Fenomena Interaksi Sosial Berkompetisi Menghilangkan Konflik Menuju Asimilasi
“There are two kinds of people, those who do the work and those who take the credit. Try to be in the first group; there is less competition there” – Indira Ghandi –
Abstrak
Selalu hadir sejak manusia pertama hidup di dunia adalah munculnya sebuah perjuangan untuk menunjukan eksistensi di hadapan seluruh masyarakat maupun penduduk dunia. Ketika Habil dan Qabil putra Adam saling memperebutkan keinginan yang berujung pada terbunuh salah satu antara mereka. Sebuah fenomena alam yang saat ini kita namakan dengan kompetisi dan kemudian dari sebuah kompetisi tersebut tidak jarang pula menjadi sebuah konflik menuju peperangan atau pembunuhan. Kompetisi berawal dari kebutuhan biologis manusia, dimana manusia yang selalu berjuang dalam hidupnya untuk mendapatkan makanan maupun pasangan adalah termasuk salah satu sifat dasar manusia yang tidak dapat dihindari. Berangkat dari kebutuhan biologis kemudian menuntut individu untuk unjuk kemampuan dalam kekuatan ekonomi yang akhirnya pada masa modern saat ini fenomena tersebut semakin berkembang pada tingkat politik nasional maupun internasional. Tulisan ini dibuat bertujuan untuk menunjukkan kompetisi dalam proses hubungan sosial menuju kepada akomodasi dan asimilasi tanpa konflik dengan harapan berguna bagi siapa pun yang membaca didalam menjalin interaksi sosial bersama lingkungan sekitar maupun dalam lingkungan hubungan berbangsa dan bernegara.
Kompetisi Sebagai Proses Dari Sebuah Interaksi
Terdapat empat pilar dalam proses interaksi – kompetisi, konflik, akomodasi dan asimilasi. Dalam interaksi sosial tersebut kompetisi adalah yang paling mendasari diantara keempatnya, dimana di dalam konflik, akomodasi maupun asimilasi selalu terdapat unsur kompetisi. Kita ketahui bahwa konflik adalah ketika individu maupun kelompok yang berkompetisi telah melakukan kontak yang nyata dan tidak dapat menemukan solusi dari perbedaan yang terjadi diantara kedua belah pihak. Namun, ketika individu atau kelompok tersebut bisa ada yang mau mengalah maka gugurlah apa yang dinamakan konflik yang kemudian disebut dengan akomodasi ketika salah satunya mau mengakomodir demi terhindarnya perpecahan. Saling ko-operasi dari awal akomodasi kemudian menjadi proses asimilasi dimana sudah terjadi pembauran ide untuk mau saling mendukung dan menggapai cita-cita bersama untuk satu tujuan yang sama pula.
Kompetisi Dalam Kerjasama Kompetitif
Hubungan sosial yang dalam pembahasan ini sangat dipengaruhi oleh kontak sosial dari individu kepada individu lain juga dalam bentuk kelompok. Kontak sosial yang telah membawa sebuah kompetisi menjadi sebuah konflik, akomodasi maupun asimilasi menciptakan bentuk simpati, prasangka dan hubungan moral yang dapat merubah bentuk kompetisi atau mengontrolnya menuju arah yang baik dan buruk tergantung daripada sisi mana individu atau kelompok tersebut menilai. Ketika semua merasa bebas untuk menetukan keuntungan sebesar-besarnya untuk pribadi karena kompetisi cenderung menciptakan suatu tatanan sosial untuk kepentingan pribadi. Manusia boleh berkata salig “kerjasama”, “gotong royong”, “ringan sama dipikul, berat sama dijinjing” tetapi jangan lupa bahwa interaksi sosial telah menampilkan fenomena manusia selalu mengatakan “bisnis adalah bisnis”, “jangan campur adukan bisnis dengan perasaan” dan memang, bisnis adalah “kejam”. Sifat dasar manusia dalam berhubungan sosial telah mentakdirkan bahwa sebaik apapun kerjasama yang dilakukan individu atau kelompok tetap di dalamnya terdapat sifat kompetisi. Tinggal bagaimana cara individu atau kelompok tersebut untuk dapat mengalihkan kompetisi menjadi terakomodasi dan asimilasi, bukan menuju kepada konflik.
Kompetisi Menjadi Sebuah Konflik
Dengan melihat dan menilai dari pembahasan di atas sehingga kita dapat ambil sedikit benang merah untuk diluruskan agar sebuah interaksi sosial yang bernama kompetisi tidak mengarah kepada konflik. Untuk dapat menghindari konflik dalam suatu kompetisi maka terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, antara lain:
- Conscious Competition, merupakan kesadaran pribadi dari diri individu untuk sadar akan posisi dirinya dalam suatu kompetisi memiliki kebanggaan harus disertai dengan kerendahan hati, mengetahui bahwa kontak dan konflik akan muncul dari seseorang oleh seseorang lainnya dimana dalam kehidupan ini selalu terdapat pro dan kontra, sisi positip dan negative, kesombongan dan harga diri, rasa kasihan dan rasa jijik; sebagaimana munculnya prasangka dalam perbedaan ras; merasa ingin menang sendiri dan menganggap kelompoknya yang paling benar (chauvinism); perbedaan kelas dan kasta dan berbagai macam perangkat sosial lainnya yang selalu mempertahankan “jarak” atau perbedaan antar individu dan kelompok.
- War, Instincts and Ideals, Perang, adalah salah satu bentuk dari konflik dimana permusuhan yang ditimbulkan akibat dari suatu kepentingan. Demi sebuah kata “kepentingan” tersebut sehingga perang terjadi dan mengeluarkan energy yang sangat besar serta menghabiskan sumber daya yang tidak kecil jumlahnya. Sebuah agresi militer untuk memenangkan kepentingan tersebut selalu diselenggarakan untuk menghapuskan kebebasan dari suatu negeri kemudian menghabiskan kerugian kolosal. Bagi pihak pemenang akan mendapatkan kemuliaan, kehormatan dan keamanan; untuk pihak yang kalah akan mendapatkan hal yang sama dalam bentuk kehilangan. Instinct, sebuah naluri manusia dalam bentuk konflik dituangkan sebagai perang, disatu sisi individu atau kelompok menjalankan perang sebagai bentuk nalurinya sebagai manusia, namun disisi lain pun naluri manusia untuk ingin tetap hidup damai perlu dijadikan bahan pertimbangan agar tidak perlu terjadinya sebuah kompetisi yang mengarah kepada konflik terutama jika berkelanjutan konflik tersebut diwujudkan dalam sebuah peperangan.
- Rivalry, Cultural Conflicts, And Social Organization. Rivalitas adalah suatu bentuk luas dari konflik dimana perjuangan individu atau kelompok untuk meraih kesejahteraan individu atau kelompok itu sendiri dan bersifat inklusif. Rivalitas kemudian dapat juga diartikan sebagai konflik yang dikendalikan oleh kelompok. Sebuah survei telah membuktikan bahwa fenomena kompetisi akan membawa perannya sebagai suatu kekuatan pengorganisasian dalam kehidupan kelompok dengan tujuan yang tetap ke arah perjuangan untuk bertahan hidup dengan kesuksesan tertinggi.
Kompetisi Tidak Mengarah Kepada Konflik Sektoral
Melihat beberapa fenomena pada paragraph sebelumnya, menjelaskan bahwa kompetisi adalah suatu hal yang wajar jika proses menuju akomodasi dan asimilasi diputus tanpa melewati proses konflik. Kompetisi yang melewati proses konflik sangat berpotensi menimbulkan egosentris sektoral dari individu maupun kelompok. Ego sektoral, sebagai naluri buruk manusia yang pada akhirnya selalu menggagalkan proses akomodasi (saling mengakomodir, memahami dan bertoleransi) dan asimilasi (saling berbaur menuju keterpaduan dari suatu perbedaan). Menggunakan logika, berfikir jernih dan selalu melihat segala hal dari sisi yang berbeda karena segala sesuatu yang kita anggap benar ternyata belum tentu benar di mata orang lain. Mengalah bukan berarti kalah selama proses yang dijalankan menuju perbaikan untuk kemenangan bersama. Menyadari posisi dan kapabilitas diri akan jauh lebih baik daripada merasa diri di atas yang lain.
Sebagai kata akhir, kompetisi sebagai fenomena interaksi sosial manusia akan jauh lebih menuju perdamaian jika menghilangkan proses konflik di dalamnya. Hasil dengan keterpaduan yang selaras akan lebih dapat dinikmati tanpa perlu ada “perang dingin” sesama teman, saudara maupun handai taulan lainnya. Tidak melakukan konflik bukan berarti tidak dapat menduduki suatu posisi yang dapat menentukan kebijakan, akan tetapi tanpa konflik maka ketika seseorang menduduki suatu posisi “menentukan” maka dia akan jauh lebih bisa merubah segala sesuatu menjadi lebih baik.
Salam
SevenEleven
Ref :
- Robert E. Park and Ernest W. Burgess (1921). Introduction to the Science of Sociology. english: University of Chicago. 500-600.
- Sindung Haryanto (2012). Spektrum Teori Sosial. Jakarta: Aruzz Media. 39-66.
*
Sometimes,
beberapa pemimpin cenderung menggunakan konflik didalam manajemen terhadap anak buahnya, sehalus apa pun konflik dibuat akan tetapi setiap konflik tetap memiliki ujung, sehingga dapat berakibat fatal bagi pemimpin tsb krn akan ditinggalkan org2 terbaiknya…
Kompetisi yang membangun dan menciptakan persaingan sehat sehingga mampu mengembangkan pribadi yang terlibat di dalamnya
Sayangnya,, kadang kompetisi masih dipandang tabu, bahkan kompetisi sehat di kantor/lingkungan kerja ada yang berlaku kurang dewasa dan membawanya ke urusan personal
Baca juga tulisan TNC tentang kompetisi vs kompetensi
Selama ini mgkn krn ketidak pahaman orang hanya tau proses kompetisi dan konflik saja dlm interaksi sosial. Padahal msh ada akomodasi dan asimilasi. Justru proses konflik yg harus di “potong” malahan fenomenanya adalah proses selalu berhenti pada konflik. Itu selalu.
Tidak ada kompetisi yg sehat secara naluri manusia prim, yg ada dan jika mau berkompetisi utk saling mengakui kelemahan masing2, melihat dengan jujur n ikhlas siapa yg paling rendah kelemahannya kemudian berjalan bersama dengan dipimpin oleh individu yg plg sedikit kelemahannya. Belajar mengakui kompetensi seseorang
Betul mas.. dan menurut saya ada satu hal lagi yaitu yang menjadi penentu, kemauan untuk “rumongso”. Sebuah kompetisi akan indah jika yang melakukan kompetisi tersebut “rumongso” akan kepetensi masing-masing. dan “rumongso” itu akan muncul sejalan dengan pemahaman masing-masing tentang dirinya sendiri. karena yang sering terjadi adalah orang mampu memahami orang lain namun tidak pernah mau memahami dirinya sendiri..
just 2 send sambil ngopi.. 😀
Selagi manusia masih mendambakan harta, tahta & wanita, pasti kompetisi akan selalu terikat dengan ego & nafsu dasar manusia, nah ego dan nafsu ini tidak ada yang bisa mengendalikan kecuali dari keinginan pribadi masing-masing individu, nah disini mungkin faktor tingkat spiritual individu yang bisa mempengaruhi… 😀
memang hakikatnya manusia seperti itu mas tidak akan pernah merasa puas dan cukup jika tidak pernah nesyukuri apa yang sudah diberikan tuhan..
dan memang pribadi manusia masing2 juga yg bisa memngendalikan nafsu.
akang tetapi jgn lupa jika yang berkompetisi itu sebuah kelompok, kelompok adalah satuan atau unit yang terdiri dari banyak orang dengan pemikiran yang sama dan tujuan yang sama.
untuk mereduksi efek negatif dari kompetisi adalah kesadaran adanya “rule of the game” yang harus dipanuti, dan jiwa ksatria menjadi salah satu unsur penting untuk terciptanya kondisi taat azas tersebut, karena para pihak yang berkompetisi akan tetap saling memberikan respek. Bukankah lebih baik “menang tanpa ngasorake”? …….bahkan kepada musuh sekalipun kita harus memberikan respek…… salam kenal
Dan dengan tetap menjaga kompetensi dari setiap kawan bukan lawan
Salam kenal juga mas Bejo