Hubungan Militer Dengan Masyarakat
Indonesia sejak berdiri sebagai sebuah Republik telah mengalami beberapa kali pasang dan surut di dalam perkembangannya. 1928, sebagai tonggak sejarah kebangkitan bangsa dimana seluruh rakyat yang menamakan dirinya pemuda Jawa, pemuda Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi disatukan dalam sebuah doktrin yang kita tahu saat ini bernama Sumpah Pemuda. Beranjak 17 tahun setelah momentum kebangkitan tersebut seluruh rakyat Indonesia mendapatkan buah dari perjuangan selama ratusan tahun untuk menjadi sebuah bangsa berdaulat yang bernama Republik Indonesia kemudian di Proklamasikan oleh “The Founding Father” Ir. Soekarno dan M. Hatta. Perjuangan yang tidak sia-sia tersebut dilakukan untuk melawan militer penjajah dengan senjata modern oleh militer rakyat dengan bersenjatakan bambu runcing serta beberapa senjata peninggalan Jepang tanpa pernah berfikir perbedaan antara sipil dan militer karena memang keduanya adalah komponen rakyat yang tidak dapat dipisahkan untuk suatu tujuan yakni kemerdekaan.
Dari sejarah yang mengatakan demikian sehingga muncullah sebuah pengertian “militer rakyat” yang berarti berasal dari rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat, menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini sengaja dibuat untuk memberikan beberapa pandangan dan opini bahwa militer yang berasal dari rakyat bukanlah militer yang ditakuti oleh rakyat.
Sejak rezim orde baru berkuasa, image terhadap militer adalah sekelompok warga negara kelas atas yang dapat melakukan sesuatu apapun layaknya warga negara yang “kebal hukum”. Lebih dari seperempat abad pada saat itu berlaku sebuah hukum yang “tidak berhukum” bagi militer di Indonesia. Salah satu contoh yang paling kecil adalah, hanya sekedar untuk membayar parkir di pinggir jalan saja “si tukang parkir” tidak berani untuk meminta bayaran jika dia tahu bahwa si empunya kendaraan adalah militer. Padahal jika mau disadari, tukang parkir itu adalah seorang yang sangat membutuhkan rejeki walau hanya sebesar 500 rupiah (tarif saat itu). Kemudian, betapa banyak orang tua yang menginginkan anaknya untuk menjadi militer ataupun mencari menantu dari seorang tentara yang tentunya hanya beralasan untuk mencari “keamanan”. Dan masih banyak contoh lainnya yang lebih “menakutkan” daripada contoh tersebut. Mau disangkal atau terima tetapi itulah kondisi yang berlaku pada saat itu.
Baik dan buruk tidak ada yang tidak klimaks dari segala sesuatu yang terjadi di bumi ini. 1998, setelah dua tahun Indonesia memasuki krisis ekonomi, rezim Soeharto akhirnya bangkrut dan menyebabkan chaos di beberapa tempat Indonesia. Menjatuhkan kekuasaan Soeharto dan doktrin anti-militer pun muncul. Cercaan dan serangan baik secara langsung maupun melalui media kerap hadir dan menyoroti sang “warga istimewa”. Tuntutan untuk militer “back to barrack”, menghapuskan dwi fungsi ABRI dan sampai akhirnya merubah tatanan untuk memisahkan Polri dari ABRI sehingga menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sebuah tuntutan yang tidak berlebihan seharusnya, karena militer dimana pun memang sudah seharusnya profesional dibidangnya yaitu, PERANG. Sebuah pradigma baru pun dikumandangkan di setiap sudut lapangan apel di seluruh instansi militer. Re-indoktrinasi pun dilakukan agar militer dapat kembali dicintai rakyat dan merasa termasuk bagian dari rakyat biasa yang memang dihargai untuk menjaga setiap sudut batas-batas wilayah Indonesia. Sampai pada akhirnya seorang perwira lulusan Akademi saat ini pun telah bergelar Sarjana Pertahanan yang bertujuan untuk mengedepankan daya otak daripada daya otot dan tentunya tanpa mengurangi skill berperang bagi seorang prajurit. Bagi penulis, yang termasuk salah satu prajurit produk reformasi, mencari teman sebanyak-banyaknya juga merupakan salah satu sarana belajar dan meng-ekspose “senyuman” prajurit agar rakyat bisa mencintai militer dan merasa saling memiliki seperti zaman perang kemerdekaan 66 tahun yang lalu.
Tidak lebih dari tiga minggu yang lalu dari tulisan ini dibuat, penulis ikut dalam sebuah diskusi dengan teman-teman dari sebuah organisasi kepemudaan Islam dengan tujuan yang sama, yaitu memberikan “rasa” baru militer di depan khalayak ramai. Namun, sungguh mengagetkan jika teman-teman tersebut menyampaikan bahwa militer masih ditakuti oleh rakyat. 13 tahun telah lewat dari masa kelam Indonesia ternyata trauma “si warga istimewa” tersebut tetap melekat di hati rakyat. Kemudian ada dua yang muncul dari dalam pikiran penulis saat itu; apakah tebar persahabatan yang kami lakukan hanya segelintir orang saja yang melakukannya?; ataukah kebetulan saja saya sedang berhadapan dengan salah satu keluarga yang mengalami trauma besar terhadap militer? Jawabannya ada di dalam pikiran masing-masing yang membaca tulisan ini.
Bijaknya adalah menilai hal ini dari kedua sisi. Hanya sebuah ilustrasi, jika ada dua orang si A dan si B yang tidak saling mengenal kemudian keduanya bertemu di warung nasi padang, kemudian mereka bertatapan satu sama lain. Setelah itu, si A melotot pada B dan begitu pula sebaliknya. Dalam hati si A berkata,”sombong sekali dia beraninya melototi aku”, kemudian si B pun berkata demikian. Sebenarnya ini adalah contoh dilema ketidak kenalan satu sama lain. Coba saja seandainya ketika mereka bertemu salah satu diantara mereka mengajak bersalaman dan saling kenal, tentunya efek yang terjadi akan jauh berbeda. Seperti pepatah mengatakan bahwa “tidak kenal maka tak sayang”, demikianlah yang terjadi tidak lebih tiga minggu yang lalu.
Pilihannya adalah:
1. Militer yang turun ke kalangan sipil dan memahami apa yang mereka inginkan.
2. Sipil yang mengenal kembali “pacar” lamanya bahwa dia sudah berubah dan ingin terus berhubungan mesra.
Jika saya, memilih dua pilihan tersebut adalah yang terbaik sehingga jika si tukang air bilang “gayung bersambung” dan pemain sepak bola bilang “jemput bola” dapat terwujud dengan mengembalikan hubungan militer-sipil menjadi satu kesatuan yang disebut “RAKYAT INDONESIA” memiliki dan mencintai “TENTARA RAKYAT”
Wassalam
Seveneleven
memang benar, budaya “ewoh lan pekewoh ” masih ada dan melekat, di tambah pemberitaan dari media yang masih menyuguhkan “kegarangan” dari tentara, tanpa permasalahan dikupas dari berbagai sisi..
dan budaya ini yang dipakai oleh para musuh Negara ini untuk membuatnya tidak stabil (baik politik dan keamanan) sehingga bisa kita rasakan sekarang. Sudah saatnya kita buang “dikotomi” itu karena kita satu Bangsa satu Negara dengan tugas yang berbeda..
Sebagian masyarakat kita memang aneh, masih menganggap kalangan militer itu mahkluk yang menakutkan, sementara di lain pihak memanfaatkan ketakutan itu untuk mencari keuntungan diri, di kota saya (mungkin juga kota lain) sekarang ini sedang “ngetrend” menempelkan stiker kecil warna hijau-merah spt nomor kodam di plat nomor kendaraan, padahal sekitar 2 bulan sebelumnya stiker seperti ini belum marak. Sepertinya memang bertujuan utk memberikan efek deterent kepada pengguna jalan lain maupun aparat di jalan raya.
Itulah mas…
Soal di jalan raya memang unik, namun disitulah kita harus banyak belajar untuk berubah, tentunya dari diri kita sendiri.
Betul, bangsa ini bisa maju, jika ada kesadaran pribadi dari rakyatnya….untuk merubah diri pribadi….gak usah muluk2 mau merubah negeri, sedangkan diri pribadi saja masih gak beres….
Nice point of view Sun
Perubahan software tdk akan merubah paradigma, kecuali dengan kesadaran tinggi untuk merubahnya
dan jikalau manusia sendiri tdk kuasa untuk merubah maka kodrat bangsa itu sendiri yang akan merubah dengan MESTAKUNG.
but we believe that one day, there will be changing, PEMERINTAHAN SEBAGAI ABDI RAKYAT termasuk juga TENTARA ABDI RAKYAT
“lembang Valley”
siap Mentor…treima kasih….Srivijaya telah menjadi Majapahit…Majapahit pun sudah, menjadi NKRI….dan NKRI harus tetap NKRI…..