Lebih Dalam Tentang Militer Sebagai Sarana Meningkatakan Bergaining Position Dalam Diplomasi
Abstraksi
Militer merupakan salah satu kekuatan Negara untuk dapat mewujudkan kepentingan nasionalnya, begitu halnya dengan diplomasi juga menjadi alat Negara untuk melakukan manajemen hubungan internasionalnya, tulisan ini ingin menggambarkan hubungan yang erat antara diplomasi dan militer dimana militer dapat menjadi sarana yang efektif untuk meningkatkan bargaining position dalam diplomasi, tulisan ini menggambarkan peran militer dalam diplomasi dari dua perspektif yang lingkupnya lebih sempit dan perspektig yang lebih luas serta menunjukkan militer juga dapat di jadikan alat diplomasi publik yang efektif.
Kata Kunci: diplomasi, militer, national power, kepentingan nasional, diplomasi publik, diplomasi militer
Pendahuluan
Setiap Negara di dunia tentu ingin memiliki angkatan bersenjata yang kuat untuk menjaga eksistensi dan kedaulatannya. Seiring dengan kebutuhan Negara di dunia peralatan perang kian lama kian bermunculan dengan teknologi yang canggih mulai dari senapan hingga peluru Kendal dan dari kapal laut hingga pesawat siluman. Dalam politik internasional yang bersifat anarki dimana tujuan dari politik tersebut ialah pencapaian kepentingan nasional dari Negara – Negara aktor hubungan internasional.[1] Pencapaian kepentingan nasional tersbut acap kali berbenturan dengan kepentingan Negara lainnya yang mengakibatkan timbulnya konflik antar Negara yang dapat berujung kekerasan. Penyebab munculnya konflik antar Negara banyak terjadi akibat adanya sengketa perbatasan, klaim wilayah oleh satu Negara terhadap wilayah Negara lainnya.
Seiring bergesernya bentuk konflik di system internasional dari yang semula konflik militer namun kini cenderung bergeser ke arah konflik nirmiliter seperti ancaman pembajakan, human trafficking, penjualan obat – obatan terlarang dan lainnya membuat cara –cara penyelesaian yang di ambil melalui proses yang cenderung lebih damai karena peperangan di anggap menibulkan terlalu banyak kerugian serta sudah di anggap bukan cara terbaik untuk menyelesaikan permasalahan antar Negara maka setiap Negara cenderung melakukan konsultasi dan negosisasi apabila memiliki masalah dengan Negara lainnya. Dalam bentuk penyelesaian masalah dengan negosiasi ini seolah militer yang menjadi tulang punggung Negara dalam mewujudkan kepentingan nasional di bidang keamanan tidak memiliki peran yang signifikan bahkan dapat dikatakan tidak terlibat.
Di tengah bergesernya bentuk ancaman yang ada peran militer dalam politik internasional tidak bisa di abaikan guna mewujudkan berbagai macam kepentingan yang ada seperti yang di lakukan Cina di lautan Cina Selatan dimana Cina akan menempatakan sebuah kapal induk untuk menjaga kedaulatannya seiring dengan maraknya sengketa maritim di wilaya Laut Cina Selatan,[2] tentu saja hal ini akan memicu ketegangan di kawasan dan menciptakan dilemma keamanan dimana untuk meweujudkan suatu Negara dapat menciptakan ketidakamanan karena adanya potensi konflik bersenjata karena Laut Cina Selatan sendiri merupakan wilayah yang di persengketakan oleh beberapa seperti Cina, Taiwan, Pilipina dan Vietnam.
Merujuk pada konsep sarana diplomasi yang di kemukakan Kautilaya, yaitu bargaining position dapat di wujudkan dengan melakukan ancaman terhadap pihak lawan, pameran kekuatan militer yang dilakukan Cina ini dapat di baca sebagai sebuah pesan bahwa wilayah yang sedang di persengketakan tersebut adalah miliknya dan apabila ada yang berani mengusik maka akan berhadapan dengan kekuatan militernya yang terus berkembang pesat seperti kapal induk yang akan di proyeksikan di wilayak yang di persengketan tersebut. Sepetrti yang kita ketahui kapal induk merupakan sarana diplomasi yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan posisi tawar sebuah Negara, dalam kasus Negara di asia tenggara hanya Cina yang sudah menggunakan kapal induk yang mampu meluncurkan pesawat tempur sehingga kapal posisi tawar yang dimiliki akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Negara – Negara yang terlibat segnketa lainnya.
Dalam Hubungan Internasional paradigma realis beranggapan bahwa hubungan yang ada antar Negara adalah hubungan yang bersifat saling mencurigai dan setiap Negara memiliki “perasaan resah” terhadap Negara lainnya terlebih Negara lain memiliki national power yang kuat. Untuk tetap menjaga stabilitas kemanan realisma hubungan internasional mengaggap power sangat penting untuk di seimbangkan agar tidak ada Negara yang memiliki power yang lemah dan agar tidak adanya keenjangan power, pandangan tersebut diutarakan karena adanya anggapan dari kaum realis bahwa sebuah konflik antar Negara yang berujung sebuah peperanga di karenakan oleh adanya Negara yang lemah dan tidak mampu menjaga kedaulatan dan melindungi kepentingannya dari Negara lain karena power di anggap menjadi penentu dalam politik internasional dimana siapa yang kuat dia yang menang.
Adanya rasa kerugian yang di timbulkan akibat peprangan mengakibatkan Negara – Negara berpikir dua kali untuk melakukan pengerahan militernya tehdap Negara lain karena berkaca pada Perang Dunia II tidak sedikit Negara yang mengalami kerugian. Oleh karena itu pasca perang dunia dan perang dingin diplomasi dengan melakukan perundingan lebih dipilih untuk menyelesaikan masalah yang ada, namun dalam sebuah perundingan di perlukan posisi tawar yang dapat meningkatkan pencapaian kepentingan yang ingin suatu Negara dapatkan dari lawan bernegosiasinya.
Oleh karena itu dalam diplomasi dibutuhkan berbagai macam sarana pendukung guna meningkatakan bargaining position, menurut Kautilaya salah satu instrument yang dapat di gunakan dalam diplomasi adalah mengancam dengan kekuatan nyata atau yang di sebut bedha,[3] sarana ini dapat di pergunakan oleh sebuan negara apabila hal yang di perjuangkannya dalam diplomasi gagal. Mengancam dengan kekuatan nyata tentunya mmebutuhkan alat sebagai media memberikan ancaman terhadap lawan, dalam hal ini alat yang dapat digunakan Negara adalah militer karena militer memiliki kemampuan merusak.
Seperti yang telah di jelaskan di atas di dalam sebuah proses diplomasi dibutuhkan sarana sebagai penunjang, dimana dalam tulisan ini ingin memberikan batasan sarana yang di gunakan yaitu penggunaan militer sebagai sarana meningkatkan bargaining position dalam diplomasi. Dalam sebuah proses diplomasi sebuah Negara akan mencari keunggulan bangsanya untuk di jadikan suatu posisi tawar, keunggulan bangsa yang dimaksud disini ialah national power yang dimiliki suatu Negara. National power apabila di aktualisasikan dapat menciptakan bargaining position yang kuat dalam diplomasi, salah satu jenis national power ialah kesiagaan militer.[4]
Diplomasi banyak di fahami sebagai mengedepankan kepentingan suatu Negara dalam hubungannya dengan Negara lain[5] yang di identikkan dengan suasana damai antara Negara yang melakukan proses diplomasi. Diplomasi sendiri mengutamakan penyelesaian masalah tanpa menimbulkan masalah baru dengan tujuan untuk memperngaruhi pihak lain agar bertindak sesuai dengan yang di inginkan. Di dalam pelaksanaannya di perlukan sarana yang tepat guna meningkatkan bargaining position dan tercapainya kepetningan nasional, sarana yang di maksud dalam hal ini ialah segala sesuatu ata cara yang dapat di gunakan untuk meningkatkan posisi tawar tawar terhadap lawan, tentu saja penggunaan sarana tersebut harus sesuai dengan kepentingan nasional yang di perjuangkan.
Untuk memenuhi tujuan diplomatiknya Negara dapat menggunakan berbagai macam cara bahkan dengan tindakan yang di anggap di luar nilai dan moral. Kautilaya, seorang diplomat kuno India berpendapat, pemenuhan tujuan diplomatik tersebut dapat di tempuh dengan menerapkan satu atau beberapa isntrumen,yakni:
- Sama yaitu melalui proses negosiasi
- Dana memberikan hadiah atau konsesi
- Dandha yaitu menciptakan perselisihan
- Bedha yaitu menggunakan ancaman atau kekuatan nyata.
Negara memiliki beberapa kecenderungan dalam memenuhi kepentingan nasionalnya, diantaranya, kerjasama, penyesuaian, dan penentangan. Kerja sama dan penyesuaian dilakukan suatu Negara, biasanya dapat di tempuh dengan negosiasi, namun ketika negosiasi tidak membuahkan hasil maka Negara cenderung akan melakukan penentangan terhadap “lawan” dengan berbagai cara misalanya menggunakan sarana atau instrumen misalnya menimbulkan perselisihan dan memberikan ancaman.
Sebagai ilustrasi bagaimana ancaman kekuatan dapat digunakan pada diplomasi, pada tulisan ini dapat kita kutip dialog dari tokoh pewayangan mahabrata berikut ini, sebelum terjadinya perang besar di Kurusetra, Kresna bertindak sebagai wakil khusus para pandawa kepada kurawa untuk berunding dan menyelesaikan masalah secara damai. Kita tahu bahwa Kurawa tak menginginkan pemecahan damai atas masalah itu. Pada saat Kresna akan memulai tugasnya, Drupadi, Ratu Pandawa bertanya mengapa ia mau melakukan suatu misi yang takkan berhasil. Dan Kresna menjawab,[6]
“saya harus ke kurawa untuk menjelaskan masalah kita baik – baik dan mencoba dan mencoba membujuk mereka untuk menerima permintaan kita, tetapi apabila usaha saya tidak berhasil dan perang tidak dapat dihindarkan, kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita benar dan mereka melakukan ketidakadilan kepada kita sehingga dunia tidak salah menilai terhadap kita”.
Diplomasi sendiri memiliki berbagai definisi dikarenakan para pakar memiliki definisi yang berbeda terhadap kata diplomasi namun didalam tulisan ini pembahasan akan di batasi dengan dua definisi secara garis besar yaitu diplomasi yang dipahami dalam lingkup yang lebih kecil dan lingkup yang lebih luas. Sebagai studi kasus dalam untuk memahami lebih jauh dalam tulisan ini akan di bahas peran militer Indonesia sebagai alat diplomasi baik dengan kedua perpektif definisi diplomasi di atas, dalam studi kasus ini akan diberi batasan kasus yang berhubungan dengan diplomasi yang di lakukan pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan peranan militer Indonesia.
Dimana poisi militer dalam diplomasi?
Dengan melihat pola kecenderungan tingkah laku Negara tersebut maka Militer dapat di gunakan sebagai salah satu unsur yang sangat berpengaruh di dalam pemenuhan tujuan diplomatik suatu Negara, seperti yang di sebutkan di atas dengan memberikan ancaman kekuatan militer ketika berbagai cara telah di tempuh namun tidak kunjung menciptakan kepentingan nasional yang di inginkan atau di kenal dengan istilah gunboat diplomacy atau diplomasi kapal perang. Namun penggunaan strategi ini harus dalam situasi yang tepat dan mendukung serta melihat national power yang dimiliki.
Ada anggapan yang menyatakan bahwa cara – cara damai harus di kedepankan dari pada pengerahan kekuatan dalam menjalin hubungan dengan Negara lain, tidak ada yang salah dengan pendapat itu, namun di tengah realisme hubungan internasional yang penuh kecurigaan antar Negara saat ini hampir tidak mungkin bagi setiap negara untuk keluar dari pusaran tersebut dan tentu saja hal itu dapat mengancam utuhnya suatu Negara oleh gangguan Negara lain apabila tidak menggunakan sarana – sarana diplomasi yang ada dengan bijak, untuk menggambarkan situasi tersebut ada sebuah ungkapam latin yang berbunyi “Si vis pacem, para bellum” yang berarti apabila ingin damai maka bersiaplah untuk berperang.
Ungkapan tersebut sudah cukup jelas menggambarkan dimana posisi militer dalam sebuah fase damai, untuk memperkelas fungsinya dalam sebuah fase damai dan perundingan militer berguna sebagai nilai tambah dari sebuah perundingan apabila suaatu Negara dengan kekuatan militer yang kuat melakukan negosiasi terkait sengketa wilayah dengan Negara lain yang memiliki kekuatan militer yang lebih lemah maka akan menciptakan sebuah posisi tawar yang lebih tinggi bagi Negara yang memiliki militer yang lebh besar dan kuat bahkan dapat menghentikan klaim dari Negara yang lain yang bersengketa karena khawatir akan kekutan militernya yang besar.
Pertama, sengketa antara Indonesia dan Malaysia belum menemui penyelesaian dimana permasalahan sengketa wilayah masih belum dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak seperti kasus blok laut ambalat yang masih menjadi perdebatan kedua belah pihak hingga saat ini. Apabila kita melihat beberapa proses diplomasi yang di lakukan oleh Pemerintah belakangan ini terkait dengan kasus Ambalat, pelibatan TNI sebagai sarana meningkatkan bargaining position pada proses negosiasi sudah dilakukan, dimana pemerintah Indonesia telah mengirimkan Satgasmar Ambalat yang di terjunkan di sekitar wilayah yang di sengketakan, tidak sampai disana beberapa F-16 TNI AU juga di terjunkan untuk melakukan patroli rutin.[7]
Hal itu cukup ampuh menjadi sarana peningkatan bargaining position bagi Indonesia untuk memberikan pesan kepada Malaysia bahwa ambalat adalah wilayah dari Indonesia dan apabila masih ada pelanggaran batas laut oleh pihak Malaysia maka akan berhadapan dengan pasukan militer Indonesia yang sudah di tugaskan untuk mengamankan wilayah tersebut baik menggunakan pesawat tempur dan kapal – kapal perang.
Dalam kasus ini negosiasi dan penggunaan kekuatan militer sebagai sarananya tidak bisa dipisahkan karena hal ini terkait dengan kepentingan nasional Indonesia dimana di blok yang di persengketan tersebut memiliki kandungan migas yang tinggi[8] sehingga menjadi alasan kuat bagi kedua Negara untuk melakukan klaim selain karena masala administrasi dan pemetaan yang berbeda pada kedua Negara. Penggunaan militer pada diplomasi di kasus ambalat ini dapat di golongkan dalam tahap accommodation dimana kedua belah pihak yang melakukan negosiasi masih dalam tataran penyesuaian data dan belum mengarah pada pertentangan yang secara langsung di utarakan oleh pihak Indonesia dan Malaysia.
Posisi dan peran militer dalam diplomasi yang lebih luas
Tidak hanya terbatas dalam bentuk perundingan tetapi mengacu pada definisi Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan yang mendifinisikan diplomasi secara lebih luas:
”diplomasi merupakan proses keseluruhan yang dilakukan oleh suatu negara dalam melaksanakan hubungan internasional” (Martin Griffiths and Tery O’Callaghan : International Relations : The Key Concepts, 2002, hal.79)[9]
Dengan melihat definisi di atas maka diplomasi dapat juga di artikan secara lebih luas dimana sebuah proses diplomasi yang dilakukan sebuah Negara tidak hanya melalui sebuah proses negosiasi melainkan keseluruhan tindak tanduk Negara dalam melakukan interaksi internasional merupakan sebuah diplomasi. Jika melihat definisi yang di sampaikan Martin Griffiths tersebut maka akan menjadi semakin jelas terlihat bahwa segala tindakan Negara dalam hubungan internasional dapat di golongkan sebagai sebuah deplomasi termasuk pengerahan militer dengan berbagai tujuan seperti oprasi militer perang sampai oprasi militer non perang.
Apabila proses pengerahan militer dalam sebuah interakasi hubungan internasional dilakukan maka hal tersebut dapat di katakan sebagai model diplomasi yang ingin diterapkan suatu Negara untuk menciptakan prestis dan menciptakan opini public internasional karena dalam pergaulan hubungan internasional tidak bisa dilepaskan dari prestis internasional yang selalu di kejar oleh aktornya. Dalam proses diplomasi yang dimaknai lebih luas militer tidak hanya melakukan fungsinya sebagai alat Negara untuk menjadi tameng dalam mempertahanakan eksistensi melainkan juga sebagai alat untuk meraih prestis dan menciptakan imej yang baik di dalam politik internasional.
Pencapaian prestis atau gengsi dalam dunia internasional itu sering dilakukan oleh Negara – Negara di dunia dengan aktif berpartisipasi mengikuti penugasan – penugasan yang di berikan PBB seperi menjadi pasukan perdamaian yang dikirim ke Negara yang sedang mengalami konflik. Hal ini dapat menjadi menciptakan prestis internasional di karenakan pasukan yang dikirimkan harus sudah mencapai standar yang di tetapkan oleh PBB dan tidak semua Negara dapat mengirimkan pasukannya. Selain itu diplomasi dengan militer yang dilakukan dengan menjadi pasukan perdamaian dapat menciptakan imej yang baik pada masyarakat internasional dimana akan muncul imej bahwa Negara yang secara aktif mengirimkan pasukan perdamaiannya secara aktif adalah Negara yang cinta damai dan memberikan andil yang besar dalam perdamaian dunia serta dapat menjadi duta bangsa dalam membangun opini public internasional.
studi kasus yang kedua ini ialah menggunakan pendekatan diplomasi secara lebih luas dimana semua tindakan Negara dalam hubungan internasional di anggap sebagai suatu bentuk diplomasi sesuai yang dikatakan Martin Griffiths and Tery O’Callaghan, dalam bahasan kasus yang kedua ini ingin menguraikan tentang penggunaan Pasukan Garuda sebagai alat diplomasi bagi Indonesia. Kebijakan luar negeri yang di buat suatu Negara sesuai dengan kepentingan nasionalnya, tentang konsep kepentingan nasional, Jack C. Plano dan Roy Olton dalam International Relations Dictionary, menjelaskan bahwa kepentingan nasional sebuah negara adalah kepentingan-kepentingan untuk mempertahankan kelansungan hidup (survival), kemerdekaan dan kedaulatan negara, keamanan, militer dan ekonomi[10] Sedangkan Kepentingan Nasional itu sendiri menurut Morgenthau didefinisikan sebagai penggunaan kekuasaan secara bijaksana untuk menjaga berbagai kepentingan yang dianggap paling vital bagi kelestarian negara-bangsa.[11]
Diplomasi Publik Oleh Militer
Dalam pengiriman pasukan TNI sebagai pasukan perdamaian di bawah bendera PBB ini kepentingan nasional yang ingin di wujudkan Indonesia ialah melindungi keselamatan dan kehormatan bangsa dan ikut serta secara aktif dalam usaha-usaha perdamaian dunia.[12] Memandangnya secara idealistis hal itu merupakan isi dari pembukaan UUD 1945 yang merupakan konstitusi dan dasar segala dasar pembuatan segala kebijakan Indonesia, melihat lebih jauh pengiriman pasukan perdamaian ini juga dapat dilihat sebagai usaha Indonesia untuk membangun citra diri di mata masyarakat internasional sekaligus menjadi duta diplomasi publik bagi Indonesia terhadap masyarakat Negara tempat kontingen garuda bertugas, Paul Sharp berpendapat bahwa Diplomasi publik ialah
“the process by which direct relations with people in a country are pursued to advance interests and extend the values of those being represented” [13]
Dapat di terjemahkan dengan maksud diplomasi publik merupakan suatu proses dimana dilaksanakan hubungan langsung dengan masyarakat di suatu negara guna memperjuangkan kepentingan nasional dan dalam rangka menyebarkan nilai-nilai yang dimilikinya, Anthony Pratkanis memperjelas dengan mendefinisikan diplomasi publik sebagai
“the promotion of the national interest by informing and influencing the citizen of other nations” (Anthony Pratkanis : Public Diplomacy in International Conflicts, 2009, hal.39)[14]
Dengan menggunakan daefinisi di atas kontingen garuda dapat dikatakan telah melakukan diplomasi publik untuk membentuk opini public masyarakat Negara tempat mereka bertugas tentang Indonesia seperti yang di jelaskan Anthony Pratkanis di atas bahwa diplomasi publik adalah mempromosikan kepentingan nasional dengan menginformasikan dan mempengaruhi penduduk dari Negara lain dalam hal ini diplomasi publik di bedakan dengan diplomasi pada umumnya yang cenderung menyentuh pemerintah suatu negara saja. Prajurit TNI yang tergabung dalam Kontingen Garuda telah melakukan berbagai macam kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat Lebanon seperti mengenalkan budaya Indonesia kepada anak – anak di Lebanon melalui program CIMC (Civil Military Coordination[15]) penanaman pohon bersama masyarakat Lebanon[16] selain menjadi pasukan penjaga perdamaian kegiatan ini juga menjadi aspek pentinga dalam membangun opini masyarakat Lebanon bahwa keramahan yang di perlihatkan para prajurit Kontingen Garuda telah mewakili seluruh masyarakat Indonesia dan menjadi tujuan dari sebuah diplomasi public serta ingin menciptakan kesan kepada masyarakat internasional umumnya dan masyarakat Lebanon khususnya bahwa Indonesia adalah negara yang cinta damai.
Penutup
Bergesernya bentuk tingkah laku Negara paska Perang Dunia II dalam menyelesaikan permasalahan dari agresif menjadi cenderung mengedepankan cara – cara yang lebih soft melalui negosiasi tidak menghilangkan pentingnya peran militer meskipun di era ini ancaman eksternal yang berasal dari Negara lain kepada sesama Negara yang berdaulat memiliki peluang yang kecil untuk dapat terjadi karena meningkatnya peran lembaga – lembaga internasional seperti PBB melalui konsultasi dan negosiasi, namun hal itu tidak akan pernah mampu menghapus peranan militer yang sangat penting dalam menjadi sarana meningkatkan posisi tawar sebuah Negara dalam berdiplomasi dengan Negara lain serta menjaga eksisnya suatu Negara.
Daftar Pustaka
- Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar 2009, hal. 98
- Pamer ‘Otot’, Cina Uji Coba Kedua Pelayaran Kapal Induknya
- http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/11/29/
lvf0yx-pamer-otot-cina-uji-coba-kedua-pelayaran-kapal-induknya di akses tanggal 12 Juni 2012 pukul 17.00 WIB. - S.L. Roy, Diplomasi, PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 16
- H.J Morgenthau, Politik Antar Bangsa, direvisi oleh Kenneth W. Thompson, ed. V,
- buku 1, Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal.180-218.
- S.L. Roy, Diplomasi, PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 3
- Id. at 17.
- Marinir Berangkat ke Ambalat http://www.antaranews.com/print/1262002612/marinir-berangkat-ke-ambalat di akses tanggal 13 Juni 2012 pukul 20.00 WIB.
- Cadangan Minyak dan Gas Ambalat Sangat Besar http://www.tempo.co/read/news/2009/06/02/090179337/Cadangan-Minyak-dan-Gas-Ambalat-Sangat-Besar
- Martin Griffiths and Tery O’Callaghan : International Relations : The Key Concepts, 2002, hal.79 dapat dilihat di http://tni.mil.id/kontingen.docx di akses tanggal 13 Juni 2012 pukul 19.00 WIB.
- Jack. C. Planodan Roy Olton, International Relation Dictionary. CLIO Press LTB, England
- 1982, terjemahan Wawan Juanda Abardin, hal 7.
- Mohtar Masoe’d, Ilmu Hubungan Internasional (Disiplin dan Metodologi). LP3ES Jakarta, hal. 18.
- Kontingen Garuda, Wujud Implementasi Diplomasi Militer TNI, hal. 1
- (Oleh : Mayor Chb Sandy Maulana Prakasa,S.Ikom) dapat dilihat di http://tni.mil.id/kontingen.docx di akses tanggal 13 Juni 2012 pukul 19.00 WIB.
- Tabloid Diplomasi, No. 30 Tahun III, 15 Juli – 14 Agustus 2009 http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2010/DIPLOMASI%20April%202010_2.pdf di akses tanggal 13 Juni 2012 pukul 22.00 WIB.
- Kontingen Garuda XXIII-D Laksanakan Tanam Pohon Bersama Masyarakat Houla Di Lebanon Selatan http://www.tni.mil.id/index2.php?page=detailindex.html&nw_code=2011200920111894 di akses tanggal 14 Juni 2012 pukul 2.05 WIB.
- [1] Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar 2009, hal. 98
- [2]Pamer ‘Otot’, Cina Uji Coba Kedua Pelayaran Kapal Induknya http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/11/29/
lvf0yx-pamer-otot-cina-uji-coba-kedua-pelayaran-kapal-induknya - [3] S.L. Roy, Diplomasi, PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 16
- [4] H.J Morgenthau, Politik Antar Bangsa, direvisi oleh Kenneth W. Thompson, ed. V,
- buku 1, Yayasan Obor Indonesia, 1990, hal.180-218.
- [5] S.L. Roy, Diplomasi, PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 3
- [6] Id. at 17.
- [7] Marinir Berangkat ke Ambalat http://www.antaranews.com/print/1262002612/marinir-berangkat-ke-ambalat
- [8] Cadangan Minyak dan Gas Ambalat Sangat Besar http://www.tempo.co/read/news/2009/06/02/090179337/Cadangan-Minyak-dan-Gas-Ambalat-Sangat-Besar
- [9] Martin Griffiths and Tery O’Callaghan : International Relations : The Key Concepts, 2002, hal.79 dapat dilihat di http://tni.mil.id/kontingen.docx
- [10] Jack. C. Planodan Roy Olton, International Relation Dictionary. CLIO Press LTB, England
- 1982, terjemahan Wawan Juanda Abardin, hal 7.
- [11] Mohtar Masoe’d, Ilmu Hubungan Internasional (Disiplin dan Metodologi). LP3ES Jakarta, hal. 18.
- [12] Kontingen Garuda, Wujud Implementasi Diplomasi Militer TNI, hal. 1
- (Oleh : Mayor Chb Sandy Maulana Prakasa,S.Ikom) dapat dilihat di http://tni.mil.id/kontingen.docx
- [13] Id. at 3.
- [14] Ibid.
- [15] Tabloid Diplomasi, No. 30 Tahun III, 15 Juli – 14 Agustus 2009 http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2010/DIPLOMASI%20April%202010_2.pdf
- [16] KONTINGEN GARUDA XXIII-D LAKSANAKAN TANAM POHON BERSAMA MASYARAKAT HOULA DI LEBANON SELATAN http://www.tni.mil.id/index2.php?page=detailindex.html&nw_code=2011200920111894
Tulisan menarik mas…
Jika Amerika Serikat mempunya “90,000 tons of diplomacy” dengan menggunakan armada kapal indul, sudah seharusnya TNI memikirkan cara sejenis untuk mendukung diplomasi Indonesia…
Diplomasi bisa dikategorikan sebagai “soft power” ke arah luar…artinya untuk menghadapi external threat berupa “soft power” juga…karena kegiatan yg dilakukan dalam merebut sipadan dan ligitan yg dilakukan oleh tetangga kita tersebut merupakan kegiatan “soft power” ketika mereka berhaasil merebut hati masyarakat dengan melengkapi fasilitas yg diinginkan.
Perlu di ingat, bahwa pengakuan suatu negara sebagai komponen terpentingnya adalah rakyat, jika suatu wilayah yang rakyatnya mengakui bagian dari suatu negara maka secara de facto wilayah tersebut masuk dalam bagian negara yg diinginkannya, walaupun de yure belum…
Jadi kewaspadaan terhadap diplomasi yang lemah adalah agenda yg harus diperhatikan tentunya dengan bargaining kekuatan militer yg disampaikan diatas…
Menarik sekali mas Fahmy…
Salute for You!
Mas Bambang : betul mas,negara major power seperti USA kecenderungannya dengan cara cara seperti itu,sehingga masyarakat suatu negara sering menilai keberadaan tentara USA sebagai suatu ancaman walau yg dilakukan USA itu sah sah saja dalam politik internasional. tapi yang menarik adalah cara kita mengirimkan pasukan perdamaian menciptakan diplomasi publik yg efektif di negara penerimanya,masyarakat disana merasa nyaman dengan prajurit kita 😀
Mas Brata : terima kasih mas,maaf kalo masih ada banyak tulisan dan tata bahasa yg berantakan soalnya masih belajar nulis,mohon bimbingannya hehehe
betul mas,diplomasi merupakan soft power ke arah luar untuk menghadapi external threat yg bersifat soft power juga,oleh karena itu sarana – sarana diplomasi kita harus kuat juga mulai dari militernya hingga masyarakatnya yg memiliki kebanggaan nasional bisa menjadi suatu nasional power.
Bagus banget bro….lanjutin yaaa..:)