Kekuatan TNI : Dilema Sang Penjaga Negara (Bagian 3)
-
Pendahuluan
Sebuah negara dikatakan berdaulat atas wilayahnya jika negara tersebut dapat mengontrol dan mempunyai wibawa atas wilayahnya dari segala bentuk pelanggaran dan ancaman yang datang untuk meruntuhkan kewibawaan negara tersebut, baik dimata rakyatnya maupun dimata dunia internasional. Untuk menjamin kewibawaan tersebut, maka hampir semua negara melengkapi dirinya dengan struktur angkatan bersenjata yang bukan hanya digunakan untuk membela negara tersebut jika mendapat serangan, namun juga untuk menunjukan efek penggetar (deterrent effect) kepada siapapun yang akan menyerang untuk berfikir kembali bahwa tidak mudah menguasai negara tersebut. Setelah membahas mengenai jumlah materil (alutsista) yang dimiliki oleh TNI sebagai penjaga kedaulalatan Indonesia pada bagian pertama dan dukungan kebijakan finansial dan proses modernisasi dalam pembangunan kekuatan TNI pada bagian kedua, maka pada bagian ketiga ini penulis ingin menyajikan beberapa tantangan dan dilema yang dihadapi oleh TNI dari kaca mata penulis sebagai seorang warga negara yang dilindungi oleh sang penjaga tersebut.
-
Menjaga Penduduk VS Menjaga Wilayah
TNI lahir dari rakyat seiring perjuangan untuk mendirikan Negara Indonesia dalam perang kemerdekaan atau yang sering disebut sebagai masa revolusi fisik. Dikarenakan lahir dari rakyat, maka salah satu jati diri TNI adalah sebagai tentara rakyat (citizen soldier) yang mengandung makna bahwa TNI adalah tentara yang berasal dari rakyat dan merupakan manifestasi kumpulan rakyat bersenjata yang menggabungkan diri dalam sebuah wadah bernama TNI untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebelum era reformasi 1998, terdapat kebijakan untuk menghadirkan langsung fungsi tentara dalam tatanan kehidupan rakyat sebagai bentuk “penjagaan” TNI terhadap rakyatnya, sehingga yang menjadi patokan dari pertahanan Negara pada masa itu adalah dimana rakyat banyak berdomisili maka disitu kekuatan TNI berada, sehingga terdapat ketimpangan porsi dalam pergelaran kekuatan TNI dalam menjaga luas wilayah Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, jumlah populasi penduduk Indonesia terbanyak terdapat di pulau jawa dengan hampir 57.7 % dari total 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 2010 [1], padahal pulau jawa hanya mempunyai luas kurang lebih 6.8 % atau sekitar 126.700 km² dari total wilayah Indonesia yang mencapai 1.904.569 km2 [2]. Dengan kebijakan, maka kita melihat bahwa hampir 70 % dari total kekuatan TNI berada di pulau jawa. Untuk kekuatan TNI Angkatan Darat misalnya, saat ini kekuatan utama yang meliputi 2 divisi Kostrad (hanya 1 brigade yang diluar pulau jawa), Kopassus, Penerbad dan unsur-unsur lain masih terpusat di pulau jawa, sedangkan pulau-pulau lain hanya diperkuat oleh kekuatan kewilayahan yang kalau kita mau jujur kelengkapannya jauh kurang lengkap dan sangat tertinggal dari satuan yang berada di pulau jawa. Untuk TNI Angkatan Laut, kita dapat melihat bagaimana kekuatan armada dan pasukan marinir juga masih bertumpu di Surabaya dan Jakarta, hanya 1 brigade marinir yang sudah digeser ke pulau sumatera. Sedangkan TNI Angkatan Udara, dari 18 skadron yang dioperasikan, 15 skadron berada di pulau jawa dan 4 skadron berada diluar pulau jawa yaitu 1 skadron di pulau sumatera, 1 skadron di pulau kalimantan dan 2 skadron pulau sulawesi. Dengan melihat perkembangan akhir-akhir ini semisal konflik perbatasan di ambalat, pelanggaran wilayah baik oleh kapal laut maupun pesawat asing dan pencurian hasil kekayaan laut Indonesia oleh nelayan asing seharusnya menjadikan sebuah sinyal yang cukup jelas untuk menyadarkan bahwa TNI harus mulai memikirkan sebuah bentuk pergelaran pertahanan yang tidak hanya berpusat pada pulau jawa tapi juga tidak mengosongkan kekuatan di pulau jawa, namun pemerataan kekuatan sehingga mencakup dan melindungi seluruh wilayah yuridiksi nasional. Upaya untuk desentralisasi kekuatan TNI saat ini memang sudah diusahakan oleh TNI dengan wacana pembentukan divisi 3 Kostrad TNI Angkatan Darat di Papua, rencana reposisi armada dan pasukan marinir TNI Angkatan Laut, serta rencana penambahan satu skadron F-16 Fighting Falcon TNI Angkatan Udara di pekanbaru Riau, namun seyogyanya desentralisasi tersebut bukan hanya berarti memindahkan personil TNI namun juga bermakna menjadikan kemampuan alutsista dan personel para penjaga negeri di luar pulau jawa sama dengan yang ada di pulau jawa.
-
Profesional VS Seremonial
Setiap warga negara pastinya mengharapkan bahwa negaranya memiliki dan dijaga oleh angkatan bersenjata profesional yang bukan hanya dihitung dari banyaknya jumlah prajurit namun juga kelengkapan dan persenjataan yang dimiliki, pelatihan yang rutin dan mendekati kenyataan sehingga angkatan bersenjata tersebut dapat melindungi Negara dari segala bentuk ancaman militer. Wacana memprofesionalkan TNI muncul seiring bergulirnya reformasi yang berbuah pada disyahkannya UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam undang-undang tersebut, tentara profesional didefinisikan sebagai tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Proses profesionalisasi dan modernisasi yang dilakukan TNI beberapa tahun terakhir ini melalui program Minimum Essential Force (MEF) setidaknya sudah memberikan sebuah angin segar dalam pembaharuan sistem dan persenjataan TNI, namun dibalik itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian penulis, diantaranya adalah seiring naiknya anggaran pertahanan Indonesia beberapa tahun terakhir, maka TNI dan kementrian pertahanan seakan berlomba mendatangkan perangkat-perangkat alutsista baru sebagai bentuk modernisasi, namun dalam akusisi tersebut sering sekali tidak secara lengkap dan menyeluruh. Sebagai contoh, kita tentunya masih ingat ketika pemerintah mendatangkan pesawat tempur Sukhoi Su-27 SKM dan Sukhoi Su-30 MK2 yang jumlahnya saat ini sudah mencapai 10 unit namun sampai dengan saat ini belum dilengkapi dengan persenjataan yang sesuai dengan kapasitas dan misi pesawat tempur tersebut, dan pesawat tersebut hanya dibekali senjata mesin dan bom saja sehingga jauh dari kapabilitas pesawat tempur tersebut sebagai Heavy Multirole Fighter. Hal tersebut diatas merupakan salah satu kenyataan dari berbagai dilemma pengadaan alutsista TNI beberapa tahun terakhir, sehingga menjadi tidak berlebihan jika banyak yang berpendapat bahwa kebanyakan alutsista yang TNI miliki terlihat handal ketika tampil dalam setiap acara-acara seremonial yang diselenggakaran oleh TNI belaka, padahal jika kita kembali ke isi undang-undang diatas khususnya pada kata diperlengkapi secara baik, maka sudah semestinya TNI dan kementrian pertahanan untuk membangun kekuatan alutsista secara menyeluruh dan bukan hanya handal ketika dipertontonkan ketika parade dan defile, namun juga ketika sedang dioperasikan sehari-hari di lapangan sebagai bagian dari bentuk membangun prefesionalitas TNI sebagai penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-
Penutup
Indonesia bukanlah hanya ada di pulau jawa, walaupun pusat pemerintahan ada di pulau jawa, namun wilayahnya terbentang dari sabang sampai merauke yang perlu dijaga dan dilindungi dari segala bentuk ancaman. Dengan posisi pulai jawa yang berada ditengah kepulauan Indonesia, bukankah akan lebih baik jika kekuatan pertahanan disebar sehingga apabila terjadi sebuah ancaman terdahap pusat pemerintahan maka ancaman tersebut dapat dihadapi diluar pusat pemerintahan tersebut. Modernisasi untuk mencapai penyempurnaan baik organisasi, alutsista dan profesionalisme prajurit TNI adalah sebuah keharusan, sehingga sudah semestinya profesionalisme tersebut bertujuan untuk menjadikan TNI sebagai angkatan bersenjata yang kuat dan disegani oleh lawan namun tetap dekat dihati rakyat dari negeri yang dijaganya, karena profesionalisme tersebut sesuai amanat Panglima Besar Jenderal Soedirman “Kamu sekalian hendaknya senantiasa ingat, bahwa kita masih harus menuju kesempurnaan angkatan perang kita, menuju kesempurnaan kekuatan negara, karena kesempurnaan kekuatan itulah merupakan jaminan kepada kemerdekaan negera kita..!!
Referensi [1] Sensus Penduduk 2010, Badan Pusat Statistik http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/index [2] Profil Indonesia, Wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
yang aku takutkan dampak dari kebijakan diplomasi zero enemy yaitu… mempunyai alutsista canggih hanyalah untuk seremonial belaka.. toh kita ndak punya musuh juga khan..?
saatnya penentu kebijakan merubah mainset selama ini, untuk pembelian alutsista harus disertai unsur pendukungnya termasuk kelengkapan senjata…
Begitulah keaadaannya mas shinto, sudah semestinya sebelum mengakusisi sebuah alutsista di rencanakan secara matang dan bukan hanya berdasar kebijakan sesaat…
lebih takut lagi jika pembelian alutsista bukan berdasarkan perencanaan, tapi sebagai souvenir sebelum masa jabatan seorang pimpinan berakhir mas… nanti pimpinan berganti, kebijakanpun ikut berubah lagi…
Betul mas, sesuatu yang kelihatannya membangun namun sesungguhnya menghancurkan profesionalitas pertahanan Negara secara asimetris…
ya itu beratnya kalau pembelian berdasar sentimen pribadi yang dicocok2kan dengan kebutuhan mas, sehingga pada akhirnya nanti akan susah terintegrasi dengan sistem2 lainnya
Sebagai orang diluar lingkaran, yang kita bisa lakukan adalah memberikan kritik (tulisan) secara cermat dan akurat agar Rakyat tau, saya yakin sekuat-kuatnya para “komprador” disana, jika Rakyat sudah bersuara secara ikhlas, Insya Alloh Tuhan akan ikut menunjukkan jalannya…
“TNI dan kementrian pertahanan seakan berlomba mendatangkan perangkat-perangkat alutsista baru sebagai bentuk modernisasi, namun dalam akusisi tersebut sering sekali tidak secara lengkap dan menyeluruh.”
Kalimat yang saya kira tepat dalam menggambarkan kondisi alutsista kita. Sebagai orang awam saya bangga ketika negara kita mengakuisisi pesawat2 tempur sekelas Su-27 dan Su-30. Namun ketika mengetahui bahwa pembelian tersebut tanpa dilengkapi dengan persenjataan dan kelengkapannya yang memadai saya (dan pasti banyak masyarakat lain) kecewa. Apa dasar kebijakan pembelian yang seperti ini?
Yang lebih dikhawatirkan lagi adalah pembelian alutsista yang sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan profil militer kita, melainkan hanya pesanan dari rekanan/makelar produsen alutsista yang ingin mengeruk keuntungan.
Terima kasih atas komentarnya mas Faendy..
Begitulah keadaanya sekarang, sehingga sudah seharusnya kita mendorong sebuah pembangunan pertahanan yang konprehensif dan bukan hanya sekedar berdasarkan “like or dislike” dari para pengambil kebijakan tersebut. Sebagaio orang diluar lingkaran, yang kita bisa lakukan adalah memberikan kritik secara profesional, saya yakin sekuat-kuatnya para “komprador/rekanan/makelar” jika Rakyat sudah bersuara, Insya Alloh Tuhan akan ikut menunjukan jalannya…