Eksekusi FMS
- Dalam LOA, Pemerintah AS akan mencantumkan beberapa informasi yang meliputi: nilai total LOA (nilai kontrak), initial deposit, bentuk pengiriman/penyerahan produk, rincian harga tiap item, jadwal pembayaran (payment schedule), serta masa berlaku LOA. LOA ini, bila disetujui oleh negara pembeli, harus ditandatangani oleh pembeli sebelum masa berlakunya habis. Di luar masa berlaku tersebut, besar kemungkinan terdapat perubahan-perubahan baik pada harga produk, notifikasi Kongres yang diperlukan, waktu penyerahan produk dan sebagainya. Begitu disetujui (ditandatangani) pembeli, maka secara resmi LOA tersebut menjadi FMS Case.
- Eksekusi FMS dimulai sejak pemenuhan produk yang dicantumkan dalam LOA diproses oleh IA dan penyedia (bisa pabrikan maupun badan-badan DOD yang lain bila produk yang diminta dipenuhi dari stok DOD). Bagian ini merupakan babak terpanjang dalam siklus FMS. Untuk major system, pelaksanaannya bahkan bisa bertahun-tahun.
FMS Case Closure
-
Saat pemenuhan materiil kontrak dalam LOA mendekati penyelesaian, IA (dalam hal ini Case Manager) melakukan apa yang disebut case reconciliation, yang mencakup konfirmasi terhadap hal-hal seperti: akuntabilitas langkah finansial (pembayaran) dan logistik (penyerahan produk), akurasi dan kelengkapan data, pemenuhan jadwal (pembayaran dan penyerahan produk), ketepatan waktu pelaporan dan lain-lain. Rekonsiliasi ini sebenarnya bukan mekanisme sesaat sebelum case closure saja, melainkan harus dilakukan oleh case manager setidaknya setahun sekali. Hal ini akan memudahkan proses penyelesaian case FMS.
-
Sebuah case FMS dapat diajukan untuk ditutup bila memenuhi kriteria Supply and Services Complete (SSC), yang diindikasikan dengan beberapa parameter berikut:
-
seluruh produk telah diserahkan;
-
seluruh jasa telah dipenuhi;
-
seluruh Supply Discrepancy Report (SDR) telah ditindaklanjuti;
-
periode garansi (warranty) sudah habis;
-
data pada IA dan pembeli telah tersinkronisasi;
-
seluruh catatan (notes) dalam LOA telah dipenuhi;
-
semua persyaratan dalam LOA telah terpenuhi.
-
-
FMS case closure sendiri terdiri atas dua metode: Accelerated Case Closure Procedures (ACCP), dan Non-ACCP. Non-ACCP diterapkan untuk negara-negara yang memilih untuk tidak melaksanakan ACCP. Dalam non-ACCP, FMS case ditutup hanya bila seluruh kewajiban telah dipenuhi, tagihan-tagihan telah dikirim, dan audit (bila diperlukan) telah dilaksanakan. Umumnya perkiraan waktu penutupan case FMS dengan non-ACCP adalah 36 bulan sejak pemenuhan materiil kontrak terpanjang. Untuk major system, bahkan bisa lebih lama terhitung sejak sebuah case dinyatakan SSC. Karena lamanya waktu penutupan case dengan non-ACCP ini, sebagian besar negara memilih menggunakan ACCP.
-
ACCP sendiri dilakukan dalam 24 bulan sejak sebuah case dinyatakan SSC. Dalam ACCP, case dapat ditutup meskipun masih terdapat beberapa kewajiban yang belum terpenuhi (unliquidated obligation/ULO). Case manager akan menghitung besaran kumulatif ULO tersebut dan menambahkannya menjadi nilai total dalam case FMS yang bersangkutan. Nilai inilah yang kelak akan ditagihkan kepada negara pembeli dalam sebuah Case Closure Suspense Account (CCSA) baik di Trust Fund atau di Federal Reserve Bank of New York atau di bank komersial yang dipilih pembeli untuk melakukan transaksi pembayaran. Dalam konteks ini, sebuah case dinyatakan Interim Closed.
Bagaimana mekanisme pembiayaan dalam FMS, dan apa implikasi proses FMS dari perspektif Indonesia? Cukup baikkah metode ini untuk menjadi pilihan solusi bagi masalah-masalah pengadaan alutsista/suku cadang kita? (bersambung ke Bagian 3)
Nah ini yang saya tunggu2 Mas..
Saya sempat baca-baca sedikit tentang DSCA, SAMM, AECA, dan EDA yang tentu saja berhubungan dengan FMS di situsnya DSCA yang sekarang udah gak bisa diakses dari Indonesia lagi.
Dan saya menemukan missing link antara tenggat Congress Notification dan review.
Persis seperti yahg ditulis Mas Ginting, bahwa review hanya bisa dilakukan ketika Congress bersidang.
Nah yang dimaksud dengan tenggat di sini apa Mas?
Dan apa yang terjadi ketika sampai tenggat habis review itu belum keluar keputusannya?
Karena seingat saya DSCA Congress Notification dalam kasus EDA F-16 dikeluarkan bulan November 2011, dengan kata lain pada bulan Januari sudah keluar keputusannya.
Dan kalau tidak ada ribut2 hingga sekarang berarti sudah ada lampu hijau dari Congress.
Betul begitu Mas?
Yg dimaksud tenggat di sini adl batasan waktu maksimal bagi Kongres utk melakukan review & memberi jawaban pd DSCA. Utk case Indonesia maksimal 50 hari: 20 hari komunikasi informal + 30 hari review internal Kongres. Artinya, DSCA pny wkt plg bnyk 20 hari sblm sesi review formal oleh Kongres utk mengkomunikasikan bakal case FMS itu; bila dlm masa 20 hr informal itu Kongres tdk memberikan lampu hijau, maka DSCA akan menginformasikan pd SCO utk disampaikan pd negara (calon) pembeli utk tdk meneruskan case tsb.
Utk case Grant EDA F-16 itu mmg sdh jalan kok mas (kode LOA nya ID-D-SAL); skrg sdh sampai tahap “Project Management Review/PMR”…
I see..
Mungkin karena tidak termasuk dalam close allies, maka diberi tambahan waktu informal talk untuk melobi kongres untuk meloloskan case tersebut..
Oke Mas, saya paham sekarang..
Tak tunggu bagian 3 nya..
Matur nuwun..
Lebih kurang begitu mas. Hanya bbrp negara (trmsk NATO sbg organisasi) yg mendapat previlege berbeda (spt yg sy tulis di naskah)…
Ijin bg. Mungkinkah jika pengetehuan seperti ini ada sosialisasinya ke satuan bawah sehingga skadud dan skatek benar2 memahami permasalahan sesungguhnya….sangat berharap semboyan “tiada dusta diantara kita” bisa membudaya dari aas kebawah maupun dari bawah ke atas….
Kl dr perspektif sy pribadi, yg mjd concern sy justru “awareness” para pengambil kebijakan kita ttg FMS itu sendiri. Kl dampak ke satuan bawah, paling2 sebatas “lead time” yg mgkn agak lama/panjang krn proses FMS mmg tdk sederhana. Tapi kl bicara soal kualitas produk, sy 100% yakin bhw produk apapun yg diterima dr FMS ini pasti kelas satu, krn hrs lulus standard AS (apalagi bila pemenuhan produk/materiil kontrak itu bersamaan dgn pemenuhan kebutuhan AS sendiri).
Nah, kl soal “awareness” yg sy mksd adalah, bgmn para pengambil kebijakan dpt memahami filosofi FMS scr menyeluruh, & sadar bhw ini adl bagian dr portofolio hbgn internasional AS yg didasarkan pd kepentingan mrk. Jd, ngga mgkn ada yg gratis dr sini, sklpun judulnya “grant”/hibah. Ini yg memerlukan kajian komprehensif, shg kita ttp bs menjaga keseimbangan antara kesiapan tempur dgn kesinambungan perolehan sucad. Anyway, nanti di Bag-3 sy akan sampaikan tersendiri mgnai hal ini… 😀
Siap bg. Kami tunggu bagian 3 nya….
Ijin Mas, berarti salah satu syarat untuk mendapatkan persenjataan dari US perlu kajian pengembangan kekuatan negara calon costumer tersebut ya mas, hmn.. Sedetail apa mas kajian yang diberikan? Mencakup semua atau hanya action plan jika senjata dari US itu didapatkan?
Jadi mas, kl dlm bahasa mrk, mrk menyampaikan kesediaannya utk membantu menganalisa kebutuhan apa yg sbnrnya sesuai utk menjawab kekurangan kita. Nah, kl kita ngajak mrk bicara soal itu kan berarti kita hrs uraikan bla bla nya mgnai renstra kita. Ini yg sy maksud bhw “kita harus cerdas”, & bijak dlm membaca FMS dlm konteks nya sbg bagian dr kebijakan luar negeri AS. Kita hny bs berharap bhw G-to-G apapun tdk mjd pembenaran utk mengungkap konsep pengembangan kekuatan kita.
kalau efek terhadap keseimbangan kawasan itu kajiannya dilakukan oleh DoD, DSCA atau kongress mas?
Tidak ada mekanisme atau stakeholder khusus utk ini. Itu sebabnya, persetujuan penerbitan LOA itu melalui filter yg ckp banyak, apalg utk negara2 yg bukan sekutu dekat AS. Ada ‘Presidential Determination’, ada ‘Congressional Review’, ada komunikasi pendahuluan antara SCO dgn negara pembeli dsb. Itulah sbnrnya bbrp sarana mrk utk mengkaji apakh LOA atw FMS itu kelak akan berdampak pd kepentingan AS di negara tsb atau utk kawasan sekitarnya. Bila sbh LOR tdk disetujui utk mjd LOA atau case FMS, berarti ada “sesuatu”: mgkn bisa materi kontraknya, mgkn bisa pandangan AS ttg kemampuan finansial si pembeli, atau mgkn faktor ‘non-teknis’ yg ujung2nya adl terancamnya kepentingan AS (kalaupun tdk di negara itu, mgkn di regional nya)…
jadi ada sedikit tambahan gambaran kenapa Amerika di posisikan 1 untuk diperhitungkan dalam strategical defence RI
Nice mas, ijin Copas kalau boleh di Grup FB. Untuk yang calon AH-64D Apache Longbow untuk penerbad, kalau saya lihat dari uraian diatas sudah sampai tahap LOA ya pak ?
Silakan mas. Utk Apache, sy tdk monitor prkbgnnya, mgkn bs ditnykan ke staf di Mabesad… 🙂