Program BLT dan Ancaman Asimetris
[Alinea keempat Pembukaan UUD 1945]
Pada tahun 2013 ini pemerintah kembali berencana menaikan harga BBM bersubsidi seiring dengan ancaman defisit APBN 2013 yang diakibatkan membengkaknya konsumsi BBM di masyarakat. Ketika pemerintah menaikkan harga BBM, keputusan tersebut langsung berdampak dan menjadi beban rakyat, sehingga pemerintah memberikan kompensasi, dan untuk mengkompensasi rencana kenaikan tersebut, pemerintah kembali berencana meluncurkan tiga program kompensasi yaitu program beras miskin (raskin), bantuan siswa miskin, dan bantuan keluarga harapan. Menurut menteri sosial Salim Segaf Al Jufri program beras miskin akan dinaikkan dari 15 kilogram menjadi 20 kilogram per keluarga yang akan disalurkan mulai bulan Mei sampai dengan Juli mendatang. Sedangkan bantuan untuk program keluarga harapan juga bertambah dari Rp. 1,4 juta perkeluarga menjadi Rp. 1,8 juta perkeluarga yang diklaim berbeda dengan program bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah menjadi perdebatan karena berbagai masalah dalam implementasinya di lapangan. Kalo kita cermati, dari ketiga rencana program bantuan tersebut, program bantuan keluarga harapan walaupun di klaim berbeda dengan bantuan langsung tunai (BLT) namun tetap mengakomodir pemberian bantuan langsung berupa uang tunai kepada masyarakat yang menurut penulis bukan merupakan contoh yang baik dalam membangun ketahanan masyarakat secara nasional walaupun dengan tujuan meringankan beban ekonomi keluarga miskin sehari-mhari. Kalo kita melihat permasalahn yang timbul dari program BLT yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan BLT Plus pada tahun 2008 menimbulkan berbagai permasalahan yang menjurus pada ancaman asimetris terhadap pertahanan dan keamanan negara, diantaranya menurut penulis adalah:
Pemberian bantuan berupa uang tunai cenderung menjadikan rakyat di lapisan bawah kehilangan etos kerja untuk bertahan hidup karena menjadikan bantuan tersebut sumber ekonomi keluarga BUKAN sumber tambahan ekonomi keluarga, padahal bantuan tersebut hanya bersifat “temporary” dan akan hilang dengan sendirinya jika alokasi anggarannya habis. Etos kerja atau semangat juang rakyat sebuah Negara untuk bertahan hidup merupakan modal dasar dari keberlangsungan Negara tersebut. Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diraih pada tahun 1945 juga merupakan hasil dari perjuangan rakyat yang mempunyai semangat juang yang pantang menyerah dan bukan merupakan pemberian negara lain. Sehingga, jika rakyat sekarang diberi bantuan berupa uang tunai dengan tanpa melalui sebuah perjuangan maka secara tidak langsung pemerintah telah melakukan “degradasi etos kerja” rakyatnya secara sistematis dan jika berkelanjutan maka akan menuai ancaman asimetris terhadap kedaulatan Negara. Jika memang pemerintah memang ingin memberikan kompensasi langsung kepada masyarakat yang terdampak dalam kenaikan harga BBM, maka seharusnya pemerintah dapat memberikan dalam bentuk yang lain yang bukan hanya membantu namun juga mendidik, misal: (a) Program padat karya, yang selain dapat memberikan nilai tambah ekonomi rakyat, juga dapat membuahkan hasil dalam bentuk infrastruktur yang kelak menjadikan sebuah kecintaan tersendiri rakyat atas apa yang dibangunnya yang secara otomatis akan menumbuhkan kecintaan terhadap Bangsa dan Negaranya. (b) Memperluas cakupan, jangkauan dan kualitas Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), dan (c) Memperluas cakupan, jangkauan dan kualitas Jaminan Pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut menurut penulis lebih bermanfaat secara strategis dibandingkan diberikan secara tunai asalkan dilaksanakan secara professional, transparan dan akuntable serta tanpa embel-embel kepentingan politis dan semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Pemberian bantuan langsung berupa uang tunai cenderung menciptakan konflik sosial bahkan konflik horizontal dimasyarakat yang diakibatkan oleh ketidakadilan dalam proses pembagian BLT. Secara psikologis, uang tunai akan menarik siapapun untuk memperolehnya walaupun bukan termasuk yang berhak (keluarga miskin) sehingga potensi ketidakakuratan data penerima BLT sangat besar terjadi. Akibatnya, BLT membawa dampak negatif dalam hubungan sosial masyarakat yang dikarenakan kecemburuan antara penerima dan bukan penerima BLT. Kecemburuan tersebut kadang di ekspresikan dalam bentuk keengganan berpartisipasi dalam kegiatan kolektif (bersama-sama) yang dilakasanakan di lingkungan (semisal gotong royong, ronda dll) sampai pada turunnya kepercayaan terhadap pejabat pemerintahan lokal (aparat RT, desa, camat, bupati/walikota dan gubernur) sampai dengan pejabat pemerintahan pusat (Presiden). Jika konflik horizontal (antar rakyat) sudah menjurus kepada konflik vertikal (antara rakyat dan pemerintahnya) maka secara langsung telah menjadi ancaman asimetris serius terhadap keberlangsungan Negara.
Beberapa aspek dari ancaman asimetris adalah bersifat pancagatra atau berasal dari kehidupan sosial (ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya) yang secara tidak langsung namun pasti mempengaruhi ancaman pertahanan dan keamanan Negara. Oleh karena itu, sudah semestinya pemerintah dalam membuat kebijakannya bukan hanya bersifat taktis jangka pendek namun juga strategis jangka panjang yang menyangkut efek dari kebijakan tersebut terhadar keamanan Nasional, sehingga kesejahteraan rakyat sebaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 diatas tercapai.
Terbit di Lampung Post, Selasa 23 April 2013
Meningkatkan pendidikan masyarakat dengan pendidikan murah utk semua kalangan dan gratis utk rakyat miskin, sehingga kedepannya penciptaan lapangan pekerjaan dgn diawaki manusia berkualitas pada akhirnya menjadi sebuah pasar ekonomi mikro BUKAN makro, JAUH lebih baik…
Memberi kail dan umpan, bukan ikan…
Betul sekali mas …
Menjamin pendidikan secara menyeluruh yang berkualitas merupakan salah satu opsi yang bisa diambil dan menurut saya baik daripada BLT karena selain dapat menyentuh langsung apa yang dibutuhkan rakyat, juga lebih mendidik dan sekaligus merupakan investasi pembentukan pengetahuan dan kemampuan generasi selanjutnya.
Tepat sasaran bukan berarti cepat diterima n cepat habis…Semoga carut marut BLT n kenaikan BBM tidak dimanfaatkan kelompok yang memancing di air keruh terhadap stabilitas bangsa dan negara.
Betul sekali Mas Taufik, tepat sasaran namun tanpa tujuan strategis akan hanya menjadikan program tersebut menjadi program politis, apalagi dengan embel-embel tertentu dan nantinya di klain untuk kepentingan golongan tertentu. Amin mas… semoga para pemangku kepentingan di Negeri ini sadar
mbalik lagi mas, siapa yang salah dalam membangun bgs ini, betul mas pmberian beras maupun uang adalah model model yg hanya membuang uang dan membuat banya para pengentiti uang rakyat, apa gak tahu yaaa itu gak akan sampai atau dah tertutup mata dan telinganya. “Kebijakan ini sama dengan tdk ada kebijakan dan tidak akan pernah sampai kepada sasarannya.”
Begitulah keadaannya mas, kebijakan yang justru membuka celah yang besar bagi ancaman asimetris disaat Negara ini belum memiliki aturan yang jelas dalam menangkal ancaman tersebut. Jika yang dibawah saja sudah menolak, maka jika tetap dilakukan maka tujuannya bisa dipastikan bukan untuk kesejahteraan rakyat, namun alasan politis tertentu…
saya menyarankan banyak mobil pribadi yang dimiliki kelas menangah adalah yang harga beli mobil baru pribadi di atas 150 juta, dan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, sehingga harga BBM jenis premium Rp. 6.500,- menurut saya masih terlalu rendah, kalau menurut saya kisaran harga BBM jenis premium untuk mobil pribadi adalah Rp. 8.500-9.000,-, pengganti subsidi utk BBM bisa dialihkan utk pelayanan kesehatan, jadi kalau ada rumah sakit swasta dan pemerintah yg tolak pasien yang berobat, panggil administratornya, panggil dokter jaga, panggil perawat yg membantu dokter jaga, dan panggil direktur atau kepala rumah sakit, ga perlu banyak bertanya krn merupakan hak warga negara utk mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal, lalu beri sanksi berat kpd mrk, sebaiknya mrk dinonjobkan atau dimutasikan ke daerah pedalaman misalnya ke puskesmas, supaya mrk belajar menghargai masyarakat, dan untuk bidang pendidikan kalau masih ada sekolah yg pungut2 uang sekolah, uang kurikuler, dan sebagainya dipanggil, dan diberikan sanksi, catatan bagi pemerintah kalau bantuan uang tunai tdk diberikan apa udah dipikirkan bagaimana kalau org ga punya uang hanya utk beli korek api utk masak hasil bantu panen dr kebun org, jangankan utk beli korek api dan minyak tanah, utk mencari makanan aja belum tentu dapat, nah tolong dipikirkan, jangan asal ngomong, saya ngomong gini krn saya pernah tinggal dan hidup dng org yang ga punya duit utk beli korek api
Terima kasih atas komennya mas bambang_1.
Betul, masih banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah jika memang tujuannya adalah mensejahterakan rakyat bukan untuk tujuan tertentu (apalagi politis) yang jauh dari apa yang rakyat amanahkan kepada pemerintah …
menurut hemat saya, daripada proyek bagi2 uang dan beras raskin yang memang kebanyakan malah salah sasaran, seyogyanya dibangkitkan lagi program padat karya di masyarakat…
disatu sisi untuk memberikan edukasi dasar kpd masyarakat bahwa untuk mendapatkan penghasilan harus dengan “berkarya” dan juga membantu perbaikan fasilitas masyarakat… cmiiw
Terima kasih atas komennya mas Shinto…
Betul mas, Program padat karya selain dapat memberikan nilai tambah ekonomi rakyat dengan adanya kerjaan tambahan, juga dapat membuahkan hasil dalam bentuk infrastruktur yang kelak menjadikan sebuah kecintaan tersendiri masyarakat atas apa yang dibangunnya bersama-sama…
Mas bisa saya sedikit betulkah mas Bambang pernah melakukan penelitian dengan statement ini “Pemberian bantuan berupa uang tunai cenderung menjadikan rakyat di lapisan bawah kehilangan etos kerja”, maaf saya mengkritik kebanyakan pengamat ttg BLT menyatakan tidak bermanfaat, tapi tidak pernah ada data yang menampilkan bahwa secara jangka pendek program ini tidak berpengaruh, saya masih meyakini BLT jika diukur dengan jangka pendek tidak akan mempengaruhi etos kerja masyarakat, karen targetnya BLT itu bukan untuk mengentaskan kemiskinan jangka pendek. Prog BLT dilakukan hampir semua negara, contoh misalnya Brazil, Amerika dan Malaysia. Saya fikir BLT masih relevan untuk keadaan “crush program”. Maaf saya agak mengkiritik agak keras, mohon petunjuknya.
Tingkat ketidak efektifan dan kebocoran terbesar di Indonesia justru pada program padat karya (contoh kasus P2KP), mohon maaf saya ada datanya silahkan kunjungi blog saya http://www.yogisuprayogisugandi.wordpress.com. Maaf jika tidak berkenan. Terima kasih.
Terima kasih berkenan mampir Mas Yogi Suprayogi Sugandi, sebuah kehormatan untuk saya.
Memang yang saya sampaikan diatas BUKAN berdasar dari penelitian, namun berdasar kondisi real yang saya alami, lihat dan berkomunikasi langsung dilingkungan saya tinggal dan dibeberapa lingkungan lain yang setidaknya menjadi gambaran (walau sekali lagi belum berdasar data penelitian) tentang efek kebijakan tersebut di masyarakat. Setidaknya saya melihat sendiri perilaku masyarakat yg menjadikan BLT sebagai “tumpuan” pendapatan keluarga BUKAN sumber tambahan ekonomi keluarga, bahkan ada yang meminjam sana-sini (tidak berusaha bekerja) dan menjanjikan hutang akan dikembalikan ketika BLT cair. Etos kerja dalam pemahaman saya adalah sikap atau tindakan pribadi atau kelompok manusia terhadap kehidupan yang diyakint dan menjadi kebiasaan atau karakter manusia atau kelompok tersebut. jika sikap itu hilang maka disitulah posisi ideal masuknya ancaman asimetris.
Padat karya yang saya maksud adalah padat karya yang benar-benar berbuah karya di masyarakat yang berdasar musyawarah dan gotong royong yg dibiayai negara, bukan hanya sebatas program pemerintah yg dilakukan oleh kontraktor A atau B. Terima kasih atas info soal P2KP nya, sangat bermanfaat dan menjadi tambahan wawasan baru untuk saya
Salam
Terima kasih dan salam kenal Pak Bambang, saya senang bisa berdiskusi dengan bapak.
Ada beberapa info lanjutan yang mungkin berkenan kiranya sebagai arena diskursus tentang perlu atau tidaknya BLT/BALSEM. Metoda ini dikeluarkan untuk menampik ekonom makro yang terlalu berpikir Long Term Program pada setiap pengentasan kemiskinan, PERTANYAANYA? Kapan masyarakat miskin akan terentaskan jika ukuran kemiskinan selalu naik?.
Pengaruh kemiskinan terhadap Etos Kerja pernah dikaitkan oleh Oscar Lewis (1961) melalui penelitiannya yang terkenal tentang “cultural poverty” di beberapa negara Amerika Latin. Beliau meneliti tentang perilaku masyarakat meksiko saat itu yang masih miskin dikarenakan etos kerja mereka rendah karena budaya. Pertanyaanya apa korelasi dengan Indonesia??…. Prof Sajogo (Alm) ilmuwan dari IPB pernah membuat penelitian tentang kemiskinan di Indonesia… mungkin pak Bambang pernah ingat dengan Calorie Intake/days, kajian Prof Sajogo juga mendiskusikan tentang betapa pentingnya Program-Program Crush yang tidak hanya memberikan masyarakat miskin “kail” dan “umpan” untuk memancing tetapi juga “ikan” untuk pergi memancing baru bisa menggunakan “kail” dan “umpan”. Itu adalah analogi Program pengentasan kemiskinan jangka panjang dan pendek.
Ini adalah beberapa kajian yang sangat relevan dengan kajian tentang BLT http://www.smeru.or.id/ pada tautan tersebut NGO tersebut pernah membuat quick assement yang didanai oleh lembaga donor dan pemerintah Indonesia untuk BLT tahun 2005 dan 2008. Kecendrungan para ekonom kita akan menolak program BLT jika jangka panjang, tapi dalam jangka pendek justru sangat penting.
Saya sepakat jika BLT/BALSEM tidak efektif jika dilakukan jangka panjang (1 tahun lebih dsb) tapi jika pelaksanaannya hanya 3-5 bulan saya fikir sangat relevan… KENAPA? karena program ini jika diukur oleh para ekonom dengan paham “neo kapitalis” cenderung akan sepakat untuk tidak dilaksanakan, tapi pertanyaanya negara sekapitalis amerika dan india sekalipun pernah mengeluarkan program ini (lihat Program Social Insurance (USA) dan http://indo.wsj.com/posts/2012/11/29/india-luncurkan-program-blt-terbesar-dunia/ tautan tadi adalah sedikit info keberhasilan program BLT di beberap negara dunia ketiga termasuk India). Berbeda jika yang mengukurnya adalah para ekonom “welfare state” yang cenderung akan menyepakati konsep BLT…
Terima Kasih atas diskusi menariknya…
Salam dari Bandung
Yogi
Salam hangat kembali dari Jogja mas Yogi
Saya tidak membantah teori yang njenengan sampaikan dan terima kasih atas informasi lanjutnya…
Mensejahterakan rakyat adalah tugas Negara, dan menurut hemat saya dengan memberikan BLT/BALSEM dalam bentuk uang tetap bukan merupakan pilihan yang bijak jika melihat kondisi real bagaimana kebanyakan masyarakat Indonesia apalagi yang didesa-desa seperti ditempat tinggal saya dan pernah saya kunjungi yang pemahamannya belum tentu bisa mencerna apa yang sudah diprogramkan oleh para pembuat kebijakan. alangkah lebih baik jika crash program tersebut berbentuk selain pemberian uang langsung NAMUN tetap merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan mutlak masyarakat, sehingga jangan sampai sebuah kebijakan yang tujuannya baik akan menjadi bumerang dan menimbulkan masalah baru di masyarakat… yang kadang tidak pernah dirasakan oleh yang membuat kebijakan. apalagi jika dikaitkan dengan potensi ancaman asimetris yang bisa timbul yang bukan tidak mungkin akan menjadi permasalahan keamanan nasional…
—
Wiiihhh… Tulisan’e ngeri..
Pengamatan ngeri.. Ditabrakin ke dasar negara okh piye…
Tapi masalahnya, dasar negara yang dianut terlalu banyak berubah-ubah.
Okey, uud45 memang selalu sama.
Tapi, ketika di lapangan, –dalam konteks ini– penyaluran BLT, atau apalah itu. Ternyata tak tepat dan masuk kantong birokrat. KUHAP dan KUHP masih terlalu lemah dalam gakkum. Masih terlalu labil. Terlalu banyak perubahan.
Yaa, pada akhirnya, ikuti saja. Dan berlomba-lomba jadi birokrat via Pemilu. Hiihiii…
Matur suwun udah berkenan komen Mas Yoga….
Betul sekali mas, oleh karena itu mari kita yang kebetulan masih diberi “Ingatan” oleh Tuhan untuk mengingat Dasar Negara tersebut untuk terus mengingatkan, agar para pemangku kebijakan semakin bijak dalam membuat sebuah kebijakan….