Helikopter Sebagai Bagian Yang Tidak Terpisahkan dari Armada Kapal Perang
Realitas peperangan modern menuntut bahwa sebuah kapal perang (Kapal Republik Indonesia (KRI)- red) mampu untuk bertarung sendiri ditengah lautan menghadapi segala ancaman yang ada. Bila menilik kemampuan KRI kita maka ditengah segala keterbatasan yang ada, maka KRI kita cukup mampu menghadapi ancaman yang ada. Setiap KRI terutama Van Speijk Class dan Sigma Class memiliki radar yang mampu mendeteksi pergerakan kapal dalam radius tertentu, memiliki rudal SSM dari berbagai varian dan SAM untuk perlindungan udara jenis Mistral dengan segala kekurangannya. Tapi KRI yang kita miliki sekarang memiliki kekurangan yang cukup fatal dalam peperangan modern, yaitu ketiadaan helicopter yang melekat secara permanen di setiap KRI. KRI hanya dilengkapi dengan helikopter NBO -150 untuk penugasan Internasional seperti ikut serta dalam UNIFIL di Lebanon dan misi pembebasan sandera di Somalia. Berikut kami paparkan pentingnya sebuah helikopter yang melekat pada sebuah KRI:
Misi Surveillance
Dengan radar yang dimiliki oleh sebuah KRI, maka dapat dideteksi pergerakan kapal diatas permukaan laut tetapi untuk melakukan pengecekan secara langsung harus diterbangkan helikopter untuk melakukan pengecekan. Hal ini dipraktekkan saat misi pembebasan sandera di Somalia, helikopter NBO-105 diterbangkan untuk melakukan pengecekan.
Over The Horizon Surveillance & Targeting
Sejak orang mengenal bahwa bumi bulat, maka jarak pandang manusia akan terbatas oleh kelengkungan bumi. Jarak maksimal yang bisa dilihat manusia secara mendatar inilah yang disebut jarak horizon. Horizon membuat manusia tidak bisa melihat benda dibalik lengkung bumi atau dibawah horizon. Seperti mata manusia, radar kapal permukaan juga harus mengikuti hukum fisis sehingga jangkauannya berkisar pada jarak horizon juga. Kenyataan terbatasnya daya pandang radar untuk target dibalik horizon membuat kapal perang mempunyai keterbatasan dalam melihat target/lawan dibalik horizon, baik yang berupa kapal, pesawat/heli yang terbang rendah, maupun sea skimming missile. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, armada kapal permukaan harus mengandalkan bantuan alutsista lain seperti heli/pesawat ber-radar maritim. Contoh paling gampang, saat Indonesia akan melakukan ujicoba penembakan rudal Yakhont dari KRI OWA (354). Yakhont yang memiliki jarak tembak maksimal 300 km, hanya ditembakkan menggunakan metode input data numerik, bukan input data radar. Hal itu dikarenakan radar dari KRI OWA tidak dapat menjangkau sasaran pada jarak 300 km dan tidak ada helicopter atau pesawat yang menginput sasaran pada jarak tersebut. Sangat disayangkan kita memiliki senjata yang memiliki jarak tembak jauh tetapi tidak dapat dimaksimalkan karena kekurangan peralatan pendukung. Sebenarnya, sistem radar untuk helikopter beratnya hanya sekitar 100kg, contohnya Oceanmaster, produk dari Thales yang sudah digunakan TNI, berat totalnya hanyalah sekitar 85kg, ditambah dengan datalink LINK-Y Mk2 seberat 6kg pun belum mencapai 100kg.
Anti Submarine Warfare
Fungsi terakhir yang tidak kalah penting adalah untuk menghadapi peperangan anti kapal selam. Peperangan anti kapal selam menjadi fungsi vital dalam pertahanan armada. Perkembangan teknologi telah membuat kapal selam menjadi salah satu ancaman terbesar bagi armada kapal permukaan. Sampai saat ini salah satu metode efektif untuk mendeteksi kapal selam adalah dengan menggunakan helikopter yang dilengkapi sonar celup yang bisa diatur kedalamannya, sehingga bisa mencari kapal selam yang tersembunyi di kedalaman maupun di permukaan. Apabila kapal selam sudah terdeteksi, eksekusi bisa dilakukan heli melalui torpedo ringan yang dibawanya maupun oleh armada kapal permukaan yang ada di sekitarnya setelah data posisi kapal selam ditransmisikan ke kapal kawan. Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan menggotong torpedo ringan (Light Weight Torpedo, LWT) menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi sebuah heli Anti Kapal Selam agar mampu melaksanakan fungsi deteksi dan eksekusi secara mandiri sehingga mampu melindungi armada kawan dari serangan kapal selam musuh.
Jika suatu saat TNI AL berniat untuk melengkapi KRI nya dengan helicopter, maka ada beberapa syarat yang mutlak untuk dipertimbangkan:
Integrasi dengan KRI
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa untuk seluruh fungsi komunikasi di KRI kelas SIGMA menggunakan produk dari produsen yang sama yaitu Thales, sehingga untuk dapat melakukan 3 fungsi diatas helikopter yang akan melekat di KRI menggunakan sistem komunikasi (datalink) yang sama atau kompatibel. Sehingga apapun helikopter yang akan dipilih nantinya menggunakan produk komunikasi yang kompatibel dengan produk Thales yang telah terpasang di KRI kelas SIGMA. Sebagai contoh adalah heli kelas Panther yang sudah terbukti mampu mengusung peralatan buatan Thales dalam fungsinya sebagai komponen kapal perang. Integrasi dengan KRI akan terjadi melalui datalink LINK-Y Mk2 yang sudah terdapat di korvet kelas SIGMA. Dengan adanya LINK-Y versi airborne di helikopter yang akan diakuisi TNI AL, maka bisa terjadi pertukaran data tangkapan radar maupun deteksi kapal selam antara Kapal dan Helikopter. Karena belum adanya helikopter yang memiliki fasilitas datalink di inventori TNI AL, maka saat ini pertukaran data via datalink LINK-Y Mk2 hanya terjadi diantara kapal kelas SIGMA.
Berat dan Dimensi helicopter
Kemampuan mengusung helicopter di KRI sepenuhnya juga tergantung dari bobot helicopter. Bobot helicopter yang diusung oleh Van Speijk Class dan Sigma Class tentunya berbeda, tetapi mengingat PKR yang nanti akan menjadi inti dari kekuatan pemukul TNI AL, maka sebaiknya mencari helicopter yang memiliki bobot yang diangkut oleh Sigma dan PKR. Van Speijk sendiri by design dirancang untuk mampu menampung heli sekelas Lynx. Disarankan untuk bijak dalam memilih berat dan dimensi helikopter sehingga nantinya mampu diusung oleh KRI-KRI yang mempunyai tempat pendaratan helikopter. Walaupun tak bisa dipungkiri berat dan dimensi akan berkorelasi dengan peralatan yang dibawa dan lamanya terbang sebuah helikopter. Di satu sisi jika ingin menggunakan heli yang bisa diakomodir semua KRI, maka akan terbatas pada Heli kelas 5 ton karena Nala dan SIGMA kemampuan maksimalnya adalah helikopter 5 ton. Sedangkan jika ingin mengakomodir fungsi yang lebih lengkap dari sebuah helikopter diperlukan heli kelas 8-10ton. Namun, penggunaan heli kelas 5 ton pun sebenarnya bisa mencukupi asalkan peralatan radar maritim, ASW (Anti submarine Warfare) Suite, dan datalink-nya bisa dibawa heli tersebut.
Penggunaan Roda
Masalah penggunaan roda atau skid walaupun terlihat sepele, namun pada prakteknya adalah hal yang krusial. Penggunaan roda membuat pendaratan lebih smooth terlebih pada saat cuaca yang kurang baik. Hal ini penting karena hard landing memberikan resiko structural stress pada heli terutama rotornya (main dan tail rotor), akibatnya harus sering dilakukan rekalibrasi (menambah waktu dan tenaga pemeliharaan- tidak menguntungkan pada masa perang). Selain itu dengan penggunaan roda, helicopter lebih mudah untuk dipindahkan ke hangar. Tentu saja ada kekurangan dari penggunaan roda yaitu lebih rumit dalam perawatannya karena merupakan komponen bergerak yang memiliki resiko aus akibat pemakaian dibandingkan dengan skid. Oleh karena itu penggunaan landing gear berbetuk roda sangat disarankan.
Ketersediaan Hangar bagi Helikopter
Berbicara tentang penempatan heli yang permanen di KRI, maka perlu diipertimbangkan pula masalah ketersediaan hangar bagi helikopter. Kekurangan dari beberapa kapal yang tergabung dalam Satuan Eskorta adalah tidak adanya hangar yang sangat berfungsi dalam hal proteksi bagi helikopter dari cuaca ekstrim dan korosi terlebih di perairan dengan tingkat penguapan dan salinitas yang tinggi. Selain itu ruang dalam hangar dapat digunakan untuk menyimpan peralatan, suku cadang, dan persenjataan helikopter. Ini akan memberikan keuntungan¬¬ bila KRI beroperasi jauh dari pangkalan. Dalam brosur yang ditawarkan oleh pihak pabrikan biasanya disertakan opsi hangar. Untuk solusi murah mungkin bisa dipertimbangkan dan dikaji tentang modifikasi KRI yang belum memiliki hangar dengan penempatan telescopic hangar yang hemat tempat dan lebih murah dari hangar permanen (seperti pada KRI Nala yang menggunakan produk buatan Mafo). Selain itu karena bobotnya yang relative ringan dapat memperkecil resiko membengkaknya top weight pada KRI tersebut.
Tren saat ini dari segi bobot heli untuk misi ASuW/ ASW adalah semakin berat berbanding lurus dengan tuntutan kebutuhan akan endurance/kemampuan loitering yang tinggi dan juga kepabilitas peran yang diemban heli-heli versi AL. Ini yang barangkali perlu dicermati dalam akuisisi KRI di masa yang akan datang.
Sekian dan Terima Kasih
Ada satu lagi yang bisa menjadi aspek dalam pemilihan heli: Generik atau Spesifik. Generik artinya bisa heli apa saja yang kemudian dimodifikasi, istilah kerennya navalized, misalnya menambah proteksi anti karat. Atau memilih heli Spesifik yang dari awal dirancang untuk tugas2 di atas kapal. Contoh gampangnya adalah bilah rotor utama yang bisa dilipat sehingga bisa menghemat tempat penyimpanan.
Keuntungan heli Generik adalah tersedianya pilihan platform yang ada, tinggal disesuaikan dengan tugas dan misi, misalnya NBO-105, NBell 412 atau NAS 330/332 kalau melihat apa yang ada di PT DI.
Keuntungan heli Spesifik adalah tidak perlu lagi modifikasi walaupun pilihannya hanya sedikit, misalnya WASP, Sea Lynx, Sea Hawk, Seasprite.
betul sekali pak Novan, generik atau spesifik memang bisa dibilang menjadi dua pilihan mendasar dalam membeli heli yang akan beroperasi di lingkungan laut. Tentu akan memiliki kelebihan masing-masing. Dimana misalnya untuk navalized tentu modifikasi2 yang dilakukan bisa cukup banyak (misalnya menambah proteksi anti karat, mengganti bilah, mengganti skid menjadi roda dsb) tapi disatu sisi bisa menyederhanakan logistik ketika beroperasi secara tri-matra karena bisa disamakan dengan matra lain. Disisi yang lain, heli spesifik memang jelas lebih bisa segera digunakan, tetapi akan mendiversifikasi kebutuhan logistik.
Terima kasih masukannya pak 🙂
Salam
Yup, kalo memang dana terbatas mau tidak mau kembali pada prinsip Integration, Rationalization and Standardization sehingga operasi tri-matra bisa lebih mudah dan murah mengurusnya.
Tinggal hitung2an cost and benefit antara ISR dengan modifikasi navalized yang dibutuhkan. Kelihatannyaa sih lebih murah dan mudah kalo seragam ya…. terutama dalam jangka panjang.
Masalahnnya, tri-matra mau tidak diajak untuk menerapkan prinsip ini?
Platform dulu atau misi dulu? Kalau menerapkan ISR ya berarti ditekankan pada keseragaman platform.
melihat keadaan sekarang dimana antar matra nampaknya masih kurang melirik konsep ISR memang menjadi sebuah concern tersendiri pak.
Ya, platform dulu atau misi dulu, kalau sepengetahuan saya, dulu NBO-105 TNI AL pernah akan dipasangi Radar Oceanmaster, tapi kalau tidak salah alasan evaluasi performa membuat radar tersebut dicopot kembali, mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa arahnya mau ke yang spesifik untuk misi Naval. Selain tentu saja, restriksi dimensi dan kemampuan helipad KRI-KRI seperti SIGMA, Nala, Barakuda membuat kita harus bermain di kisaran 5 ton, dengan dimensi yang terbatas. Nbell 412 saja di SIGMA kepanjangan, dimana hal ini tentu harus menjadi pertimbangan tersendiri.
Namun, tentu saja harus dilihat hitungannya, kalaupun pakai heli spesifik asal jumlahnya cukup banyak dari sisi logistik kalau terpaksa bisa menggunakan salah satu heli untuk ‘gudang’ spare part jika mendesak. Karena menurut pendapat saya, sah-sah saja pak melakukan praktek ini, lha RAF yang kesohor saja melakukan kanibalisasi di Typhoon mereka dengan alasan dana, hehehe. Yang susah adalah belinya heli spesifik, jumlahnya cuman dikit, produsen spare partnya cuman 1 perusahaan. Hal yang seperti itu bisa mengarah ke ketergantungan terhadap satu pihak, dimana secara strategis kita harus memastikan opsi kita masih ada kalau produsen menolak memberikan suku cadang.
knp yg di beli seaspirit ya knp ga seaking az