Catatan 2012 : Akuntabilitas VS Keamanan Informasi Alutsista TNI
“If you do not know others and do not know yourself, you will be in danger in every single battle.” Sun Tzu – Art of War
Setiap rencana pembelian Alat Utama Sistem Senjata (ALUTSISTA) untuk memperkuat Tentara Nasional Indonesia (TNI) sering kali berunjung pada perdebatan sengit antara pemerintah (dalam hal ini kementrian pertahanan, Mabes TNI dan Mabes Angkatan) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan terkadang dengan LSM-LSM yang menyatakan diri penggiat HAM dengan alasan yang beragam, dari ketakutan untuk alutsista tersebut akan digunakan melawan rakyat sendiri, transparasi anggaran sampai dengan butuh atau tidak butuhnya membangun kekuatan TNI. Kondisi ini sebenarnya sungguh disayangkan jika melihat ketertinggalan peralatan militer Indonesia dibandingkan dengan Negara lain dikawasan ASEAN, setiap peremajaan selalu berbuntut panjang dan kadang sangking panjangnya berpotensi mengorbankan keamanan informasi dari alutsista yang akan diadakan tersebut, padahal seharusnya Pemerintah dan DPR dapat duduk bersama dalam satu forum untuk membahas segala permasalahan yang biasa disebut Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Kejadian yang cukup menarik dalam tahun 2012 adalah tentang dugaan mark-up dalam pengadaan 6 unit pesawat tempur Sukhoi dari Rusia untuk melengkapi 10 unit yang sudah dimiliki TNI Angkatan Udara. Berita tentang mark-up tersebut pertama kali dilontarkan oleh anggota komisi 1 DPR RI yang menerima informasi dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diantaranya Imparsial, KONTRAS dan IPW. Dugaan tersebut secara resmi telah dilaporkan koalisi LSM tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 20 maret 2012 yang lalu namun sampai sekarang belum ada perkembangan apakah sudah ditindaklanjuti oleh KPK. Dalam laporannya, koalisi LSM menyoal tentang pengadaan enam unit Sukhoi jenis Su-30 MK2 dari Rusia senilai USD 470 juta yang diklaim dilakukan melalu proses Government to Government (G to G) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Federasi Rusia yang menurut koalisi LSM terdapat indikasi mark up dimana harga satu unit pesawat tempur Sukhoi berdasarkan data dari Kementrian Pertahanan dipatok seharga USD 54,8 juta, apabila yang dibeli leh pemerintah adalah enam unit, maka uang yang dikeluarkan pemerintah sebesar seharusnya USD 328,8 juta, sehingga terdapat selisih USD 141,2 juta dari nilai awal. Selain itu, jika mengacu pada harga jual pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 yang dikeluarkan oleh Rosoboronexport sebagai lembaga resmi pengekspor persenjataan buatan Rusia, maka harga satu unitnya berkisar USD 60 juta hingga USD 70 juta. Jadi menurut mereka, semahal-mahalnya total anggaran yang dikeluarkan Negara untuk pembelian enam unit pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 tersebut adalah USD 420 juta sehingga jika dibandingkan dengan anggara yang dikeluarkan oleh Kementrian Pertahanan maka terdapat selisih USD 50 juta. (www.jpnn.com,21/03/2012)
Transparasi dan akuntabilitas memang sudah seharusnya menjadi sesuatu yang sangat diperhatikan dalam setiap pengadaan barang ataupun jasa yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, dalam kasus tersebut ada beberapa hal yang menurut pendapat penulis menjadi catatan, yaitu:
-
Dugaan mark-up dalam pengadaan 6 unit pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 pertama kali dilontarkan oleh salah seorang anggota Komisi 1 DPR kepada media yang didasarkan informasi dari koalisi LSM sebelum memanggil pihak terkait yaitu pemerintah (dalam hal ini kementrian pertahanan, mabes TNI dan Mabes TNI AU). Hal ini terasa cukup aneh karena Komisi 1 yang merupakan rekan kerja Kementrian Pertahanan dan TNI tidak menggunakan media Rapat Dengar Pendapat (RDP), padahal salah satu fungsi RDP adalah untuk membahas permasalahan-permasalahan seputar pertahanan Negara. Akibat pernyataan anggota komisi 1 DPR tersebut di media massa, hampir setiap hari diberitakan dugaan mark-up tersebut.
-
Untuk menjawab dugaan tersebut, baru dilaksanakan rapat antara kementrian pertahanan dan mabes TNI dengan Komisi I DPR pada hari senin tanggal 26 maret 2012, dimana dalam rapat itu akhirnya terpublis data alokasi rincian harga pengadaan Sukhoi dengan pendukungnya versi Kementrian Pertahanan sebagai berikut (kompas,26/03/2012): 6 unit pesawat senilai 54.800.000 dollar AS: 328.800.000 dollar AS, 12 unit engines AL-31F series 23 senilai 6.490.000 dollar AS: 77.880.000 dollar AS, Spare parts, tools, ground maintenance: 35.147.464 dollar AS, Removable Role Equipment: 19.056.000 dollar AS, Spare Parts for Removable Role Equipment : 1.026.223 dollar AS, Pyrotecnical Means: 136.512 dollar AS, Aircrew Equipment: 1.838.800 dollar AS, Training 10 pilot dan 35-50 teknisi: 6.115.000 dollar AS. Total: 469.999.999 dollar AS.
-
Berdasarkan Undang-undang No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Bab V Informasi yang dikecualikan pasal 17 ayat c poin 3 dikatakan bahwa salah satu informasi yang dikecualikan untuk dipublish secara bebas adalah jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya. Jika berdasarkan aturan UU tersebut, maka seharusnya informasi yang menyangkut rincian alutsista tidak di publis oleh kementrian pertahanan apalagi didalamnya ada sejumlah komponen pendukung vital pesawat Sukhoi Su-30MK2 semisal jumlah mesin. Sebagai seorang awam yang hanya bermodal searching di internet, penulis dapat memperkirakan masa operasional pesawat sukhoi yang nantinya dibeli berdasarkan informasi tersebut. Jika setiap mesin AL-31F series mempunyai umur sekitar 2000 jam maka pesawat sukhoi tersebut akan bisa terbang minimal 2000 dikalikan jumlah mesin pesawat, sehingga perkiraan data operasional pesawat dapat dihitung hanya dengan melihat pesawat tersebut mengudara. Bukankah data tersebut yang seharusnya menjadi rahasia dan tidak dipublis secara bebas, sehingga jika memang komisi 1 DPR merasa ada yang janggal dengan pengadaan tersebut dan ingin mengetahui secara detail, maka seharusnya bisa dilakukan RDP secara tertutup sehingga kebocoran informasi alutsista dapat ditekan sekecil mungkin.
-
Melihat semakin seringnya permasalahan dalam setiap pembelian alutsista untuk TNI oleh kementrian pertahanan, seharusnya pemerintah (dalam hal ini kementrian pertahanan, mabes TNI dan Mabes Angkatan) dapat mengambil hikmah dengan menjelaskan secara detail setiap proses pengadaan alutsista kepada anggota dewan, sehingga mereka dapat memahami bahasa teknis yang sering tidak dijelaskan. Komisi 1 DPR RI yang membidangi pertahanan, intelijen, luar negeri, komunikasi, dan informasi seharusnya menerapkan sense of security terhadap segala sesuatu yang dibahasnya. Sebagai mitra kerja sekaligus pengawas dari kementrian pertahanan, mabes TNI dan mabes Angkatan seharusnya dapat mendahulukan komunikasi melalui RDP sebelum melontarkan penyataan di media. Jika kita sedikit membandingkan fungsi parlemen sejenis di Amerika Serikat yang dikenal sebagai United States Senate Committee on Armed Services yang kurang lebih memiliki fungsi yang sama dengan komisi 1 DPR RI, setiap urusan yang berkaitan dengan pertahanan akan didiskusikan secara tertutup dan akan dipublish setelah didiskusikan, sehingga secara teknis keamanan informasi yang menyangkut pertahanan dapat dijaga.
Sebagai Negara demokratis, setiap kebijakan memang harus disosialisasikan dan di publikasikan secara luas untuk memenuhi aspek akuntabilitas dan transparasi. Namun, seyogyanya dalam publikasi tersebut tetap menerapkan sense of security serta berdasarkan kajian efek yang diakibatkan dari publikasi informasi tersebut. Sehingga tidak ada anggapan bahwa kebocoran informasi penting bahkan rahasia dikarenakan Negara lain yang lebih maju dan mempunyai peralatan canggih sehingga pasti mengetahui semua rahasia dan informasi di Negeri ini, karena pada prakteknya banyak informasi yang beredar karena dibocorkan sendiri baik secara sengaja atau tidak sengaja oleh warga Negara ataupun para penjabat publik yang seharusnya melindungi informasi tersebut.
UU Keterbukaan Informasi memberikan banyak peluang bagi insan pers dan siapapun untuk mencari tahu suatu informasi yang beredar di masyarakat. namun demikian kurangnya pemahaman terkait wawasan kebangsaan tiap2 warga negara terkadang tidak jarang entah sengaja ataupun tidak telah membocorkan suatu informasi yang seharusnya berkategori “classified”.
Tapi ketika dilarang, ujung2nya dianggap menghalangi kerja pers dan mengingkari UU keterbukaan informasi. menurut saya alangkah lebih baik TNI – pers – masyarakat harus sering2 terlibat suatu komunikasi intensif yang terus berkelanjutan untuk tetap terjalin hubungan saling menjaga dan saling pengertian. demokrasi memang positif tapi akan menjadi bencana bila ketiga unsur tersebut tidak memiliki hubungan “special” dan tidak saling mengenal.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan Pers dalam kasus tersebut. pers hanya memberitakan apa yang dijadikan berita. Yang salah adalah tipikal para “pembesar” negeri yang bertahan di egonya masing-masing daripada harus duduk bersama membahas permasalahan yang ada secara jernih dalam satu forum dengan tingkat kerahasiaan yang bisa dijamin. selain itu sense of security dengan memahami apa yang tertuang dalam UU KIP seharusnya dimiliki oleh beliau-beliau, apalagi beliau-beliau adalah yang membuat UU tersebut….
Saya dari dulu bertanya-tanya, sebenarnya kebebasan informasi seperti apakah yang ingin dicapai masyarakat Indonesia?
Sekedar latah akibat euforia reformasi atau benar-benar ingin mendekatkan pemerintah negeri ini dengan rakyatnya melalui sebuah hubungan yang baik dan bertanggungjawab?
Kalau melihat barometer arus informasi di negara-negara Barat yang katanya paling liberal pun ada porsi-porsi tertentu tentang informasi tentang militer mana yang bisa dibuka kepada publik dan mana yang untuk kalangan terbatas saja..
Mengapa demikian? Karena fungsi dari legislatif benar-benar mumpuni untuk menjadi watchdog dalam hal-hal yang menyangkut national security, di mana defense capability termasuk di dalamnya..
Yang saya perhatikan fungsi parlemen kita malah lebih kepada pencitraan dan tidak serius dalam mengawal peningkatan kapabilitas pertahanan negara..
Malah ada yang memanfaatkannya untuk mengail di air keruh untuk mendapatkan sepeser “uang jajan” dengan mengusung produk2 tertentu yang tentu saja dikaitkan dengan broker-broker senjata yang mulai dibatasi ruang geraknya dengan kebijakan pemerintah yang menekankan pengadaan melalui mekanisme Government-to-Government..
Saya rasa untuk urusan seperti yang diuraikan Mas Bambang di atas sudah cukup dalam lingkup RDP antara Komisi 1 dengan Dephan/Mabes TNI dan satker-satkernya tanpa perlu diumbar ke media dan jadi bahan pencitraan politik pihak-pihak yang tidak peduli akan kedaulatan negara ini..
Sekedar uneg2 dari saya saja.
Salam hormat
Benar mas Arif, sebuah ironi dari negeri ini…
Tulisan yang bagus sebagai refleksi ujung unek unek permasalahan “rahasia negara” di 2012, mungkin dalam berbagai sisi perlu dipertimbangkan bahwa sebelum melaksanakan tugas para pembesar negeri dan wakil rakyat harus melalui lemhanas, tidak ada jaminan sih tapi setidaknya masalah nasionalisme ini harus dimaintain,
Terima kasih atas komennya Pak, Mengikuti Lemhanas memang perlu namun tidak bisa menjamin seseorang akan menjadi Nasionalis dan care terhadap pertahanan dan keselamatan Bangsa dan Negara, karena semua bertumpu pada karakter yang ada dalam diri masing-masing dan bagaimana mau melepaskan ke”egoan” sektoral yang kadang lebih dominan daripada memandang tentang keselamatan Bangsa dan Negara…
benar sekali mas bambang, lemhanas tidak menjamin seseorang berubah nasionalis. rata2 yg saya tahu lemhanas sekarang cenderung sebagai syarat saja bagi sebagian oknumnya. kepentingan masih saja mengalahkan segalanya…
Begitulah kenyataan yang harus kita lihat sekarang mas, dan ini menjadi tantangan dan peringatan bagi siapapun yang masih peduli tentang nasib bangsa ini kedepannya untuk berbuat (tentunya dengan tupoksi masing-masing sebagai warga negara) demi keberlangsungan NKRI….
bahkan kadang ketika orang mengangkat isu KIP, orang tersebut tidak membaca dan memahami bahwa pertahanan/rahasia negara adalah salah satu hal yang dikecualikan dari KIP
Begitulah, dan lebih ironis lagi jika yang mengeluarkan pernyataan dan melanggar apa yang dikecualikan dalam UU KIP ada orang yang terlibat dalam pembuatan UU tersebut…
Maaf,
Seorang penari berbaju transparan pun tetap tidak telanjang…karena transparan tidak sama dengan telanjang. Sehingga ketika transparansi sudah dilakukan kemudian ada yg berusaha menelanjangi apakah sama artinya dengan pemerkosaan? iya….
Analogi yang menarik mas…
Dijaman sekarang memang sukar menedefinisikan mana “transparasi” atau “telanjangisasi” sehingga kadang terjadi “pemerkosaan” informasi atas dasar “dugaan” yang kadang tidak jelas apa tujuan dari dugaan tersebut. dan lebih mengherankan jika dugaan tersebut lebih mudah muncul di media massa daripada forum resmi yang telah disediakan untuk bicara soal “transparasi” bahkan sampai “telanjangisasi” tanpa harus diperkosa….
Ini saya baru baca lagi ada LSM mempermasalahkan bahwa yang dimaksud dengan transparansi anggaran itu termasuk detail belanja apa yang akan dibeli, termasuk kebutuhan dan spesifikasi detail barang yang akan dibeli..
Ini sepertinya yang dimaksud dengan penelanjangan oleh Mas Brata di atas..
Setahu saya detail spesifikasi itu termasuk kategori Classified bahkan oleh pihak pabrikan sekalipun (Corporate Secret)..
Terbukti dengan upaya saya menanyakan langsung ke pihak pabrikan kapal SIGMA di Belanda tentang dimensi helicopter deck saja masuk ke kategori itu dan mengatakan bahwa saya butuh otorisasi dari Dephan RI dan/atau Mabes TNI-AL..
Itu di negara Belanda yang katanya dijunjung tinggi oleh LSM-LSM yang kena sindrom inferiority complex termasuk negara-negara yang transparan..
Betapa lucunya orang-orang picik yang berusaha mencari celah macam mereka itu..
Kalau memang pingin ikut kecipratan dana pengadaan, ya jadi makelar senjata aja, jangan jadi LSM..
Terima kasih atas komentarnya mas arief…
Begitulah yang terjadi di Negeri yang kita cintai ini, dan sudah semestinya bagi kita yang kebetulah peduli untuk menjaga hal tersebut….