Ketika Masyarakat Overdosis Berita Buruk
Setiap hari aku melihat, banyak peristiwa yang terungkap, ada yang membunuh ayahnya, ada yang membuang anaknya, bahkan ada yang merasa dialah sang kuasa
Dunia semakin gila, dunia sudah semakin gila, berita hari ini esok hari dan kemarin, sama saja tak ada bedanya, manusia hilang akalnya, dunia semakin gila, dunia sudah semakin gila
Sahabat KERIS
Lirik lagu diatas yang diciptakan oleh grup band Superglad di album Never Die Tahun 2009 yang liriknya cukup mengkritik keadaan media/pemberitaan Indonesia belakangan ini. Hari demi hari masyarakat disuguhkan pemberitaan yang hampir 80% merupakan berita buruk mengenai kondisi Bangsa Indonesia, seperti korupsi yang semakin hari semakin menjadi-jadi, politik yang kadang tanpa arah yang lebih mirip sebuah sinetron daripada kehidupan politik bernegara, kemiskinan yang semakin tampak didepan mata walaupun ditutup dengan berbagai klaim dan data, kedaulatan dan perbatasan Negara yang sering dilanggar oleh Negara lain, mudahnya terjadi bentrok diberbagai belahan negeri antar sesame anak Bangsa seakan menghilangkan sifat kebhinekaan yang menjadi nafas dari terbentuknya Negara ini, dan masih banyak lagi cerita atau kisah buruk tentang Indonesia.
Rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu adalah merupakan sifat dasar manusia. Kebutuhan tersebut semakin dirasakan di tengah dinamika kehidupan saat ini yang terasa begitu cepat berubah. Disinilah media massa sebagai penyedia berita berperan, terutama dalam memberikan akses bagi orang-orang untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan. Setiap ada berita tentang kebobrokan maupun keburukan negara ini, maka itulah yang sedang ramai atau akan menjadi trendsetter dan dibicarakan masyarakat negeri sendiri, dari dunia nyata sampai dengan dunia maya. Kondisi ini sangat berbeda apabila yang menjadi berita adalah kesuksesan yang dicapai oleh Negara semisal ekonomi Indonesia yang cukup positif dan stabil atau kemenangan pasangan pebulu tangkis Indonesia, Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir membawa pulang satu-satunya trofi juara All England Tahun 2012 dan mengobati kekecewaan Indonesia yang haus gelar bergengsi di turnamen bulu tangkis berskala internasional setelah 33 tahun lamanya. Seharusnya kedua contoh kesuksesan Bangsa tersebut juga diangkat sebagai menjadi trendsetter pemberitaan sehingga masyarakat dapat optimis untuk memajukan Bangsa dan Negara.
Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir Juara All England Tahun 2012, (http://sport.okezone.com)
Beberapa media baik cetak,elektronik maupun online dewasa ini terkesan membesar-besarkan masalah yang ada dengan menggunakan bahasa, cara penulisan judul maupun isi berita maupun dengan durasi pemberitaan yang kadang tidak seimbang. Padahal yang namanya berita harus tunduk dengan etika-etika pers dan jurnalistik. Sebuah berita media massa yang baik harus bisa menjaga image perusahaan tersebut dan bersikap netral terhadap siapa pun yang sedang diliput dan hendaknya berimbang, mana yang perlu diberitakan dalam jangka waktu tertentu dan mana yang perlu dihentikan karena kejadian yang sama lebih mudah terulang dan menjadi efek domino pada peristiwa yang sama bila tayangan atau pemberitaan terus diulang-ulang (seperti misalnya kerusuhan, kekerasan dan lain-lain). hal ini sesuai dengan teori “Bawah Sadar Kolektif Unconscious Collective” dan “Sinkronisasi” karya Carl Jung. Dalam teori tersebut, d ijelaskan bagaimana berita yang dibaca atau didengarkan melalui indra akan masuk ke dalam otak bawah sadar manusia, Di bawah sadar informasi ini menjadi energi dan secara segaja atau tidak sengaja tertransfer (tersinkronisasi) ke bawah sadar kolektif manusia .
Tren Jangkauan Media 2005 – 2015 (DEPKOMINFO 2011)
Sebuah kekhawatiran yang wajar apabila media tak punya bahan atau kemauan untuk memberitakan sesuatu yang optimis, atau mengutamakan semboyan good news is not news, bad news is good news for rank and money maka masyarakat akan menjadi acuh terhadap lingkungan sekitar bahkan terhadap Bangsa dan Negara dan bermuara pada hilangnya rasa cinta air dan kebanggaan sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
hmm, terkadang ini menjadi polemik yang sangat saya sesalkan….
dimana tidak ada buffer dalam pemberitaan,
nonstop pemberitaan yang buruk terus menerus ditayangkan, sedangkan penderitaan kabar baik, mendapatkan space yang sangat sedikit, ini bukan hanya si oposisi A punya media lengkap dan sebagainya dan incumbent ga punya apa-apa.
tapi ini soal pemikiran kebangsaan, bahwa pemikiran kebangsaan tidak hanya sebatas meja Debat baik politikus dan mahasiswa, pemikiran kebangsaan juga meliputi bagaimana sebuah kelemahan bangsa dan kelebihannya di kupas menjadi sebuah “roda” yang bisa berputar, walau bannya telah tercuil dan rusak, tapi poros sumbu-sumbunya tetap kuat. sehingga seburuk apapun yang terlihat diluar, tapi kedalam, persatuan dan saling toleransi itu tetap kokoh seandainya pemikiran kebangsaan terpegang teguh.
sayangnya media tidak menjembatani antara poros sumbu ini dengan ban.. sehingga cenderung menjadi duri bermata dua, yang merusak Bannya, maupun poros sumbu….
mudah saja dalam membetulkannya yaitu cabut dan betulkan yang menjadi duri,
sama halnya media, Cabut yang menjadi pengganggu dalam independensinya dan bersihkan media dari isi nya yang hanya mengejar berita cacat, menjadi isi yang mengejar berita yang mengundang aura positif, sehingga pemikiran kebangsaan bisa pulih perlahan-lahan tapi pasti
Jadi ingat mengenai konsep CSR-nya media menurut bapak Dahlan Iskan. Menurut beliau, CSR-nya media bukanlah kegiatan “bagi-bagi rizqi” seperti yang sering ditampakkan korporasi-korporasi yang ada di Indonesia, tapi bagaimana media mampu menyampaikan pemberitaan yang objektif, adil, dan edukatif. Saya sepakat dengan penulis, bahwa pemberitaan hal-hal negatif yang terus-menerus dalam jangka panjang akan membentuk mental dan kepribadian bagi siapapun yang menyimaknya. Hal ini baik untuk kita jadikan renungan bersama. Dari sisi pelaku media, hendaknya lebih selektif dalam memilih berita yang mencerdaskan dan mencerahkan. Sebaliknya, dari sisi penyimak media, agar tidak langsung menyerap informasi apapun yang diberitakan. Karena kita semua rakyat Indonesia. Karena kita semua adalah elemen yang ikut membentuk dan mewarnai “rumah” Indonesia. Karena – mengutip dari header di atas – ketika kita bermimpi, ketika kita belajar, ketika kita berkomentar, ketika kita berdiskusi, ketika kita berfikir, ketika kita menulis, ketika kita bekerja, semua itu adalah untuk Indonesia. Tentunya untuk Indonesia yang lebih baik..
Setuju om… tapi alangkah sedihnya jika media sekarang sudah menjadi kepanjangan tangan pihak-pihak yang mempunyai tujuan politik, jadi ada beberapa media yg menurut saya sudah terseret ke ranah politik dalam penyampaiannya, sehingga pemberitaan yang objektif, adil dan edukatif itu sudah tidak berkesan lagi.
Betul mas…
belum lagi kondisi masyarakat kita yang “latah” dan mudah sekali terhasut seharusnya membuat siapapun yang mempunyai tugas sebagai pencari dan penyamapai Informasi untuk lebih mengutakan hati nurani dari sekedar rangking semata. Selain itu, seharus pemerintah juga harus mempunyai media publik yang lebih luwes dan tidak sebatas fungsi Humas yang kadang sangat kaku..
Salam
Kenapa ya koq pemerintah tidak memberdayakan kementrian penerangan, jd bisa untuk mengcover pemberitaan media yang terlalu keblabasan, jadi masyarakat bisa menarik kesimpulan dari argumen yang disodorkan oleh kedua belah pihak yaitu media dan pemerintah. Jadi intinya masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh pemberitaan yang terkadang mempunyai unsur politis, tidak berdasarkan fakta yang ada.
sebenernya menurutku tugas kementrian penerangan bisa dialihkan kementrian komunikasi sebagai corong untuk menjembatani antara informasi yang sudah beredar di masyarakat dengan apa yang terjadi versi pemerintah.. Namun entah mengapa selama ini fungsi tersebut kurang djmaksimalkan menurut saya..
Seharusnya iya mas..
KEMINFO seharusnya memang menjadi fungsi HUMAS Negara yang dapat memberikan Informasi yang berimbang dan wisdom-wisdom kemajuan Bangsa. alangkah sayang jika fungsinya yang dirasakan saat ini masih berfokus kepada pornografi saja.
nimbruk
begitulah media, mereka-mereka hanya mau memuat berita yang sedang trend dan hangat-hangatnya demi menaikkan rate agar media tersebut meiliki “nama”, kalaupun ada media-media yang meng counter hal tersebut tetap saja nanti media (yang mecounter) kalah dalam hal pemberitaannya. ini dikarenakan untuk menjadi yang terdepan dalam pemberitaan kalau pun ada yang mecounter apabila dia juga mau menaikkan rate ya mereka harus pandai-pandai menggunakkan bahasa-bahasa/gaya Jurnalisme yang lain
sedangkan untuk etika pers atau jurnalistik saat ini di Indonesia belum bisa diterapkan malah dijadikan sebagai alat untuk menghasut……dan menurut saya sendiri dibentuknya AJI/Aliansi Jurnalistik Independen maupun PWI sendiri pun tidak memunculkan jalan terbaik untuk saat ini…