Lebih jauh tentang Foreign Military Sales (FMS): Cukup baikkah untuk Indonesia? (Bagian 1)
Oleh: Mayor Tek Jon Keneddy Ginting, MMgtStud, qtc
Pendahuluan
-
Berkembangnya beberapa diskusi mengenai rencana akuisisi alutsista TNI memberikan ruang positif bagi pentingnya pemahaman mengenai sistem dan mekanisme pengadaan (procurement) itu sendiri. Satu hal yang telah dipahami secara umum adalah bahwa pengadaan itu dapat direalisasikan secara langsung antara konsumen dengan penyedia (dalam hal ini Pemerintah RI c.q. Kementerian Pertahanan/Kemhan dengan kontraktor/rekanan) atau antara Pemerintah dengan Pemerintah (Pemerintah RI dengan Pemerintah negara penyedia). Opsi kedua ini kita kenal dengan istilah “Government-to-Government” atau “G-to-G“.
-
Tiap pemerintah negara lain yang menawarkan produknya kepada Pemerintah RI (dalam hal ini untuk alutsista) memiliki mekanisme masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya. Mengingat salah satu “pemasok” terbesar alutsista TNI adalah Amerika Serikat (AS), maka mekanisme “G-to-G” dengan AS-yang salah satunya adalah Foreign Military Sales (FMS)-merupakan salah satu topik bahasan “favorit”. Tulisan ini bermaksud memberi gambaran tentang kerjasama dengan pemerintah AS ini, khususnya tentang FMS dan keuntungan serta kerugiannya dari perspektif Indonesia. Bagian pertama ini berisi tentang latar belakang aturan dan kebijakan yang mendasarinya, dan bagian kedua akan membahas tentang mekanisme FMS itu sendiri.
Security Cooperation (SC)
-
Dalam konteks pertahanan, kerjasama RI-AS ini adalah bagian dari portofolio kerjasama global yang dijalin oleh AS dengan berbagai negara di dunia, khususnya pasca era Perang Dingin. Istilah “Security Cooperation” mulai diperkenalkan secara resmi tahun 1997 oleh Departemen Pertahanan AS (US Department of Defense/DOD) melalui Defense Reform Initiave (DRI). Saat itu dibentuk sebuah badan bernama Defense Security Assistance Agency (DSAA) dengan dua payung hukum utama: Foreign Asisstance Act (FAA) dan Arms Export and Control Act (AECA). Untuk dapat mengakomodir lingkup kerjasama pertahanan keamanan yang lebih besar, DSAA dirubah menjadi Defense Security Cooperation Agency (DSCA) pada 1 Oktober 1998.
-
Definisi resmi “Security Cooperation” (SC) sendiri tertuang dalam DOD Policy and Responsibilities Relating to Security Cooperation (24 Oktober 2008) sebagai berikut: “Activities undertaken by Department of Defense to encourage and enable international partners to work with the United States to achieve strategic objectives. It includes all DOD interactions with foreign defense and security establishments, including all DOD-administered security assistance programs, that: build defense and security relationships that promote specific US security interests, including all international armaments cooperation activities and security cooperation activities; develop allied and friendly military capabilities for self-defense and multinational operations; and provide US forces with peacetime and contingency access to a host nation.”
-
Meski bersifat ‘defense-related‘, SC berada dalam kendali dan pengawasan Departemen Luar Negeri AS (US Department of State/DOS) sebagai bagian dari hubungan internasional AS. SC memayungi dua program utama yaitu:
-
Security Assistance Programs, yang meliputi 12 program utama mengacu pada DOD 5105.38-M, Security Assistance Management Manual/SAMM sebagai berikut:
-
Foreign Military Sales (FMS);
-
Foreign Military Construction Services (FMCS);
-
Foreign Military Financing Program (FMFP);
-
Leases;
-
Military Assitance Program (MAP);
-
International Military Education and Training (IMET);
-
Drawdowns;
-
Economic Support Fund (ESF);
-
Peacekeeping Operations (PKO);
-
International Narcotics Control and Law Enforcement (INCLE);
-
Nonproliferation, Antiterrorism, Demining, and Related Programs (NADR);
-
Direct Commercial Sales (DCS);
Selain keduabelas program tersebut, masih ada beberapa program SA lainnya yaitu Excess Defense Articles (EDA) dan Third Country Transfer.
-
Security Cooperation Programs, yang meliputi kategori berikut:
-
Security assistance administered by DOD (as SC);
-
Global train and equip;
-
International armaments cooperation;
-
Humanitarian assistance;
-
Training and education;
-
Combined exercise;
-
Military-to-military contracts.
Untuk program pertama (Security assistance administered by DOD (as SC)), cakupannya adalah delapan program dalam Security Assistance Programs yaitu: FMS, FMCS, FMFP, leases, MAP, IMET, drawdowns, dan EDA. Secara grafis, interface-nya dapat digambarkan sebagai berikut:
Tulisan ini tidak mengupas secara detail setiap program tersebut, melainkan hanya akan membahas lebih jauh tentang FMS, dan beberapa program yang terkait dengan FMS seperti EDA dan DCS, serta IMET.
Legislasi dan Kebijakan Pemerintah AS dalam SC
-
SC, dengan Security Assistance (SA) sebagai salah satu komponen pokoknya, berada dalam payung hukum perundang-undangan AS. Legislasi pokok yang mendasari pelaksanaan SA adalah Foreign Assistance Act of 1961 (FAA) beserta amandemennya, dan Arms Export and Control Act (AECA) beserta amandemennya. Selain itu, enam program dalam SA harus melalui pengesahan dan persetujuan Kongres AS: IMET, FMFP, ESF, PKO, INCLE dan NADR.
-
Selain ketentuan-ketentuan hukum tersebut, Pemerintah AS menetapkan beberapa kebijakan yang terkait dengan SC. Pada intinya, kebijakan-kebijakan tersebut mengharuskan Pemerintah AS untuk mempertimbangkan beberapa aspek dalam memutuskan untuk membangun sebuah kerjasama keamanan/pertahanan dengan negara lain. Aspek-aspek tersebut antara lain:
-
Tujuan Penjualan Alutsista. Alutsista produksi AS hanya dapat dijual kepada negara lain untuk tujuan:
-
-
Keamanan internal (negara pembeli);
-
Pertahanan diri (legitimate self-defense);
-
Mencegah dan menghalangi setiap usaha pengembangan senjata pemusnah masal dan peralatan pendukungnya;
-
Memungkinkan negara pembeli untuk berpartisipasi dalam komunitas bersama dan regional yang sejalan dengan Piagam PBB;
-
Mendukung aktifitas pembangunan ekonomi dan sosial oleh militer (angkatan bersenjata) di negara-negara berkembang.
-
Kebijakan Luar Negeri AS. Penjualan alutsista harus selaras dengan kebijakan luar negeri AS, yang dalam The DOS and USAID Strategic Plans for Fiscal Year 2007-2012 mencakup lima tujuan strategis:
-
Mewujudkan perdamaian dan keamanan;
-
Memerintah secara adil dan demokratis;
-
Investasi sumber daya manusia;
-
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran;
-
Menyediakan bantuan kemanusiaan.
-
Dampak Terhadap Kesiapan AS Sendiri. Proses FMS yang berdampak pada penurunan kesiapan tempur AS harus diupayakan seminimum mungkin.
-
Pembatasan Senjata Konvensional. Kongres mendorong Presiden AS bersama produsen senjata untuk terus membahas pembatasan aliran senjata konvensional ke negara-negara berkembang. Total nilai agregat yang menjadi threshold adalah nilai yang digunakan pada penetapan Section 1 AECA tahun 1976 yaitu USD 15,8 milliar.
-
Pelarangan Keterlibatan dalam Kegiatan Tempur. Personel AS yang ditugaskan dalam proses FMS dengan negara lain tidak diijinkan untuk terlibat dalam kegiatan tempur (combat acitivities).
-
Hak Untuk Menerima Bantuan Hibah. Peralatan tempur/alutsista (termasuk pelatihannya) hanya dapat dihibahkan kepada negara yang menyetujui untuk: tidak mengijinkan penggunaan alutsista tersebut oleh personel di luar institusi pemerintah negara penerima tanpa seijin Presiden AS; tidak memindahtangankan kepada pihak ketiga dengan tujuan apapun tanpa seijin Presiden AS; tidak menggunakan alutsista tersebut di luar keperluan yang telah ditetapkan tanpa seijin Presiden AS; memberikan perlindungan keamanan kepada alutsista tersebut seperti yang dilakukan Pemerintah AS; mengijinkan pengamatan yang berkelanjutan terhadap penggunaan alutsista tersebut oleh Pemerintah AS; mengembalikan kepada Pemerintah AS semua peralatan tersebut bila sudah tidak digunakan lagi.
-
Hak Untuk Melaksanakan Jual Beli. Sama halnya dengan hibah, alutsista hanya dapat diperjualbelikan bila: Presiden menyimpulkan bahwa proses tersebut memperkuat keamanan AS dan meningkatkan perdamaian dunia; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak memindahtangankan alutsista tersebut kepada pihak lain kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk tidak mengggunakan atau mengijinkan penggunaan alutsista tersebut (atau pelatihan yang terkait) di luar tujuan yang telah ditetapkan kecuali atas ijin Presiden AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut setuju untuk memberikan tingkat perlindungan keamanan yang sama dengan yang diberikan Pemerintah AS; negara (atau organisasi internasional) tersebut dinilai laik untuk membeli produk alutsista maupun jasa dari AS.
Ketetapan Presiden AS (US Presidential Determination) pada ketentuan di atas diatur dalam Section 503 FAA dan Section 3 AECA.
-
Selain aspek-aspek tersebut, terdapat beberapa batasan yang melarang Pemerintah AS untuk melakukan kerjasama pertahanan dengan negara (atau organisasi internasional) yang antara lain:
-
berulang kali mendukung kegiatan terorisme internasional (Section 620(a) FAA);
-
berhaluan komunis (Section 620(f) FAA);
-
terlibat dalam perdagangan narkotika (Section 490(a) FAA);
-
melarang atau membatasi, baik langsung ataupun tidak, pemberian bantuan kemanusiaan oleh AS (Section 620I FAA);
-
membebankan pajak pada barang atau jasa yang diimpor dengan dana bantuan dari AS (Section 7013, P.L.112-74);
-
merekrut atau menggunakan anak di bawah umur sebagai kekuatan perang, paramiliter, milisi atau sipil bersenjata (Section 404(a), P.L.110-457);
-
tidak bersedia mempublikasikan secara tahunan anggaran pendapatan dan belanjanya (Section 7030(b), P.L.112-74);
-
secara konsisten terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia (Section 502B FAA).
-
Selain itu, terdapat beberapa batasan lain yang terkait penggunaan tenaga nuklir di luar sertifikasi International Atomic Energy Agency (IAEA), kekerasan terhadap individu di AS dan sebagianya. (bersambung ke Bagian 2)
Mhn ijin Bang, ternyata konsekwensi dari pesawat hibah semuanya harus serba atas ijin Presiden AS…
Btl, & tdk hny Presidential Determination sj, melainkan ada jg Congressional Notification utk kondisi2 tertentu. Selengkapnya tggu Bag 2 ya…
Siap bg. Sungguh besar konsekwensinya hingga tidak ada lg kerahasiaan di pihak kita terhadap amerika. Semoga Indonesia segera memiliki industri alat perang yg mandiri….
Sebuah ironi ya mas… namun menjadi sebuah konsekwensi selama Bangsa ini belum mampu berdikari dan berdiri diatas dua kakinya sendiri. Kalau FMS sejenis dari negara lain, apakah hampir sama mas perlakuannya….
Pd intinya mas, G-to-G dgn negara manapun selalu berbasis pd kepentingan bisnis di satu sisi, & politik di sisi yg lain. Mekanisme mgkn berbeda, bergantung pd Perpu yg berlaku di negara ybs. Namun, ttp saja negara penjual sll memiliki kepentingan nasionalnya sendiri, & itu yg mrk perjuangkan melalui G-to-G dgn negara lain…
Hmn.. Istilah “tidak ada makan siang yang gratis” selalu berlaku ya mas. Kalau begitu, dalam mengakusisi program sejenis adakah Panduan yang dijadikan patokan pengelolaan program sejenis mengingat efek yang ditimbulkan dari sebuah kebijakan sejenis cukup sistemik untuk penggeralan kekuatan dimasa depan..?? misal, jika ternyata suatu hari Indonesia malah berseteru dengan Negara pemberi Progam..
Kl dari perspektif RI, sy belum lihat konsep itu. Tp kl dari perspektif AS, mrk sdh pny. Itulah sebabnya mereka mengharuskan “Presidential Determination” & “Congressional Notification” (yg akan sy singgung di Bag-2). Bbrp kasus bs dijadikan contoh, spt msh adanya pswt Hercules yg akan dibeli Iran bbrp tahun y.l, tp s/d skrg msh tertahan di AS krn mslh politik; RI sendiri prnh di-embargo bbrp wkt lalu. Itu sebabnya, kt hrs membuat kajian yg terukur dlm menganalisa stp rencana pembelian. Mekanisme kt selama ini msh jauh dr sempurna, bnyk yg hrs diperbaiki agar kt bs menjamin bhw stp barang yg kt terima berkualitas & lulus standar. Namun, itu juga bukan justifikasi utk menganggap bhw G-to-G (apakah itu FMS atw mekanisme berbeda dgn negara lain) sbg satu2nya jalan…
kemandirian yang dikebiri, dengan bantuan,
membuat negara berkembang bergantung, dan berpikir selama masih dibantu, untuk apa membuat sendiri, lebih baik konsen pada pendanaan yang lain. bukan riset alutsista yang menghabiskan biaya gemuk…
*hanyapikiransederhanasaya
At least…
Kemandirian akan mengurangi ketergantungan pd luar negeri walopun tetap dibantu…namun sebuah proses harus berjalan daripada tidak sama sekali….masalah biaya gemuk…ehm….masa depan bangsa ini milik kita….mau kah kita merubahnya?
Just my two cent bro….
Menarik ini dan perlu diketahui bagi yg peduli pertahanan nasional. Izin ditunggu bang bagian duanya.
Sure. Skrg sdg sy selesaikan… 🙂
izin tanya mas Ginting,
1. berarti konsep diatas itu yang melakukan ada 3 departemen diantaranya Presiden AS, Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri ya mas? kalau Departemen Perdagangannya tidak terlibat?
2. apabila dari 3 tersebut pertanyaan diatas ada yang berhalangan (misal Presiden AS) apakah menteri pertahanan atau Menteri Luar negeri bisa memberikan akses?
Jadi begini mas,
FMS itu bagian dr portofolio besar kerjasama internasional “Pemerintah AS” dlm konteks hubungan luar negeri. Krn konteksnya hubungan luar negeri, maka DOS (Deplu) yg berwenang. Tapi krn materiil FMS itu adl produk2 pertahanan (apakah itu barang, jasa, atau pelatihan), maka DOD (Dephan) yg berkompeten. Menngingat kebijakan luar negeri AS (sebagaimana negara2 lain jg pd umumnya) berdampak pd kelangsungan kepentingan AS di berbagai penjuru dunia, maka ada kondisi2 tertentu yg mengharuskan Presiden (atas persetujuan Kongres) memutuskan apakah FMS dgn negara tertentu dpt dilakukan atw tidak. DOC (Depdag) jg terlibat dlm konteks memberikan perlindungan & jaminan kelangsungan industri AS, tp tidak dalam kerangka pelaksanaan proses FMS nya scr langsung.
*Skl lg, bagian 1 mmg blm membahas detail soal itu. Nanti di bagian 2 akan sy uraikan lbh lengkap mas :D*
wah ulasannya mantap, jadi kepikiran pengelolaan kita. akankah pemasarannya juga mengadopsi kebijakan macam ini?
Mekanisme kebijakan LN tiap negara kan beda mas, meski muaranya sama: kepentingan nasional. Kita bs adopsi apa yg dilakukan AS, bisa juga tidak, atau kita adopt sebagian. Yg jelas, kelangsungan indhan dagri sbg aset nasional hrs trs diperjuangkan pemerintah, artinya pemerintah-lah garda depannya. Ke dalam, indhan dagri-nya sendiri perlu ditata shg pny kapabilitas utk bersaing & go-international…
setuju mas…
membeli atau menerima hibah dari nrgaea Barat adalah ibarat menyerahkan tangan kita untuk diborgol /menjadi tawanan oleh mereka.karena musuh utama kita adalah nrgaea barat yang berusaha memecah belah NKRI dengan alasan diskriminasi/ pelanggaran HAM lah dsb padahal ujung-ujungnya akan merampok kekayaan alam kita. Lebih baik membeli dari China, Taiwan atau Korea , Turki dsb. Buat apa membeli dari nrgaea Barat kalo9 kemudian hari gak b isa dipakai menjaga keutuhan NKRI dan hanya menjadi alat parade/ konvoi pada tan ggal 5 oktober saja.
Sebenarnya, menerima hibah dari siapapun (tak hanya dari negara2 barat) akan menciptakan ketergantungan pada skala tertentu. Di sisi lain, membeli apapun dari negara manapun (tak hanya dari negara2 barat), juga lebih banyak menguntungkan negara2 penjual. Kalau dr non-negara2 barat, mgkn bukan soal HAM efeknya, tapi jelas ada persoalan di aspek2 lainnya. Tapi harap juga diingat, bahwa kita tak mungkin bisa memproduksi atau membuat semuanya. Selain karena keterbatasan, juga ada perhitungan2 tertentu dalam hal ekonomi. Jadi kita yg harus bijak & cerdas. Buat sendiri apa yg kita anggap sangat penting, bangun industrinya, siapkan SDM-nya, dsb. Yg lain, ngga apa2 kita beli atau terima hibah, yg penting ketahui betul untung ruginya, & siapkan langkah2 antisipatif bila suatu saat ada ‘dispute’ karena proses itu.
Yakh . dimana2 ya UUD Pak Kalo NIATnya baik, ya InsyaALLOH akan jadi baik. Tapi kalo nntyiaa sudah ngga karuan, mo ngomong apa lagi ?Sy kira, yg diperlukan negeri kita justru pesawat tanpa awak. Ato F-16 nya bisa dimodifikasi kalee ya ?Makasih infonya n salam
Saya setuju bahwa dgn niat baik, semua akan berubah lebih baik. Justru krn itulah, mari kita semua berkomitmen utk berubah. Tidak hanya para pengambil keputusan atw pihak2 yg berkompeten, tapi kita sbg bagian dr masyarakat tdk boleh berhenti utk memberi kontrol atas semua proses yg berjalan, melaporkan segala penyimpangan, dsb. Saya percaya, tak ada sesuatupun yg dibuat atw terjadi krn manusia yg tak bisa dirubah. Kesemrawutan ini kan krn ulah manusianya, jadi pasti bisa diperbaiki kalau ada manusia2 lain yg berkomitmen utk memperbaikinya. Kita tak boleh menyerah & berkecil hati; kita harus yakin bhw kita bisa…
Salam.
Ijin menambahkan artikel Mas..
Kebetulan saya nemu di web..
Berikut tautan-nya http://www.acq.osd.mil/dpap/cpic/ic/docs/TAB%20C%20-%20FMS_DPAP%20Conf_Final%20Version2.pptx
Many many thanks mas. Highly appreciated.