Tari Tor-Tor, Klaim Malaysia, Latah, dan Gegar Budaya
Klaim salah satu kementrian Malaysia terhadap tari Tor-Tor asal Mandailing, Sumatra Utara menjadi salah satu berita heboh yang menghiasi media massa Indonesia. Isu klaim tersebut berkembang setelah media Tempo merilis berita dari kantor berita Malaysia, www.bernama.com, yang berisi penyataan Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Dr Rais Yatim. Dia mengatakan bahwa tarian Tor-tor dan Paluan Gordang Sambilan milik masyarakat Mandailing, Sumatera Utara, akan didaftarkan mengikuti Section 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Kemudian pada Senin, 18 Juni 2012, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia meminta klarifikasi atas isu klaim tari Tor-tor dan alat musik Gordang Sambilan kepada Kementerian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia. “Pihak KBRI mendapat penjelasan dari Koordinator Pemberitaan Kementerian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia Nor Azli bahwa dalam pertemuan dengan Menteri Rais Yatim, dia menyatakan akan mempertimbangkan permintaan tersebut dengan mendaftarkan tari Tor-tor dan alat musik Gordang Sambilan di bawah Section 67 Akta Warisan Kebangsaan,” jelas Wiendu saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI, Jakarta, Rabu (20/6/2012). Kemudian, dilanjutkan Wiendu, dalam forum Tingkat Menteri tentang ICT di Singapura, Rais Yatim kembali menyatakan akan mendaftarkan keduanya sebagai warisan negara Malaysia. Alasannya berlandaskan Konvensi Geneva yang menyebutkan bahwa tari Tor-tor dan Gordang Sambilan tidak dimiliki oleh siapapun (okezone.com).
Kejadian ini seakan menguak luka lama, terhadap klaim Malaysia terhadap wilayah, budaya tangible, maupun budaya intangible kita. Masih segar dalam ingatan kita, perebutan Sipadan-Ligitan, klaim Ambalat, klaim reog, batik, dan beberapa makanan tradisional kita. Meskipun secara legal, Keris, Batik, dan beberapa warisan budaya tangible dan intangible kita telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia untuk dunia, hal tersebut tidak menghentikan Malaysia memanfaatkan warisan-warisan budaya kita itu dalam iklan-iklan komersial dan produk lokalnya. Di satu sisi kita harus menyadari, sebelum melihat ke seberang lautan, tengoklah dulu keadaan di sekitar kita. Untuk merangkum sudut pandang saya terhadap kondisi di dalam negeri kita terhadap warisan budaya, saya ingin menggunakan dua istilah yaitu latah dan gegar budaya.
Untuk kata latah, bisa kita ingat kembali, klaim Malaysia senantiasa menuai reaksi keras dari masyarakat, kemudian pemerintah. Namun harus kita introspeksi bersama, ke manakah masyarakat dan pemerintah ketika wilayah/warisan budaya tersebut belum diklaim Malaysia? Sudahkah ada perhatian dari masyarakat dan pemerintah terhadap wilayah atau warisan budaya tersebut? Untuk masyarakat, saya pribadi selalu menyentil teman-teman saya yang bereaksi keras terhadap klaim Malaysia dengan pertanyaan “Sudahkah anda ikut peduli dalam melestarikan budaya Indonesia? Atau anda baru peduli ketika Malaysia mengklaim dan melupakannya kembali setelah beritanya tenggelam?”. Ini adalah fakta yang mau tak mau harus kita akui, sebagian masyarakat Indonesia masih latah terhadap apa yang berkembang di media, dan masih bersikap apatis terhadap warisan budaya yang seharusnya menjadi kekayaan NKRI. Bagi saya yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kebanyakan merupakan seniman budaya jawa, jamak saya dengar pentas ketoprak, wayang kulit, atau sendra tari yang minim penonton lokal, bahkan kadang jumlah penonton dari mancanegara lebih banyak daripada penonton lokal. Bahkan yang lebih miris, institut seni kadangkala mempunyai peminat siswa dari mancanegara yang jumlahnya lebih banyak daripada siswa lokal. Maka jangan heran, kalau sekarang kita belajar bahasa jawa ke Leiden Belanda, maka suatu saat kita akan belajar wayang/gamelan di Belanda atau Amerika karena ahli wayang/gamelandi Indonesia sudah punah. Karena melihat antusiasme warga asing dalam belajar seni di Indonesia, maupun respon yang luar biasa terhadap pertunjukan wayang atau sendratari di luar negeri yang tiketnya hampir selalu sold out merupakan hal yang kontradiktif, di satu sisi menggembirakan karena berarti warisan budaya Indonesia mendapat tempat di kancah internasional, tetapi juga memprihatinkan karena pelestarian budaya di dalam negeri sangat mengkhawatirkan. Mungkin ini adalah salah satu efek dari gegar budaya yang nampaknya sedang dialami oleh sebagian besar generasi muda Indonesia, yang juga merambat ke generasi yang lebih tua. Sinetron-sinetron berkonsep impor dari negara asal sutradara, film-film impor, musik-musik impor ternyata membawa side effect budaya negara asal yang masuk tanpa filter ketat. Sehingga generasi muda lebih mengenal budaya negara lain daripada budaya sendiri. Bagaikan kacang yang tak sadar kalau lahir dari perut bumi.
Pemerintah di satu sisi juga terkena efek latah dan gegar budaya. Pelestarian budaya belum menjadi agenda utama pemerintah, ketika saya bertukar pendapat dengan para seniman terutama di ISI Surakarta, sering terdengar celetukan-celetukan menggelitik seperti : “Seniman Indonesia itu cuman disegani di negeri sendiri, lauknya cari sendiri” disegani disini merupakan kata bahasa jawa yang artinya seniman Indonesia itu hanya dikasi nasi kalau mengandalkan dalam negeri, alias akan hidup pas-pasan. Sering saya dengar seniman musti menggadaikan mobil/harta benda lain agar rombongannya bisa berangkat ke luar negeri, setelah pulang baru bisa ditebus. Dimakah pemerintah selama ini? Pemerintah rupanya ikut-ikutan latah dengan akan menggelar survei budaya nusantara, dimana akan dilakukan pendataan dan penilaian. Kata penilaian ini bisa menjadi bahan perdebatan panjang dimana ini akan berbahaya jika penilai dari pemerintah juga terkena gegar budaya. Dimana seharusnya suatu budaya positif itu hendaklah dinilai sebagai warisan luhur dari suatu komunitas masyarakat, dimana sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai umum yang berlaku di masyarakat berarti layak diakui, bukan dibandingkan dengan standar budaya lain, apalagi standar budaya impor. Untuk menutup tulisan singkat ini, saya ingin menuliskan pertanyaan yang sempat diutarakan oleh salah satu seniman : “mas, tau nggak mas, di luar negeri budaya kita itu dinilai luhur lo, dan telah menyabet beragam penghargaan. Tapi saya heran, kok anggaran dan perhatian yang diberikan pemerintah kalah jauh sama sepakbola yang menurut saya prestasi minim ya?. Ibaratnya ini kayak jaman romawi, masyarakat dialihkan dari kenyataan hidup susah dengan memberikan tontonan Gladiator di Colloseum ya”. Hendaknya kita arif dalam menyikapi isu-isu seperti ini, dimana kita harus introspeksi dan berkaca sebelum menunjuk kesalahan ke pihak lain. Sepanjang yang dilakukan bukan mengklaim sebagai budaya Malaysia, bukankah malah menambah publikasi kekayaan budaya Indonesia ke dunia internasional?
ini bukan saja tanggung jawab pemerintah, tapi merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, sadar ato tidak sadar kita sudah terlalu besar bias akibat globalisasi yg melunturkan budaya nasional sendiri
benar mas,ketika perhatian remaja Indonesia (termasuk saya) begitu besar teralihkan pada trend2 saat ini seakan tidak peduli dengan kebudayaan nasional sendiri,saatnya kita introspeksi diri
Sebenarnya bukan mengklaim, tapi mengiktiraf itu bisa diterjemahkan menjadi recognize, mengakui, sebagai bagian kekayaan budaya malaysia karena ternyata ada WN Malaysia yang keturunan Mandailing.
Kasusnya mungkin sama dengan rebana, qasidahan, marawis yang asli Arab serta barongsai dan liong yang asli Cina yang pada akhirnya menjadi kekayaan budaya Indonesia juga.
Yang jadi masalah adalah perhatian masyarakat, generasi muda dan pemerintah indonesia sendiri yang kurang perhatian akan kekayaan budayanya sendiri.
Di Korea Selatan semua kekayaan budaya ada nomer registernya, tanginble dan intangible. Ini mungkin perlu ditiru.
Sebagai pengingat sedikit, orang Asli di Malaysia itu kurang lebih sama dengan orang Kubu, Anak Dalam, Talang Mamak atau Sakai. Yang lainnya ya turunan Aceh, Arab, Batak, Bugis, Cina, India, Jawa, Madura, Minangkabau dll dst dsb.
Betul sekali dan setuju bapak,
Sebenarnya org asli Malaysia itu ya berasal dari keturunan yg sama dgn Indonesia. Akan tetapi ketika satu rumpun terpecah jadi dua dan berpisah dalam dua negara yg berbeda dimana suku asli mandailing berasal dari Sumatera Indonesia, tentu sewajarnya dgn sopan Malaysia tidak mengusulkan budaya tsb sbg budaya Malaysia ke khalayak Dunia, krn mayoritas suku mandailing tetaplah aseli org Indonesia yg duduk di Sumatera Indonesia.
betul pak novan, sebenarna saya juga melihat bahwa masyarakat Indonesia ini sudah sentimen duluan terhadap malaysia. Dan setelah ada klarifikasi malaysia, ternyata memang mereka hanya mendata. Nah kita patut juga bersyukur, karena dengan kejadian ini kelatahan pemerintah membuat survei budaya nasional dipercepat. Meskipun kata2 mencari, mendata budaya yang layak juga menjadi perdebatan karena menyimpan potensi penolakan sebuah produk budaya oleh standar pemerintah
assalammualaikum wr wb , salam sejahtera
yang dikatakan pak Novan ada benarnya juga, tetapi mohon maaf bapak dalah hal tor tor dan sebagainya, Malaysia berusaha memasukan itu dalam kasanah budaya mereka dan itu yang sebagian dari kita kurang sependapat,
karena jika kita bercermin dari suriname dimana disana sebagian penduduknya adalah orang keturunan jawa, dan dimana kebudayaan orang jawa seperti jatilan, ketoprak/ludrok “kabaret dalam fersi suriname”, reog dan lain2 juga masih di lestarikan dan dipentaskan oleh orang suriname keturunan jawa. tetapi mereka tidak lantas memasukan kebudayaan-kebudayaan itu sebagai budaya suriname dan ketika seorang turis atau yg lainya bertanaya ” itu apa dan berasal dari mana? ”
orang suriname akan menjelaskan kalau itu jatilan dan itu kebuyaan nenk moyang mereka yang dibawa dari tanah asli mereka yaitu jawa “dalam hal Ini Indonesia”
jelas berbeda hal dengan tari kuda kepang yang tempo hari sempat kena klaim,dimana malaysia kemudian memberikan fersi mereka sendiri. ketika sekarang ada tari tor tor yang ” diclaim ” maka wajar jika sebagian dari kita kemudian merasa memiliki dan berusaha melindungi.
tetapi dari semua yang ada diatas, bener.. sebenarnya kita juga yang salah, karena kita sendiri yang tidak lagi membelihara dan dalam bahasa jawa “nguriuri kabudayan” dalam hal sepele saja, jika ada konser band atau film box ofice dan pagelaran wayang , mana yang sebagian dari kita ingin lihat
bagaimana kita mau merawat dan memelihara dengan baik jika kita mencintai atau menyukai terlebih dahulu .
terimakasih , wasallammualaikum wr wb
Kalau saya pribadi berpendapat, ada 2 hal yang dapat kita ambil dari kejadian ini:
1. Kita seharusnya BANGUN dan bersiap, bahwa sebenarnya kita sudah diserang dan menjadi target dari peperangan asimetris dimana kita dibuat lupa dan melupakan kebudayaan serta Jatidiri kita sehingga kita mudah dilumpuhkan dan tidak pernah beranjak maju.
2. Kita sebenarnya harus berterima kasih kepada Malaysia, karena mereka “rajin” mengingatkan kita akan pentingnya persatuan dan upaya untuk melindungi warisan kebudayaan yang kita miliki..
saya kurang tahu,
1. apakah memang kebudayaan Indonesia itu distandarisasi dan apakah memang ada standarisasi budaya.
2. Apakah pemerintah memang benar2 telah mendata kebudayaan apa saja yang kita miliki. sebagai contoh wayang, saya tidak masuk dalam daftar nomor keberapa dari data kebudayaan yang dimiliki pemerintah.
Saya hanya tahu bahwa kebudayaan2 yang sering diributkan masih eksis di tengah masyarakat, meski saya juga kurang tahu bagaimana upaya pelestarian dan penghargaan yang layak itu seperti apa. apakah hanya diregister atau bagaimana. kebudayaan mesir kuno meski telah punah tetap diakui sebagai milik mesir dan bukan milik negara lain. adakah spinx itu milik turki? atau libya?
yah, kebudayaan itu dinamis dan berkembang, apakah memelihara budaya berarti itu bersikap statis terhadap budaya? tau ah….
belum mas, ini baru direncanakan kementrian pendidikan dan kebudayaan. Sebenarnya kita tidak musti bersikap statis, selama pemerintah mau memberikan perhatian dan mendorong masyarakat untuk memelihara, karena pada dasarnya budaya itu sendiri akan membuat penyesuaian2 supaya tidak lekang oleh jaman