UAV Militer Indonesia, Jalan Berliku Menuju Kemandirian Teknologi UAV (2)
Penggunaan dan Perkembangan Teknologi UAV di Indonesia
Peta Papua (blogspot.com)
Penggunaan uav di Indonesia pertama kali dapat diidentifikasi pada tahun 1996, tepatnya saat pembebasan sandera tim ekspedisi Lorenz yang disandera oleh OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Mapenduma, Papua oleh TNI AD. Saat itu upaya pembebasan dimotori oleh pasukan dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dipimpin Danjen Kopassus saat itu Mayor Jenderal Prabowo Subiato. Dalam operasi ini beberapa pihak asing memberikan bantuan berupa penasehat militer maupun beberapa peralatan/persenjataan. Salah satunya adalah Singapura yang meminjamkan UAV Searcher. UAV buatan Israel yang memperkuat RSAF (Royal Singapore Air Force) sejak tahun 1994 ini digunakan untuk memantau dan memetakan wilayah yang dicurigai sebagai tempat sandera berada. Saat itu tantangan yang dihadapi oleh tim pembebasan adalah sulitnya medan serta minimnya informasi keberadaan sandera itu sendiri. Saat itu tim pembebasan hanya memiliki peta lapangan dengan skala 1:1.000.000. Tentu peta dengan skala sebesar ini, sangat tidak layak digunakan untuk medan operasi pegunungan serta hutan lebat yang sulit dijamah manusia. Dengan adanya UAV yang saat itu teknologinya masih asing bagi TNI, sedikit banyak membantu pergerakan dan jalannya operasi, yang mana hasil akhirnya dinyatakan cukup sukses (sandera berhasil dibebaskan, 2 diantaranya dinyatakan tewas).
Selepas operasi Mapenduma, belum terdengar kisah penggunaan UAV dalam operasi-operasi TNI lainnya, selain hanya digunakan sebagai drone target/sasaran tembak serta yang terakhir diuji coba dalam Latihan Gabungan TNI dengan misi pemantauan udara.
Skadron UAV di Indonesia
Pada tahun 2006 dikabarkan TNI akan membeli UAV yang merupakan peningkatan dari UAV yang dahulu digunakan dalam operasi Mapenduma, Searcher MK.II buatan Israel. Karena isu Israel ini sangat sensitif, pembeliannya menggunakan pihak ketiga yang berasal dari Filipina. Namun hingga saat ini tidak ada konfirmasi baik dari TNI maupun Departemen Pertahanan, apakah UAV Searcher MK.II ini benar-benar diakuisisi. Beberapa tahun lalu, masih dari Israel, pernah dikabarkan pula bahwa Indonesia akan membeli UAV Heron. Perkembangan terakhir, dikabarkan TNI/Departemen Pertahanan akan mengakuisisi UAV Aerostar Tactical UAS dari Israel. Hal ini diperkuat dengan berita di media massa mengenai penjualan Aerostar Tactical UAV kepada sebuah negara di Asia Tenggara tanpa menyebutkan siapa negara tersebut. UAV ini memiliki kemampuan yang kurang lebih sama dengan IAI Searcher MK.II. Selain lebih modern, Aerostar Tactical UAS memiliki opsi komunikasi satelit (Satcom) sehingga tidak ada batasan komunikasi dengan pengendali di darat. Namun sama halnya dengan akuisisi Searcher MK.II dan Heron, publik tidak mengetahui bagaimana kelanjutannya. Yang jelas, skadron tempat pesawat-pesawat ini bernaung sudah disiapkan, yaitu di Pontianak, Kalimantan Barat. Tugas dari skadron pertama UAV Indonesia ini adalah pemantauan perbatasan darat dengan Malaysia serta jika melihat spesifikasi dan kemampuan UAV Heron dan Aerostar Tactical UAS, tidak menutup kemungkinan juga dapat digunakan untuk pemantauan wilayah laut natuna dan sekitarnya.
UAV Aerostar Tactical UAV (uavglobal.com)
UAV Rancangan Dalam Negeri
Indonesia juga sudah mengembangkan teknologi UAV secara mandiri. Meskipun masih dalam tahap riset dan belum sampai pada tahap produksi, tercatat sejak tahun 2000an beberapa instansi pemerintah, perguruan tinggi, serta swasta yang turut mengembangkan tenologi UAV baik berupa UAV berkonfigurasi sayap tetap (fixed-wing) maupun berkonfigurasi sayap putar (rotary-wing).
- BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)
Salah satu UAV buatan BPPT, Sriti (indonesiaproud)
BPPT sudah sejak lama mengembangkan UAV yang diberi nama PUNA (Pesawat Udara Nir Awak). Ada beberapa jenis yang sudah diperkenalkan kepada publik yang mana semuanya merupakan UAV sayap tetap (Fixed-wing), seperti Wulung, Pelatuk, dan Sriti. Wulung diproyeksikan untuk Angkatan Udara, Pelatuk untuk Angkatan Darat, dan yang terakhir Sriti untuk Angkatan Laut, dikhususkan untuk misi maritim, dimana akan dioperasikan dari geladak Kapal Perang Republik Indonesia (KRI). Wulung dan Pelatuk diluncurkan dari darat, memiliki dimensi yang hampir sama yaitu panjang sekitar 4 meter dan bentang sayap sekitar 6 meter. Menurut Kepala Program PUNA BPPT, Joko Purwono, UAV BPPT dapat terbang radius 51 Kilometer dari pengontrolnya di darat (Ground Control) dan akan dikembangkan agar dapat terbang radius 200 Kilometer, sehingga efektif digunakan untuk memantau perbatasan (Republika, 2012).
UAV ground control station milik BPPT (indomiliter.com)
Salah satu UAV buatan BPPT, yaitu PUNA Wulung akan diproduksi di PT DI (DIrgantara Indonesia). Pada Indo Defence 2014 di Jakarta tahun lalu stand PT DI menampilkan video proses pembuatan dan pengujian Wulung. Rencananya untuk tahap awal akan dibuat sebanyak 8 unit. UAV yang fuselage dan wing nya terbuat dari bahan komposit ini akan memperkuat skadron UAV pertama TNI AU di Pontianak, Kalimantan Barat. Rencananya Wulung akan melengkapi UAV yang dibeli Indonesia dari Israel. Keduanya akan berkolaborasi untuk pemantauan perbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan.
UAV Puna Wulung rancangan BPPT (viva.id)
- Lapan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional)
Lapan mengembangkan UAV dibawah Pustekbang (Pusat Teknologi Penerbangan). UAV milik Lapan diberi nama LSU (Lapan Surveillance UAV), dengan misi utama nya adalah pemantauan. Sudah ada 5 jenis LSU yang dibuat (LSU 01-05), semuanya memiliki sayap tetap (fixed-wing).
LSU-01
LSU-01 merupakan UAV pertama yang dikembangkan oleh Pustekbang Lapan. Sebagai lembaga yang baru berdiri tahun 2010, Pustekbang Lapan menjadikan LSU-01 sebagai lompatan awal dalam perancangan UAV. UAV ini menggunakan airframe dari pesawat aeromodeling Sky Walker. Pesawat Sky Walker sendiri banyak digunakan oleh para penggiat UAV amatir di seluruh dunia. LSU-01 merupakan UAV berbahan dasar foam. LSU-01 menggunakan sebuah motor listrik yang ditenagai baterai lithium polymer. Dengan bentang sayap sekitar 1,6 meter, UAV ini sanggup terbang sekitar 1 jam. Autopilot atau flight controller LSU-01 menggunakan (APM) Ardu Pilot Mega yang berbasis open source. Sedangkan telemetrinya sudah menggunakan rancangan dari Lapan sehingga memiliki jangkauan yang cukup jauh. LSU-01 banyak dilibatkan untuk mengobservasi daerah-daerah bencana, seperti banjir Jakarta dan erupsi Gunung Merapi. Untuk meningkatkan performa LSU-01, Lapan saat ini dalam tahap memodelkan gerak terbang berdasarkan dinamika terbangnya. Dari model terbang ini, nantinya sistem flight controller LSU-01 akan menjadi lebih baik.
LSU-01 milik Lapan (pustekbang.penerbangan.id)
LSU-02
Konfigurasi dan model terowongan angin LSU-02 (pustekbang.penerbangan.id)
Sebagai tahap berikutnya setelah mengembangkan LSU-01, Pustekbang Lapan mengembangkan LSU-02. Dibandingkan LSU-01, LSU-02 memiliki banyak peningkatan. LSU-02 merupakan UAV pertama yang murni hasil desain Lapan. UAV dengan berat sekitar 15 Kilogram, bentang sayap 2,4 meter, panjang 1,7 meter dan menggunakan O.S Engine berbahan bakar etanol. Mesin jenis ini merupakan buatan Jepang yang banyak digunakan pesawat aeromodeling. Airframe LSU-02 yang bermaterialkan komposit, perpaduan fiberglas dan kayu balsa. LSU-02 dapat membawa muatan 3 Kilogram serta terbang dengan kecepatan maksimal 100 Km/jam. Flight controller atau otak dari LSU-02 berjenis sama dengan LSU-01, yaitu dari jenis Ardu Pilot Mega. Dengan flight controller ini, LSU-02 dapat terbang dengan 3 mode, yaitu manual dengan dikendalikan oleh operator/pilot didarat. Dengan mode manual, kendali pesawat kurang lebih sama dengan kontrol pesawat aeromodeling pada umumnya. Mode kedua yaitu mode stabilize. Mode ini masih membutuhkan operator dengan perbedaannya flight controller akan berusaha menstabilkan pesawat saat tidak ada input dari operator. Mode ketiga adalah autonomus atau waypoint. Dengan mode ini, LSU-02 dapat terbang secara otomatis pada titik-titik koordinat tertentu berdasarkan navigasi GPS (global positioning system).
Pada 2 Juni 2013, LSU-02 Lapan memecahkan rekor Muri (Museum Rekor Indonesia) sebagai “pesawat tanpa awak terbang dengan menempuh jarak terjauh” yaitu dengan jarak 200 Kilometer, yaitu dari Lapangan Terbang Pameungpeuk, Garut menuju Nusawiru, Pangandaran pulang-pergi. LSU-02 ini juga pernah digunakan untuk pemantauan gunung Merapi di Yogyakarta dan banjir di Ibukota Jakarta. Sejauh ini, LSU-02 inilah yang pernah diuji di berbagai medan, bahkan TNI AL pernah menguji coba nya dalam Latgab TNI, yaitu dengan diluncurkan dari geladak KRI Diponegoro-365 (korvet kelas Sigma). Hasilnya dikatakan cukup memuaskan.
UAV LSU-02 buatan Lapan diuji dari KRI Diponegoro-365 (indomiliter.com)
Untuk meningkatkan performa dan operasional di lapangan, Lapan melakukan beberapa peningkatan pada LSU-02. Peningkatan itu berupa kemampuan untuk take-off menggunakan catapult dan dapat landing atau recovery menggunakan jaring. Dengan menggunakan catapult dan jaring akan memudahkan pengoperasian di KRI. Dengan basis LSU-02, Lapan mengembankan LSU-03 yang secara tampilan mirip dengan dimensi yang lebih besar.
Mobile ground control system dan jaring untuk “menangkap” LSU-02 (pustekbang.penerbangan.id)
LSU-05
UAV LSU-05 buatan Lapan (pustekbang.lapan.go.id)
LSU-05 merupakan UAV tebesar yang dirancang oleh Pustekbang Lapan. Terbang perdana (first flight) LSU-05 dilakukan pada Desember 2014 di fasilitas milik Lapan di Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. LSU-05 memiliki dimensi panjang 4 meter, bentang sayap 5,5 meter, dan MTOW (maximum take-off weight) 77 Kg (31Kg berat kosong, 30Kg, dan 16 Kg bahan bakar). LSU-05 ditenagai mesin pesawat aeromodeling DLE170 berbahan bakar etanol yang berkapasitas 170cc dengan tenaga 15dk. Untuk kebutuhan energi listrik pada LSU-05 terdapat pula baterai lithium polymer. Baterai ini digunakan untuk mensuplai daya untuk perangkat elektronis serta muatan yang dibawa. Untuk flight controller pada LSU-05 masih menggunakan APM, jenis yang sama dengan seri LSU yang lain. Dengan konfigurasi ini, LSU-05 sanggup terbang sejauh 240 mil atau sekitar 400 km.
Konfigurasi dan model terowongan angin LSU-05 (pustekbang.penerbangan.id)
Selain fungsinya untuk UAV pemantauan serba guna, LSU-05 didesain untuk membawa muatan SAR (systhetic aperture radar). Muatan SAR akan ditempatkan pada fuselage LSU-05 yang memanjang. Radar ini dapat digunakan baik sipil maupun militer. Radar jenis ini dapat dapat memetakan permukaan bumi tanpa terpengaruh awan dan cuaca karena menggunakan gelombang mikro. Untuk sipil dapat digunakan untuk perencanaan wilayah, pemetaan daerah pertanian, dan lain sebagainya. Untuk militer dapat digunakan untuk mendukung misi serangan darat. Radar yang akan dipakai di LSU-05 kemungkinan besar radar hasil penelitian Lapan dan Chiba University, Jepang. Saat ini LSU-05 masih berstatus prototipe. Lapan sendiri masih melakukan berbagai pengujian pada LSU-05, diantaranya uji terowongan angin dan uji terbang autonomous. Perlu ujicoba yang cukup panjang dan peningkatan di berbagai sistemnya agar LSU-05 layak operasional dan diproduksi masal.
Desain dan gambar teknik LSU-05 (pustekbang.penerbangan.id)
- Institusi lain
Selain Bppt dan Lapan, terdapat beberapa puhak swasta dan perguruan tinggi yang turut serta mengembangkan UAV. Dari swasta terdapat PT Uavindo dengan produk nya SS-5 (SkySpy-5) sempat diuji coba oleh TNI pada tahun 2003. Dengan menggunakan ground control yang ditempatkan di truk Perkasa buatan Texmaco, dapat terbang hingga radius 25Km selama sekitar 2 jam. PT Aviator yang mengembankan UAV dengan nama Smart Eagle II yang memiliki ukuran kurang lebih sama dengan Searcher MK.II buatan Israel, uav ini diaktakan mampu membawa payload sebesar 20Kg dengan jarak maksimal 300Km selama 6 jam. Kemudian terdapat PT GTSI (Globalindo Technology Services Indonesia) yang mengembangkan UAV Kujang, yang kemampuannya kurang lebih sama dengan Smart Eagle II buatan PT Aviator.
Smart Eagle II buatan PT Aviator (blogspot.com)
Dari perguruan tinggi terdapat Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Surya. Universitas Gadjah Mada misalnya, mengembangkan UAV GAMA. UAV GAMA sempat dipamerkan dalam ajang Indo Defence 2014 di Jakarta. Kemudian Universitas Surya bersama TNI AD mengembangkan beberapa jenis UAV dari berukuran kecil sampai berukuran besar. Yang terbesar dengan bentang sayap 6 meter dengan panjang 4 meter. Dengan tangki bahan bakar tambahan di sayap, UAV ini secara teknis dapat beroperasi maksimal 8 jam.
Uav Gama milik Universitas Gadjah Mada (ppki ugm)
Sebagian besar UAV yang dikembangkan di Indonesia berjenis fixed-wing atau pesawat sayap tetap. Meski ada beberapa yang mengembangkan jenis helikopter seperti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang berbasis helikopter remote control. Selain itu saat ini banyak pula universitas-universitas baik swasta dan negeri yang mengembangkan UAV jenis multirotor, jenis yang oleh sipil mulai digandrungi untuk pengambilan foto dan video udara.
Disclaimer: Tulisan ini adalah bagian dari kajian Lembaga Keris yang berjudul “UAV Militer Indonesia, Jalan Berliku Menuju Kemandirian Bangsa di Bidang Teknologi UAV”, ada 6 bagian:
- UAV The Game Changer
- Penggunaan dan Perkembangan Teknologi UAV di Indonesia
- Penggunaan dan Perkembangan Teknologi UAV di Kawasan Asia Tenggara dan Sekitarnya
- Permasalahan dan Hambatan Pengembangan Teknologi UAV di Indonesia
- Penggunaan dan Perkembangan Teknologi UAV di Kawasan Asia Tenggara dan Sekitarnya
- Solusi Pengembangan UAV di Indonesia