Menyikapi Pembukaan Kantor OPM di Inggris
Beberapa hari terakhir publik Indonesia dihebohkan dengan berita pembukaan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) yang merupakan salah satu pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) di luar negeri dan berbasis di Kota Oxford, Inggris pada Rabu (1/5/2013) yang dihadiri oleh walikota Oxford Mohammed Niaz Abbasi, anggota parlemen Inggris, Andrew Smith dan mantan walikota Oxford, Elise Benjamin. Pembukaan kantor tersebut, apalagi dihadiri oleh seorang walikota, mantan walikota dan anggota parlemen Inggris cukup membuat kaget publik Indonesia, mengingat hubungan baik antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Inggris sedang dalam kondisi “sangat mesra” dibandingkan pada masa orde baru ataupun pada awal reformasi. Hal tersebut terlihat dari pemberian gelar Ksatria Salib Agung atau dikenal dengan Knight Grand Cross in the Order of the Bath oleh Ratu Inggris Elizabeth II kepada Presiden Republik Indonesia Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kunjungan kenegaraan pada tanggal 31 Oktober hingga 2 November 2012 yang menjadi kunjungan kenegaraan pertama presiden Indonesia ke Inggris sejak tahun 1979.
Menanggapi pembukaan kantor OPM tersebut pemerintah Indonesia melalui kementrian luar negeri memang langsung bereaksi dengan memanggil duta besar Inggris untuk Indonesia Mark Canning dan menyampaikan protes keras dan keberatan yang mendalam terhadap pembukaan kantor OPM tersebut pada senin (6/5/2013) yang lalu. Atas protes keras pemerintah Indonesia tersebut, duta besar Canning mengatakan bahwa kedatangan walikota Oxford dalam pembukaan kantor FWPC tersebut tidak mencerminkan kebijakan pemerintah Inggris atas masalah Papua, dan kembali menegaskan bahwa Inggris tetap mendukung integritas teritorial Indonesia. Walau mendapat jaminan dari duta besar Canning, kejadian ini seharusnya menjadi evaluasi penting terhadap kebijakan luar negeri dan diplomasi pemerintah Republik Indonesia khususnya terkait isu separatisme dan keutuhan wilayah sehingga tidak ada lagi wilayah NKRI yang lepas setelah lepasnya pulau sipadan dan ligitan ke Malaysia.
Sahabat Tak Selamanya Bersahabat
Pembukaan kantor FWPC di Oxford Inggris setidaknya dapat menjadi bukti bahwa tidak semua Negara yang menjadi sahabat Indonesia pasti selalu bersahabat. Hubungan bilateral antara pemerintah Indonesia dan Inggris tercatat pernah mengalami beberapa kali masa pasang surut, pada awal kemerdekaan pejuang Indonesia sempat bertempur melawan tentara Inggris di Surabaya, saat konfrontasi dwikora tentara Indonesia pun kembali berhadapan dengan tentara Gurkha dan SAS Inggris yang membantu Malaysia di belantara hutan kalimantan, dan pada saat awal-awal reformasi pemerintah Inggris juga sempat memberlakukan embargo militer terhadap pemerintah Indonesia sebagai hukuman atas tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor Timur yang berakibat terpuruknya kekuatan persenjataan yang dimiliki oleh TNI, bahkan ketika kekuatan tersebut sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan Negara saat diberlakukannya darurat militer di Aceh pada tahun 2003 silam.
Pembukaan kantor FWPC di Oxford, Inggris harus menjadi perhatian khusus dari pemerintah, terlebih duta besar Canning walaupun menyatakan menghargai Papua sebagai bagian dari Indonesia dan ingin Papua mencapai kesejahteraan dan perdamaian sama seperti provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, namun juga menyatakan bahwa masih ada beberapa keprihatinan tentang dugaan pelanggaran HAM di Papua yang harus ditangani. Pernyataan tersebut secara tidak langsung memberikan isyarat bahwa pemerintah Inggris menerapkan standar ganda dalam memandang Papua. Hal tersebut dibuktikan dengan kunjungan mendadak duta besar Canning pada bulan September 2012 ke Papua yang dilakukan tanpa menggunakan jalur diplomatik seperti yang dilakukan oleh kedutaan besar Negara lain jika ingin mengunjungi wilayah-wilayah di Indonesia.
Membangun kerjasama yang erat dengan Negara sahabat memang sangatlah penting, khususnya dalam menghadapi percaturan politik global, namun tetap waspada terhadap standar ganda yang diterapkan oleh Negara sahabat yang tidak selalu bersahabat juga sangatlah penting, karena dalam prakteknya ada beberapa Negara sahabat yang secara formal mendukung keutuhan wilayah NKRI namun disisi lain Negara tersebut membiarkan organisasi-organisasi yang melakukan propaganda-propaganda dengan kedok demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk merongrong keutuhan wilayah NKRI. Indonesia sebenarnya tidak perlu gusar dengan manuver Benny Wenda dan tokoh-tokoh FWPC, walikota Oxford dan politisi Inggris dengan pembukaan kantor tersebut, karena menurut hukum internasional Papua adalah wilayah yang sah NKRI. Namun, permasalahan Papua sudah saatnya ditanggapi secara serius dan tidak dianggap secara sepele oleh para diplomat dan pemerintah Indonesia, dengan gencarnya pemberitaan dan propaganda-proganda tentang pelanggaran HAM dan terjadinya pembantaian etnis (genocide) di tanah Papua melalui berbagai media online yang di lakukan oleh FWPC, LSM-LSM, dan organisasi pendukung OPM didalam dan diluar negeri, maka bukan tidak mungkin masyarakat Internasional akan terhasut opini dan mendukung OPM, karena satu-satunya alasan yang dapat menggugat atau memerdekakan Papua dari NKRI adalah adanya pelanggaran HAM dan pembantaian etnis (genocide) terhadap masyarakat Papua. Selain mempertegas diplomasi, sudah seharusnya pemerintah Indonesia harus membuktikan sebaliknya dengan membangun Papua secara adil dan merata, menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan mendekatkan akses ekonomi sehingga Papua dapat tumbuh dan berkembang seperti provinsi-provinsi lain di Indonesia.
…
Rasanya tidak perlu banyak komentar, karena saya senang sekali dengan kalimat terakhir:
“Selain mempertegas diplomasi, sudah seharusnya pemerintah Indonesia harus membuktikan sebaliknya dengan membangun Papua secara adil dan merata, menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan mendekatkan akses ekonomi sehingga Papua dapat tumbuh dan berkembang seperti provinsi-provinsi lain di Indonesia”
Hidup NKRI!!
Terima kasih mas, sepemahaman saya memang kunci menyelesaikan masalah Papua ada dua hal tersebut. Mempertegas Diplomasi dan membuktkan bahwa apa yang di propagandakan OPM tidak benar dan yang terjadi adalah sebaliknya
—
meskipun inggris secara resmi mengatakan berdirinya kantor opm di oxford tdk merubah pandangan inggris akan NKRI tapi dengan datangnya salah satu ikon resmi pemerintahan yaitu walikota dalam peresmian kantor tersebut sama saja itu suatu dukungan terhadap opm, dampak tdk langsung yg ditimbulkannya adalah meningginya moril opm krn merasa perjuangannya mendapat angin segar.
Betul mas Yayan, satu hal yang harus mendapat “ketegasan” diplomasi dari Pemerintah RI, dan bukan hanya sebatas nota protes tanpa tindakan yang lebih nyata dan terukur… misal penundaan pembelian beberapa alutsista dari Inggris yang baru saja ditanda tangani yang secara ekonomi akan berdampak ke Ingris..
—
Kondisi kayak begini ingat dulu ada yng menjadi menko polkam ketika menjabat menkopolkam bahwasannya RI Bersikap tegas terhadap negara yg dukung gerakan separatis, Beliau bilang bahwa pemerintah akan mengambil sikap tegas bila memang negara tertentu sudah jelas2 mendukung gerakan separatis yang ada di Indonesia, saat itu terkait adanya diterimanya perwakilan OPM di vanuwatu,
Dan sekarang sudah mendeklare perwakilan di Inggris, akankah beliau berbicara sama dan bertindak sama saat jadi menkopolkam.
Kalau pemerintah Indonesia tdk bertindak tegas dan cepat, hal tersebut akan dianggap lemah oleh negara negara asing dan kaum separatisme dan akibatnya mereka akan terus membesar.
Jadi tindakan tegasnya kita tunggu bersama, kalo gak ada ya kita tidur bersama saja
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybernews/detail.aspx?x=Politics&y=cybernews%257C0%257C0%257C2%257C2694
Semoga beliaunya masih ingat mas…
Isu separatisme dan keutuhan wilayah seharusnya ditanggapi serius karena mengyangkut harga diri Bangsa, dan agar kejadian lepasnya pulau sipadan dan ligitan ke Malaysia atau disintegrasinya timor timur tidak terulang kembali …
Meski tidak sebesar OPM namun berkaca pada kejadian RMS di tahun 2010 sewaktu SBY membatalkan kunjungannya sebab demo simpatisan RMS di belanda,
bukan tidak mungkin OPM akan melakukan hal serupa dengan isu-isu yang tentunya tidak jauh dari apa yang mereka perjuangkan, apakah kita akan dipermalukan kembali sebagai bangsa yang berdaulat?
Seiring dengan ketegasan diplomasi dan pembangunan/pemerataan ekonomi yang tersebut diatas, alangkah baiknya kita turut menumbuhkan kebanggaan dan meningkatkan kecintaan masyarakat Papua kepada NKRI sebagai kekuatan untuk ‘melemahkan’ dukungan masyarakat papua sendiri terhadap OPM.
salam indonesia raya.!
Terima kasih atas komentarnya mas Kristanto…
Betul mas, Diplomasi yang kuat dan tegas serta pembangunan Papua yang berkeadilan untuk membuktikan apa yang OPM propagandakan menjadi tidak benar adalah jawaban untuk menyelesaikan masalah Papua menurut saya
—
Selain menyikapi ini secara proporsional, kita juga harus mengawasi penyerapan dana dan pembangunan di Papua, jangan sampai dana dana yang jumlahnya tidak sedikit dari pemerintah pusat ujung-ujungnya hanya dibagi bagi oleh pemerintah daerah karena pemerintah daerah tidak mau repot dengan pembangunan pembangunan yang harus dilakukan. Selain itu, yang harus diperhatikan adalah disparitas harga yang terlalu besar di papua, dimana gubernur papua pernah berkata, kami di papua biasa dengan harga BBM puluhan ribu per liter kenapa orang orang pusat dan jawa mau naik 2000 saja ribut?
Betul… Karena bisa jadi isu separatisme dan keutuhan wilayah bisa digunakan untuk membentuk raja-raja baru didaerah…