Kesiapan Alutsista TNI AU: Kompleksitas Permasalahan dan Alternatif Solusinya

10 Responses

  1. Arief Yunan Priyoutomo says:

    Mas, ijin bertanya..
    Di sini saya melihat bahwa bangkuat berdasarkan kemampuan lebih tepat untuk negara kita yang belum mampu memberikan anggaran pertahanan yang ideal dibanding berdasarkan persepsi ancaman..
    Namun yang saya ingin tanyakan, bagaimana menentukan karakteristik kemampuan yang dibutuhkan?
    Bukankah pada beberapa aspek juga masih berdasarkan threat assesment?

    Hormat saya,

    Arief YP

    • Jon Keneddy Ginting says:

      Mengenai “capability-based“, kita harus terlebih dahulu mendefinisikan di level apa kemampuan pertahanan itu akan kita bangun. Apakah kita akan menjadi AU generasi ke-3 atau ke-4 misalnya. Atau apakah kita ingin menjadi negara yg sangat kapabel dlm pengamanan maritim, pertahanan udara, dsb. Itu kita sendiri yg merumuskan, ngga perlu melihat negara lain (Harap diingat bahwa negara lain punya pertimbangan sendiri dlm membangun kekuatan pertahanannya, & itu tidak melulu utk mengancam atau menyerang negara sekitarnya). Setelah itu kita rumuskan,nah kita mulai dgn “cost analysis” utk mencapai level yg sdh kita tetapkan itu: mulai dr akuisisi (procurement) s/d alutsista itu dihapus. Threat assessment hanya digunakan utk merencanakan pola gelar atau proyeksi kekuatan, bukan pengembangan/pembangunan kekuatan.

  2. nah, dalam menyikapi TBP, memang celahnya di perihal acuan ancaman. Misalnya malaysia kita anggap ancaman faktual dan australia kita anggap ancaman potensial, apabila kedua negara ini menjadi sekutu kita, maka musnahlah acuan pembangunan kekuatan kita selama ini. Dan kita harus beradaptasi dengan ancaman lain, china misalnya, padahal untuk menghadapi malaysia belum tentu sama dengan menghadapi australia, begitu pula dengan menghadapi china

  3. mochamad istamar says:

    maaf mas, terus terang saya kurang yakin telah memahami apa yang telah ditulis diatas. untuk itu saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, yang sebenarnya ini juga pertanyaan dalam diri saya sendiri. daripada ngedumel kok nggak paham-paham jadi saya tanyakan saja :
    1. soal sustainment (Keberlanjutan) alutsista dan AWP (Aircraft waiting parts). pertanyan saya,
    a. apakah sustainment dan AWP ini sesuatu yang berlainan (bertolak belakang dan tidak bertolak belakang) ataukah berhubungan secara kausalitas (sebab akibat).
    b. apa tujuan asasi dari adanya sustainment dan awp ini?
    2. soal kerangka berfikir anggaran. pertanyaan saya,
    a. apa itu kerangka berfikir anggaran?
    b. kenapa dari kerangka berfikir anggaran tiba2 menjadi spektrum konflik?
    3.
    saya merasakan adanya loncatan-loncatan yang terus terang membingungkan bagi saya untuk mencerna tentang kerangka berfikir anggaran dan seterusnya. mungkin hal ini terlalu teknis dan sangat jauh dari pengetahuan yang selama ini saya dapatkan jadi mohon bantuannya mas.

    saya sepakat apa yang telah diuraikan, dan mas Prima katakan diatas. bahwa sudah selayaknya pertahanan kita diproyeksikan untuk mencapai kemampuan dasar yang ditetapkan untuk menjaga kepentingan nasional indonesia. proyeksi pembangunan pertahanan negara berdasarkan ancaman, dapat membuat kita lengah akan celah-celah pertahanan. alasannya adalah ketidak mampuan kita mendeteksi ancaman/bahaya yang berada diluar yang telah ditetapkan dalam ancaman faktual dan ancaman potensial.

    saya mempunyai pemahaman bahwa suatu ancaman dapat dengan mudah berubah secara cepat. contohnya kasus libya, khadafi mungkin tidak akan menyangka jika perancis yang sangat dekat bahkan telah diberikan hak untuk eksplorasi minyak dan rencana pembelian alutsista dapt berubah cepat menjadi musuh nyata. seandainya saja khadafi memperhitungkan faktor semacam ini, yakni adanya ancaman serangan entah terbatas atau tidak dari negara kawan mungkin jalan kisah khadaffi dan libya akan berbeda. permasalahannya negara mana yang tahu bahwa kawannya akan menjadi musuh. hal ini juga pernah terjadi antara Italia dan Jerman saat WW II. oleh karena itu, proyeksi pembangunan pertahanan berdasarkan kapablitias menghadapi peperangan dengan siapa saja, berapa lama, dan kapan saja menjadi penting.

    salam,

    • Jon Keneddy Ginting says:

      Terima kasih atas tanggapannya. Berikut yg bs sy jelaskan:

      1. Sustainment diarahkan utk mempertahankan kesiapan alutsista yg sdg operasional (serviceable/S), sementara pemenuhan AWP diarahkan utk menghidupkan alutsista yg sdg “mati suri” (unserviceable/US) krn ketiadaan suku cadang. Jadi tujuan keduanya jelas berbeda.

      2.
      a. Kerangka berpikir anggaran adl filosofi2 dasar mengapa persoalan anggaran itu penting, & mengapa kita hrs betul2 “berhitung” dgn setiap sen yg dikeluarkan negara utk menghasilkan manfaat yg semaksimal mungkin bagi kita.
      b. Sistematikanya sy buat demikian utk memberi pemahaman dulu mengenai “mengapa persoalan anggaran itu penting utk dipahami” lalu melihat bagaimana konflik bs berubah dgn amat cepat di era sekarang. Setelah dua aspek itu dimengerti, sy ingin pembaca menyimpulkan sendiri “apakah realistis bagi kita utk mengikuti dinamika ancaman yg sngt tinggi itu dgn kemampuan sumber daya (finansial) yg kita punya spt skrg?”.

      Saya mohon maaf bila utk pembaca umum ini agak sulit ditangkap,krn awalnya naskah ini adl hasil kajian yg sy serahkan pd pimpinan di Mabesau sesuai tugas & tanggung jawab sy. Saya hanya memangkas bbrp bagian yg bersifat “classified” shg naskah ini dpt dibaca scr luas.

      Demikian,smg bs menjawab pertanyaannya. Tks

      • mochamad istamar says:

        terimakasih mas, saya terbantu sekali dengan jawaban diatas.
        jika pemahaman saya tidak salah, makalah ini ingin menunjukkan:

        1. pilihan bagaimana baiknya merencanakan, dan menggunakan anggaran secara ekonomis tetapi mempunyai dampak yang besar bagi kesiapan TNI AU. pada poin ini saya sempat bingung, apakah yang dimaksud kerangka berpikir merupakan landasan berfikir dalam penyusunan dan penggunaan anggaran, ataukah pilihan rujukan teori dalam penggunaan anggaran.
        2. bagaimana menyikapi kenaikan anggaran dan isu partisipatif Indagri/Indhan vs mafia alutsista.
        3. masalah US dan Serviceable, manakah yang lebih penting. dari poin ini mengerucut kepada sustainment dan AWP. disinilah yang awalnya saya sempat bingung.
        4. mungkin masalah aset, soal akuisisi, tapi saya tidak tahu pasti apakah benar atau tidak. mungkin ini pula yang paling classified sehingga tidak terlalu kelihatan dibandingkan yang lain.
        5. yang cukup mendapatkan sorotan adalah soal pendekatan capability base dan threat base, untuk mendukung kesiapan alutsista dalam proyeksi pembangunan kekuatan.

        Awalnya saya sempat kaget mas kalau ini dari dokumen classified yang ada perubahan disana-sini. awalnya saya pikir jika ini sebuah dokumen, mungkin ini harusnya masuk limited akses. karena ada beberapa hal yang menurut saya harus menjadi limited akses. tetapi saya juga sempat bingung jika ini dokumen yang limited kenapa seperti ada lompatan-lompatan yang memang sengaja dilewati semisal tiba-tiba sebuah paragraf merujuk kepada pasal yang pasal tersebut tidak jelas ada dimana dan menguraikan tentang apa. isi dari paragraf tersebut juga menceritakan hal lain yang berbeda dari paragraf lainnya. awalnya saya hanya berfikir mungkin memang ada beberapa paragraf yang memng sengaja dicomot dari tulisan lain.

        ternyata rumit untuk hanya membuat aset menjadi siap, tidak sekedar beli, pake/pasang, dan terbang. Terimakasih mas, mau berbagai maaf kalo saya salah dalam menyusun kalimat.

        salam.

  4. Bambang Trisutrisno says:

    Tulisan yang cukup mencerahkan mas…. Mantaap
    Ijin mas, apakah ada juga mengenal opsi Investment Based dalam perencanaannya…??

    • Jon Keneddy Ginting says:

      Investment-based ada dlm wacana kita,tp utk saat ini kita msh belum bisa implementasikan mengingat banyaknya prioritas pembangunan nasional yg hrs dipikirkan pemerintah 😀

  5. Djoko Sardjadi says:

    Halo Pak Jon,

    Perubahan Jakum Hanneg ini adalah hasil kontemplasi panjang sekelompok orang (terutama dalam TNI) yg jenkel kenapa rasio kekuatan TNI terhadap ukurang bangsa-negara tidak setara dg Negara2 tetamga. Orang2 ini adalah sisa2 laskar Mataram. Istilah Mataram ini saya gunakan untuk mewakili suatu konsep, yaitu kekuatan militer yg dibangun dg keuangan berbasis perdagangan dan bersandar pada alat peralatan perang Negara musuh. Asumsi nya alutsista itu sudah memiliki daya deteren yg cukup, timgal bagaimana TNI memperoleh ketrampilan pengoperasiannya saja. Ini dapat direalisir di dalam Negara Kecil seperti Mataram, Tamasek dsb. Untuk Negara Besar seperti US, China, India, Indonesia, Brasil mustahil hil dapat direalisir, sebab rasio hasil perdagangan terhadap kebutuhan rakyatnya semakin kecil, jadi kebutuhan militernya juga tidak dapat dipenuhi seluruhnya dari kegiatan perdagangan saja. Untuk ngara2 besar, kegiatan ketentaraannya (yg besar) harus imbedded ke dalam kegiatan sehari hari rakyatnya, operasi tentara di lapangan dan kegiatan rakyat dalam pembangunan alutsista harus simetri. Dg keterlibatan yg simetri ini, rakyat tidak akan protes jika pajak yg dibayarkannya digunakan untuk membangun kekuatan militer. Selain dari itu, keumgulan militer nya juga menjadi kebamgaan yg nyata bagi rakyat karena punya andil di lapangan secara nyata pula.
    Kita harus secepatnya ke luar dari zona kenyamanan sebagai militer operator pak. Dan saya yakin serta penuh harap, akan segera datang generasi baru yg lebih paham terhadap permasalahan ini, sebab ini dapat dijelaskan secara akademik seperti yg pak Jon uraikan dalam artikel.

    Salam,
    djoksar

    • Jon Keneddy Ginting says:

      Terima kasih atas pandangannya pak. Ini adl sebuah pencerahan dr perspektif yg lain & sangat bisa diterima. Ini juga sebenarnya alasan sy mengatakan dlm komen sebelumnya bhw salah 1 alasan yg plg masuk akal buat sy adl “ketidakpahaman” stakeholders ttg perbedaan CBD dan TBD. Dlm sbh kesempatan di Kemhan sy prnh mendengar bhw pertumbuhan ekonomi kita yg positif memungkinkan kt utk mengembangkan kekuatan hanneg scr lbh signifikan drpd sekarang. Persoalannya,pertumbuhan itu kan diukur dlm skala makro,smntr pengembangan kekuatan pertahanan tdk sepenuhnya dimainkan di level makro krn cakupan materinya yg sangat luas. Nah,krn skala pengukur antara “pertumbuhan ekonomi” dgn “pengembangan kekuatan hanneg” itu beda,akhirnya kita kesulitan utk mencari kesetaraannya. Dalam artian,konsep pembangunan hanneg yg menggunakan pendekatan yg dr awalnya salah itu tdk prnh berkorelasi positif dgn pembanguanan ekonomi. Lain halnya bila kita melakukan “threshold setting” thdp kemampuan yg kita ingin capai (CBD),perbedaan skala ukur ini akan lbh gampang dicari titik temunya.

      Salam,
      JK Ginting

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.